Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Hari TBC Sedunia: "It's Time to End TB"!

24 Maret 2019   07:00 Diperbarui: 24 Maret 2021   07:25 2315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: health.gov.bt

Bulan ini tepat 137 tahun yang lalu, yakni Maret 1882, seorang ahli mikrobiologi berkebangsaan Jerman bernama Heinrich Hermann Robert Koch mengumumkan keberhasilannya ke Berlin Physiological Society dalam menemukan (mengisolasi) bakteri penyebab penyakit Tuberkulosis (TBC) yakni Mycobacterium tuberculosis.

Robert Koch juga dikenal dengan penemuannya terhadap bakteri penyebab penyakit Anthrax (Bacillus anthracis), dan Cholera (Vibrio cholerae). Selain itu ia juga merumuskan 4 kriteria yang harus dipenuhi dalam mengubungkan sebab-musabab antara parasit dan penyakit, yang dikenal juga dengan Postulat Koch.

Isi Postulat Koch itu antara lain:

- Organisme (parasit) harus ditemukan dalam hewan yang sakit, tidak pada yang sehat.

- Organisme harus diisolasi dari hewan sakit dan dibiakkan dalam kultur murni.

- Organisme yang dikulturkan harus menimbulkan penyakit pada hewan yang sehat.

- Organisme tersebut harus diisolasi ulang dari hewan yang dicobakan tersebut.

Meski begitu, seiring dengan perkembangan zaman dimana ilmu mikrobiologi dan parasitologi juga berkembang, keempat postulat tersebut tidak selalu sesuai/terjadi. Misal, organisme penyakit dapat juga ditemukan pada hewan yang sehat (postulat pertama tidak sesuai) atau organisme penyakit tidak selalu menimbulkan penyakit pada hewan yang sehat (postulat ketiga tidak sesuai). 

Robert Koch (Sumber: scienceabc.com)
Robert Koch (Sumber: scienceabc.com)
Penemuan Robert Koch akan bakteri TB tersebut membuka jalan di dunia kesehatan dalam mendiagnosis dan menyembuhkan penyakit TBC. Dan kini setiap tahunnya tanggal 24 Maret, dunia memperingati Hari TBC Sedunia (World TB Day) yang bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan publik tentang bahaya penyakit TBC serta dampaknya terhadap aspek umum kesehatan, sosial dan ekonomi masyarakat.

Penyakit TBC mendapat perhatian khusus mengingat berdasarkan data WHO, TBC menempati posisi kesepuluh dari 10 penyakit paling mematikan di dunia selama rentang tahun 2000-2016, sehingga juga menjadi salah satu tujuan dalam SDGs (Sustainability Development Goals).

Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (Infodatin), ada lima negara di dunia dengan insiden kasus TBC tertinggi yakni India, Indonesia, China, Filipina dan Pakistan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan begara dengan beban tinggi/High Burden Countries (HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yakni, TBC, TBC/HIV dan MDR-TBC.

Ada 48 negara yang masuk dalam daftar tersebut, di mana satu negara dapat masuk dalam salah satu kategori tersebut atau keduanya, atau bahkan ketiganya. Dan ternyata Indonesia masuk dalam kategori HBC untuk ketiga indikator tersebut bersama 13 negara lainnya. Itu artinya TBC masih menjadi permasalahan besar bagi Indonesia terkait penyakit infeksi.

TBC dan Gejala Umum
Tuberkulosis (TBC/TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis. Ada beberapa spesies Mycobacterium lainnya seperti, M. africanum, M. bovis, M. leprae dan lainnya.

Sebenarnya berdasarkan lokasi infeksinya, penyakit TB dibagi menjadi 2 yakni TB Paru (menginfeksi parenkim paru) dan TB Ekstra Paru (menginfeksi selain paru).

TB Ekstra Paru sendiri dibagi menjadi dua golongan berdasarkan tingkat keparahannya yakni TB Ekstra Paru Berat dan TB Ekstra Paru Ringan. TB Ekstra Paru Ringan meliputi kelenjar getah bening, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, kelenjar adrenal dan lainnya.

Sedangkan TB Ekstra Paru Berat meliputi infeksi meningitis, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih, TB alat kelamin dan lainnya. Namun pada tulisan saya kali ini, saya hanya akan fokus pada TB Paru.

Ilustrasi: jornalnordeste.com
Ilustrasi: jornalnordeste.com
Gejala umum pasien yang menderita TB Paru antara lain batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih dan dapat disertai gejala tambahan yakni dahak yang bercampur darah, sesak nafas, lemas, nafsu makan dan berat badan menurun, malaise, keringat di malam hari tanpa kegiatan fisik, demam/meriang lebih dari satu bulan. Meski begitu pada pasien dengan HIV positif, batuk belum tentu menjadi gejala khas, sehingga gejala batuk tidak harus selama 2 minggu atau lebih.

Diagnosa TB Paru dapat ditegakkan dengan radiologi/rontgen paru dan identifikasi positif BTA (M. tuberculosis) pada sputum/dahak.

Pengobatan TBC
Sebelum memberikan/menerima pengobatan, baik tenaga kesehatan maupun pasien TB wajib memastikan riwayat pengobatan sebelumnya, supaya tenaga kesehatan dapat memberikan obat dengan regimen dosis yang tepat, mengingat Anti-TB adalah antibiotik yang dapat beresiko resistensi antibiotik jika pengobatannya tidak tepat.

Ada 4 kategori kasus dalam riwayat pengobatan TB, yakni:

1. Kasus Baru (pasien yang belum pernah mendapat Anti-TB atau mendapat Anti-TB selama kurang dari 4 minggu, atau pasien sudah dinyatakan sembuh setelah menyelesaikan regien pengobatan namun BTA/Bakteri Tahan Asam kembali positif).

2. Kasus Gagal (pasien yang tetap BTA positif atau menjadi positif lagi setelah pengobatan selama 5 bulan, termasuk pasien yang BTA negatif di awal pengobatan dan menjadi positif setelah 2 bulan pengobatan).

3. Pengobatan Terputus (pasien yang terputus obat selama 2 bulan atau lebih dan kembali dengan BTA positif, atau terkadang hasil tes BTA negatif tapi pemeriksaan radiologi memberikan kesan TB aktif). Kondisi inilah yang sangat berpotensi timbulnya resistensi antibiotik / MDR-TB (Multiple Drug Resistant-TB) dan berujung pada TB Kronik. Itulah mengapa, pasien yang menjalani pengobatan Anti-TB tidak boleh satu haripun terlewat/terputus.

4. Kasus Kronik (pasien dengan BTA tetap positif atau menjadi positif lagi setelah menjalani pengobatan di bawah pengawasan).

Prinsip pengobatan TB pada dasarnya adalah regimen pengobatan yang terdiri dari dua fase yakni:

1. Fase Awal/Intensif, biasanya dengan kombinasi 4 obat Anti-TB selama kurang lebih 2 bulan. Tujuannya utamanya adalah untuk mengurangi jumlah kuman dan mengubah pasien yang berpotensi menularkan infeksi menjadi noninfeksi.

2. Fase Lanjutan, biasanya dengan jumlah kombinasi obat Anti-TB lebih sedikit selama kurang lebih 4-6 bulan. Tujuan utamanya adalah untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan.

Beberapa obat Anti-TB yang umum digunakan adalah Rifampisin, Isoniazide (INH), Pirazinamid, Etambutol, Streptomycin dan lainnya dengan kombinasi dan regimen tertentu sesuai petunjuk tenaga kesehatan.

Efek samping pengobatan TB juga dibagi menjadi dua, yakni minor dan major. Jika efek samping minor muncul, seperti anoreksia, mual, sakit perut, nyeri sendi, rasa panas di kaki, maka pengobatan tetap dapat diteruskan dengan tambahan obat lain yang sesuai untuk mengurangi efek samping tersebut. 

Perlu diketahui juga bahwa efek samping Rifampisin adalah sekresi (urin dan keringat) yang berwarna kemerahan. Efek ini terkadang sering menimbulkan ketakutan bagi pasien karena mengira ada darah yang yang keluar.

Sementara itu jika efek samping major yang muncul seperti, gatal dan kulit kemerahan, ketulian, pusing, vertigo, muntah, kebingungan (dicurigai gagal hati), gangguan penglihatan, syok, gagal ginjal akut, maka pengobatan TB yang dicurigai harus dihentikan.

Pencegahan TBC
TB Paru dapat menular melalui udara dan kontak saliva/air liur (misal penggunaan bersama alat makan), terutama jika daya tahan tubuh seseorang sedang menurun. Dengan demikian, pasien HIV atau orang dengan status gizi buruk semakin berisiko untuk terinfeksi TBC.

Ilustrasi: medium.com
Ilustrasi: medium.com
Berikut beberapa upaya dan pengendalian faktor risiko TBC:

- Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat;

- Membudayakan perilaku etika berbatuk (menutup mulut);

- Memelihara kualitas lingkungan rumah yang sehat;

- Penanganan penyakit penyerta TBC;

- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TBC di dalam mapun di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

2019 Theme: IT'S TIME
Seperti yang dilansir dari laman situs resmi WHO, tema Hari TBC Sedunia tahun 2019 ini adalah "It's Time". Kita diajak untuk selalu aware dengan risiko penyakit TBC dan senantiasa aktif untuk mengupayakan pencegahan penularan penyakit.

It's time to test and treat latent TB infection
Penyakit TBC dapat dicegah dengan deteksi dini. Jadi jika sekiranya seseorang mengalami gejala-gejala umum infeksi TBC seperti yang telah disebutkan di atas, jangan menunda untuk memeriksakan diri ke dokter dan melakukan tes. Dan bila diagnosis menyatakan positif BTA, jangan menunda pengobatan. Diskusikan dengan keluarga terdekat supaya mereka dapat membantu mengawasi pengobatan, mengingat pengobatan TB tidak boleh terputus.

It's time we strengthen TB education and awareness among health care providers
Mengingat penularan TBC sangat mudah, penyakit ini dapat menjangkiti siapapun tanpa terkecuali. Oleh sebab itu tenaga kesehatan hendaknya jangan pernah lelah dalam memberikan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat (resiko, pengobatan dan pencegahan) untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan penyakit TBC.

Pemerintah bersama para praktisi kesehatan juga hendaknya terus menyediakan fasilitas untuk mempermudah masyarakat dalam mengakses informasi mengenai TBC sehingga mereka tidak bingung harus kemana saat mengalami gejala TBC.

It's time to end stigma
Tak dapat dipungkiri, terkadang pasien TB menerima perlakuan negatif dari orang-orang sekitar sehingga banyak dari mereka yang merasa malu dan urung memeriksakan diri. Oleh sebab itu jika ada teman atau kerabat yang kita lihat mengalami gejala-gejala umum TBC, sebaiknya diingatkan untuk segera memeriksakan diri ke dokter.

Selain itu pasien sendiri juga hendaknya memaklumi kewaspadaan orang lain dalam mencegah penularan terhadap dirinya (misal saat orang lain membatasi interaksi). 

Pasien juga hendaknya sadar diri untuk menggunakan masker dan mulai memisahkan peralatan makan bersama dengan keluarga, sebagai bentuk kepedulian supaya tidak menularkan penyakit kepada yang lain (terutama anak-anak). 

Intinya adalah rasa saling kepedulian satu sama lain, dimana yang sehat peduli kepada yang sakit supaya lekas sembuh dan yang sakit peduli kepada yang sehat supaya tidak tertular.

It's time for action, it's time to end TB!

Referensi: PIONAS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun