Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Ini Dia Bedanya Jamu, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka

1 November 2018   15:27 Diperbarui: 12 Mei 2024   17:15 25076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jamu (Sumber: valoricigaways.blogspot.com)

Seiring perkembangan zaman, orang semakin menyadari akan pentingnya gaya hidup sehat untuk meningkatkan kualitas hidup. Dan tren gaya hidup sehat ini telah merambah ke seluruh aspek-aspek kehidupan sehari-hari seseorang, mulai dari konsumsi bahan pangan, olahraga, hingga konsumsi obat dan suplemen.

Coba saja lihat di supermarket, produk-produk yang diklaim organik (beras, buah, sayur dan lainnya) mungkin saja lebih laku meskipun harganya lebih mahal.

Dari sisi dunia kesehatan, kalau dulu masyarakat lebih fokus pada proses penyembuhan penyakit yang cepat, kini pandangan masyarakat telah bergeser ke upaya pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit.

Sama halnya dengan obat-obatan. Kalau dulu orang tidak peduli dari mana suatu obat berasal, yang penting sembuh. Sekarang asal muasal obat juga menjadi faktor penting dalam menentukan obat yang akan dikonsumsi.

Tren penggunaan Obat Tradisional kini semakin marak, alasannya apalagi kalau bukan karena Obat Tradisional dianggap memiliki risiko efek samping rendah daripada obat sintetis (meskipun pandangan ini sebenarnya salah kaprah).

Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki hasil bumi yang melimpah dan kaya akan keanekaragaman hayati, termasuk ribuan jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Terbukti dengan banyaknya resep Obat Tradisional yang dibuat berdasarkan informasi turun-temurun dari nenek moyang sejak zaman dahulu kala (empiris).

Hingga sekarang, masyarakat masih menggunakan istilah Obat Tradisional atau Obat Herbal untuk menyebut obat yang berasal dari bahan-bahan alami. Namun para ahli berpendapat bahwa saat ini istilah Obat Tradisional dan Obat Herbal sudah kurang relevan. Mengapa?

Alasan pertama

Peraturan Menteri Kesehatan No. 7 tahun 2012, Obat Tradisional berarti bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Satu kata yang perlu diperhatikan disini adalah "turun-temurun" yang berarti ramuan tersebut sudah ada sejak lama. Namun seiring perkembangan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan, ada banyak penemuan baru terkait khasiat suatu tanaman.

Baik itu berupa tanaman baru, zat aktif baru, atau manfaat baru dari suatu tanaman yang sudah dikenal sebelumnya. Jadi karena perolehannya tidak secara turun-temurun, istilah Obat Tradisional tidak lagi tepat.

Ilustrasi: konfrontasi.com
Ilustrasi: konfrontasi.com
Alasan kedua

Istilah Obat Herbal juga sebenarnya kurang relevan, karena jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "Herbal" berasal dari kata dasar "Herba" yang berarti "tanaman terna". Sementara itu Obat Tradisional tidak hanya berasal dari tanaman, melainkan juga bisa berasal dari hewan maupun mineral. Jadi apa dong?

Para ahli berpendapat bahwa terminologi yang lebih tepat adalah Obat Bahan Alam (OBA), dimana sumber Obat Bahan Alam sama seperti definisi Obat Tradisional, namun khasiatnya bukan hanya berdasarkan informasi empiris melainkan diperoleh juga melalui penelitian di masa kini.

Dengan diterbitkannya undang-undang kesehatan nomor 17 tahun 2023, maka istilah obat tradisional kini resmi diganti menjadi obat bahan alam. Menurut Peraturan BPOM nomor 25 tahun 2023 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat Bahan Alam:

OBA adalah bahan, ramuan bahan, atau produk yang berasal dari sumber daya alam berupa tumbuhan, hewan, jasad renik, mineral, atau bahan lain dari sumber daya alam, atau campuran dari bahan tersebut yang telah digunakan secara turun temurun, atau sudah dibuktikan berkhasiat, aman, dan bermutu, digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/atau pemulihan kesehatan berdasarkan pembuktian secara empiris dan/ atau ilmiah.

Lalu apa saja yang termasuk dalam kategori Obat Tradisional / Obat Bahan Alam?

Saya pernah menyinggung soal Obat Tradisional dalam artikel-artikel saya sebelumnya. Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM tentang Ketentuan Pokok Pengelompokkan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, terbagi dalam tiga kategori berdasarkan cara pembuatan, klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiatnya, yakni Jamu, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka. Ketiganya harus aman dan memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Pembedanya terletak pada pembuktian klaim khasiat dan keamanan.

1. Jamu

Ilustrasi jamu (Sumber: valoricigaways.blogspot.com)
Ilustrasi jamu (Sumber: valoricigaways.blogspot.com)
Definisi jamu adalah Obat Bahan Alam berupa bahan atau ramuan yang bersumber dari pengetahuan tradisional atau warisan budaya Indonesia yang digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/ atau pemulihan kesehatan.

Klaim khasiatnya dibuktikan secara turun-temurun (empiris) namun tidak boleh mengklaim memberikan kesembuhan penyakit. Diproduksi secara sederhana dengan peralatan yang sederhana dan bahan bakunya belum terstandar. Contohnya jamu beras kencur, dan jamu gendong lainnya.

2. Obat Herbal Terstandar

OHT adalah Obat Bahan Alam yang telah digunakan secara turun-temurun di Indonesia yang digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/ atau pemulihan kesehatan yang dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik serta bahan baku yang telah distandardisasi.

Klaim khasiatnya dibuktikan secara ilmiah yaitu melalui uji pre-klinik (menggunakan hewan coba), bahan bakunya telah distandardisasi dan diproduksi di fasilitas yang biasanya sudah modern dan menerapkan/memenuhi standar Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).

3. Fitofarmaka

Fitofarmaka adalah Obat Bahan Alam yang digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/ atau pemulihan kesehatan yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik serta bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi.

Selain itu fitofarmaka juga dibuat dengan menggunakan fasilitas produksi yang memenuhi standar CPOTB. Oleh karena ketatnya persyaratan Fitofarmaka, maka Obat Bahan Alam kategori ini setara dengan obat sintetis modern lainnya, serta bisa diresepkan oleh dokter. Namun sayangnya, jumlah produk Fitofarmaka di Indonesia masih sangat sedikit.

Untuk memudahkan konsumen mengetahui suatu obat bahan alam termasuk dalam kategori mana, ada logo yang berbeda yang tertera pada kemasan.

Logo Obat Bahan Alam (Sumber: tariasrahayu.blogspot.com)
Logo Obat Bahan Alam (Sumber: tariasrahayu.blogspot.com)
Hal-hal yang Dilarang Terkait Obat Bahan Alam

Selain persyaratan di atas, perlu diketahui juga bahwa Obat Bahan Alam memiliki beberapa larangan, antara lain:

1. Tidak boleh mengandung Bahan Kimia Obat (BKO), alkohol lebih dari 1% kecuali berbentuk Tingtur yang pemakaiannya harus diencerkan dulu, narkotika & psikotropika, bahan yang berasal dari tumbuhan/hewan yang dilindungi, serta bahan lain yang dapat membahayakan kesehatan.

2. Tidak boleh dibuat dalam bentuk (sediaan) intravaginal (dimasukkan ke dalam vagina), tetes mata, parenteral (injeksi) dan suppositoria (dimasukkan ke dalam anus) kecuali untuk wasir.

Jadi bila Anda menemukan atau menggunakan Obat Bahan Alam yang diklaim bisa memberikan efek cepat alias 'cespleng', patut dicurigai bahwa obat tersebut mungkin mengandung BKO. Pun bila Anda menemukan iklan Obat Bahan Alam dalam bentuk-bentuk seperti tersebut di atas, berarti obat tersebut ilegal.

Tantangan Industri Farmasi dalam Mengembangkan Fitofarmaka

Seperti yang sudah saya singgung di atas, bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi sumber bahan baku Obat Bahan Alam yang sangat besar (beda dengan bahan baku kimia obat yang hingga saat ini mayoritas pengadaannya masih melalui importasi dari negara lain), sayangnya justru jumlah produk fitofarmaka kita masih sedikit.

Ilustrasi fasilitas produksi obat modern (Sumber: indofarma.id)
Ilustrasi fasilitas produksi obat modern (Sumber: indofarma.id)
Hingga artikel ini dipublikasikan pertama kali (dan tanpa bermaksud promosi/endorse), berikut beberapa contoh Fitofarmaka yang telah beredar di Indonesia :

1. Livitens (mengandung olive leaf extract EFLA) untuk menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi ringan.
2. Stimuno (mengandung ekstrak Meniran) untuk Immunomodulator (meningkatkan daya tahan tubuh).
3. Tensigard (mengandung ekstrak Kumis Kucing dan Seledri) untuk Hipertensi.
4. X-Gra (mengandung ektrak Panax Ginseng, Ganoderma, Eurycomae) untuk Afrodisiak / disfungsi ereksi.
5. Inlacin (mengandung ekstrak Daun Bungur dan Kayu Manis) untuk Diabetes.
6. New Divens; Diabetadex (mengandung ekstrak Meniran dan Jintan Hitam) untuk Immunomodulator, dan lainnya.

7. Disolf (mengandung enzim Lumbrokinases dari cacing tanah) untuk melancarkan sirkulasi darah.

8. Vipalbumin Plus (mengandung ekstrak ikan gabus) untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

9. Redacid (mengandung ekstrak kayu manis) untuk meredakan gangguan lambung.

Lalu kira-kira mengapa Fitofarmaka kita masih sedikit? Rupanya masih ada banyak tantangan yang dihadapi oleh industri farmasi dalam mengembangkan Fitofarmaka mulai dari:

1. Modal dan Pengembangan

Industri farmasi umumnya merupakan sektor yang padat modal/investasi. Pembangunannya memerlukan biaya yang besar untuk membuat fasilitas produksi beserta segala sarana penunjang dan teknologinya. Belum lagi pengembangan formulasi produk, mulai dari pemilihan dan pengujian bahan baku, hingga uji pre-klinik dan uji klinik produknya. Proses Research & Development ini tentunya memakan biaya besar dan waktu lama, serta dibutuhkan SDM yang ahli dan kompeten.

2. Regulasi

Oleh sebab pesyaratannya sama seperti obat modern, maka Fitofarmaka harus memenuhi ketentuan BPOM terkait keamanan, kualitas dan efikasinya. Ketiga aspek ini tidak hanya dievaluasi saat pre-market tapi juga dipantau selama proses produksi hingga post-market.

3. Sistem JKN

Meskipun sistem pelayanan kesehatan seperti ini menguntungkan masyarakat, jika Fitofarmaka masuk dalam daftar obat JKN, tentunya industri farmasi harus bersaing soal harga yang murah karena sistemnya berupa lelang. Jika harga terlalu murah, besar kemungkinan tidak menutup modal pengembangan produk. Selain itu, fitofarmaka juga masih jarang diresepkan oleh dokter. Mungkin upaya pengenalan produk fitofarmaka perlu lebih digalakkan lagi di kalangan dokter Indonesia, serta memperbanyak edukasi kepada masyarakat umum.

4. Kompetitor Asing

Rasanya cukup fair jika kita mengakui bahwa teknologi industri farmasi asing masih lebih kuat daripada kita. Besar kemungkinan perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) yang lebih sanggup melakukan penelitian terhadap bahan-bahan alam dari Indonesia. Jadi tentunya sayang sekali kan jika sampai ada bahan alam kita yang dipatenkan oleh perusahaan asing karena modal dan teknologi yang tidak memadai?

Semoga kelak produk Fitofarmaka di Indonesia bisa semakin berkembang dan menjadi suatu komoditi obat yang kuat untuk kesehatan masyarakat, serta bisa dibanggakan hingga ke dunia internasional. Untuk mencapai cita-cita ini tentunya tidak lepas dari dukungan pemerintah, pelaku usaha, serta peran masyarakat seperti para petaninya.

- Artikel ini diperbaharui tanggal 12 Mei 2023 -

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun