Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saat Tulisan Kita Dikritik

27 Desember 2018   17:55 Diperbarui: 28 Desember 2018   04:50 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: istockphoto.com

Saya sadar betul bahwa saya cuma penulis pemula yang masih perlu banyak belajar sehingga kemungkinan besar saya bisa saja memperoleh kritik atas tulisan saya. Dan kebetulan saya memang belum pernah mengalami bagaimana rasanya tulisan saya benar-benar dikritik. 

Tapi kemudian ketika saya mengalaminya langsung, ternyata ada berbagai emosi yang saya rasakan. Kesal, heran, bingung, dan bahkan senang jadi satu. Bener loh, ada rasa senangnya juga!

Jadi singkat cerita, beberapa waktu yang lalu salah satu tulisan saya yang membahas tentang salah satu fenomena sosial yang sering terjadi di kalangan masyarakat Batak (khususnya di kota), di-repost oleh salah satu akun Instagram yang fokus isinya seputar kehidupan orang-orang Batak. 

Sebenarnya tulisan tersebut sudah dipublikasikan beberapa bulan yang lalu, namun karena repost tersebut, pembahasannya kembali muncul dan mengundang beragam respon dari followers akun Instagram tersebut, yang kebetulan jumlahnya lumayan banyak. Dan pastinya respon yang muncul ada yang pro, ada pula yang kontra.

Seperti yang sudah saya kemukakan di awal artikel tersebut, tulisan saya didasarkan pada hasil pengamatan saya sendiri dan kebetulan juga memang sudah saya alami sendiri. Oleh sebab itu ketika ada yang menanggapinya dengan bahasa nyinyir, emosi saya pun mulai terpancing.

Tangan saya sudah gatal hendak mengetik balasan komentar (karena yang bersangkutan sudah menuduh bahwa tulisan saya tanpa dasar, bahkan sampai memunculkan spekulasi sembarangan tentang kehidupan pribadi saya), tapi kemudian saya urungkan niat tersebut dan mencoba memahami maksud sebenarnya si komentator nyinyir itu dengan mencoba memposisikan diri sebagai orang tersebut. Nia banget memang.

Dan setelah dipikir-pikir, saya memutuskan bahwa komentar-komentar tersebut hanyalah komentar nyinyir biasa. Maklum, mungkin si komentator mau tampil beda dibandingkan dengan komentator lainnya yang pro.

Sebisa mungkin saya menyampaikan penjelasan saya dengan diplomatis namun tepat sasaran, supaya tidak perlu berlanjut dengan debat kusir.

Hikmah apa yang saya petik dari pengalaman saya ini?

Jangan takut membuat tulisan opini

Umumnya penulis amatir (seperti saya) pastilah pernah merasa ragu-ragu ketika akan menuangkan pendapat dalam bentuk tulisan, apalagi jika tulisan tersebut akan dipublikasikan, karena seakan-akan membiarkan orang lain melihat isi otak kita sendiri.

Banyak kekahwatiran muncul, mulai dari apakah kita bisa menuangkan isi pikiran ke dalam rangkaian kalimat yang enak dibaca dan mudah dimengerti pembaca, apakah lebih banyak orang yang setuju dengan opini kita atau tidak setuju, apakah materi tulisan kita layak untuk dipublikasikan, dan 'apakah' lainnya.

Menurut hemat saya, yang namanya opini pastilah akan menimbulkan pro dan kontra. Tidak semua setuju dengan pendapat kita, tapi tidak semua juga menentang pendapat kita. Jadi pro-kontra adalah suatu hal yang wajar.

Dan ketika tulisan (opini) kita menimbulkan diskusi di antara para pembaca, itu berarti topik atau materi yang kita sajikan layak untuk dipublikasikan. Jika tidak, tentu orang lain yang membaca akan berpikir 'untuk apa repot-repot membahas tulisan yang tidak bermutu?'.

Jadi jangan takut untuk membuat tulisan opini (atau tulisan apapun), karena rasa takut itu hanya akan mengurung ide-ide kita.

Dan supaya kita lebih percaya diri dengan hasil tulisan kita, poin kedua di bawah dapat dijadikan sebagai kartu As kita dalam menulis opini.

Riset adalah bagian penting dari tulisan
Meskipun intinya adalah pendapat pribadi, dalam menulis sebuah opini kita juga tidak boleh sembarang menulis. Paling tidak lakukan sedikit riset untuk mendukung tulisan kita. Riset tidak harus berupa penelitian ilmiah yang harus menyertakan bukti-bukti yang tervalidasi. 

Riset bisa berupa studi literatur (melalui buku-buku teks), browsing internet dari website-website terpercaya, wawancara atau kuesioner singkat, atau bahkan pengamatan atau observasi kecil yang kita lakukan sendiri.

Dengan melakukan riset kecil-kecilan untuk mendukung tulisan kita, paling tidak kita akan jadi lebih percaya diri ketika dihujani kritik dari pembaca.

Terbuka dan bijak dalam menerima setiap kritik
Kalau tulisan kita mendapat pujian, tentunya kita akan merasa senang. Tapi lain halnya jika kritik yang kita dapat, apalagi kritiknya hanya berupa kalimat nyinyir atau hujatan. Rasanya pengen ngomel-ngomel pastinya.

Namun bagaimanapun kita tetap harus terbuka terhadap setiap respon yang muncul, mulai dari yang positif hingga negatif.

Kritik ini umumnya datang dari pembaca yang kontra dan bisa berupa kritik yang berbobot maupun kritik yang sifatnya tidak membangun. Oleh sebab itu kita harus pintar dan bijak memilah mana yang perlu kita dengarkan dan pertimbangkan, mana yang tidak.

Percayalah jika kita bijak dalam menerima kritikan, hal tersebut malah akan membuat kita lebih maju dan berkembang. Kritik pada dasarnya dapat kita jadikan motivasi untuk memperbaiki kualitas tulisan kita supaya bisa lebih diterima di kalangan pembaca.

"If you can't tolerate critics, don't do anything new or interesting" -- Jeff Bezos.

Keep writing!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun