Candi Borobudur memang tak pernah hilang pesona. Kemegahannya ternyata menyimpan banyak cerita sejarah dan misteri, yang tidak bisa kita pahami hanya dalam satu kali kunjungan. Sebelumnya saya sudah tiga kali berkunjung ke Borobudur. Pertama saat masih Taman Kanak-Kanak, kedua saat study tour SMP dan ketiga di bulan Juni tahun lalu dalam rangka liburan keluarga.
Dua kunjungan pertama boleh dibilang saya tidak begitu paham apa yang harus saya lihat dan amati. Dan di kunjungan ketiga saya kembali gagal menghayati keindahan Borobudur karena waktunya yang sangat amat tidak pas. Kebetulan saat itu sedang libur Idul Fitri dan saya bersama keluarga terlambat datang alias sudah kesiangan. Alhasil Candi Borobudur saat itu tertutup lautan pengunjung dan membuat saya sulit bergerak, bahkan untuk naik ke tingkat pertama bagian Rupadhatu saja tidak bisa.
Belum lagi panas matahari yang sangat menyengat dan pas di atas kepala. Alhasil saya turun lagi tanpa sempat menginjak langkan Stupa Induk. Perasaan kami saat itu luar biasa kesal dan menyesal! Hari itu juga saya dan adik saya bertekad akan kembali ke sana tahun depan pada saat perayaan Waisak. Tujuan kami berdua adalah mengikuti Penerbangan Lampion saat perayaan Waisak dan melihat matahari terbit (Borobudur Sunrise). Mainstream memang, tapi kalau sudah niat ya mau bagaimana lagi kan? Hihihi..
Namun sayangnya sekitar akhir Maret kemarin, jadwal penerbangan Lampion yang dikeluarkan oleh WALUBI dilaksanakan tepat tanggal 29 Mei malam, sementara saya harus kembali ke Jakarta tanggal 29 Mei sore. Akhirnya mau tidak mau saya dan adik saya mengubah itinerary. Membatalkan kunjungan ke perayaan Waisak dan memajukan jadwal Borobudur Sunrise.
Bukan itu saja, kekhawatiran kami kembali muncul ketika seminggu sebelumnya, Gunung Merapi dikabarkan "batuk-batuk" (baca: meletus freatik) hingga beberapa hari berikutnya. Kami ketakutan liburan kali ini batal total jika Bandara Adisucipto atau Candi Borobudur ditutup. Tapi untungnya kedua hal itu tidak terjadi sama sekali. Bahkan selama empat hari kami di sana, Sang Merapi adem ayem. Mungkin kemarin dia hanya "menggoda" saja.
Saya dan adik saya sampai di Magelang tanggal 26 Mei malam dan langsung menuju Hotel Wahid yang lokasinya hanya beberapa ratus meter dari kompleks candi. Karena kebetulan kami juga sudah lelah karena penerbangan pertama dan langsung keliling di wilayah Keraton, kami langsung beristirahat supaya kami bisa bangun pukul tiga pagi.
Dan kebetulan, hotel kami juga menyediakan penjualan tiket Borobudur Sunrise plus fasilitas antar ke Hotel Manohara. Kerennya, harga tiketnya sama dengan harga yang dijual Hotel Manohara dan tanpa ada biaya tambahan untuk fasilitas antar-nya!
Tepat pukul 4.20 WIB keesokan harinya, kami diantar ke Hotel Manohara dengan menggunakan mobil hotel. Dan betapa kagetnya saya, lobi hotel saat itu luar biasa ramai untuk ukuran waktu subuh! Rupa-rupanya mereka semua adalah pengunjung Borobudur Sunrise. Dan saya lihat mereka semua adalah turis asing yang ditemani oleh tour guide mereka. Niat banget kami ini, pikir saya waktu itu. Rela bangun subuh-subuh demi lihat matahari terbit di atas candi.
Kami berdua benar-benar merasa sangat excited saat itu. Bagaimana tidak, sensasi menaiki Candi Borobudur saat gelap gulita ditemani angin pagi yang dingin, melihat rangkaian cahaya senter pengunjung yang mulai bergerak naik ke atas candi, plus suasana yang hening, rasanya gimanaaa gitu.
Melihat matahari terbit di gunung mungkin sudah umum, tapi melihat matahari terbit dari atas Candi Buddha terbesar yang diperkirakan dibangun pada abad ke-8 dan telah menyandang predikat warisan dunia dari UNESCO, rasanya luar biasa sekali!
Sesampainya di atas, para pemburu fajar sudah memenuhi bagian tingkat Stupa Induk (langkan ketiga Arupadhatu) yang menghadap ke timur. Bagian tersebut menjadi titik utama berkumpulnya para pengunjung. Saya dan adik saya mendapat tempat di sisi pinggir yang masih kosong.
Sambil menunggu sang surya muncul, saya hanya duduk-duduk menikmati kegelapan, semilir angin dan kesunyian candi. Bener loh, sunyi. Tidak ada yang teriak-teriak maupun tertawa atau berbicara keras. Semuanya kalau tidak berbicara pelan atau berbisik-bisik, ya diam. Nampaknya para pengunjung tahu betul bagaimana menikmati penantian matahari terbit.
Pemandangan pagi itu benar-benar cantik nan indah. Patung Buddha dalam Stupa Terbuka (Opened Stupa) yang disirami cahaya matahari tampak begitu eksotis sekaligus magis. Saya merasa sangat senang karena akhirnya bisa mengabadikan momen tersebut dengan tangan saya sendiri, meski gambarnya tidak seindah aslinya. Yah, itu membuktikan bahwa dalam menyaksikan keindahan alam, mata manusia tetap lebih baik daripada lensa kamera.
Sebagai informasi, ada dua Opened Stupa di Candi Borobudur yakni yang menghadap ke timur dan barat. Keduanya berada pada langkan kedua bagian Rupadhatu. Ibaratnya Sang Buddha selalu menyambut matahari setiap pagi dan mengucapkan selamat tinggal pada matahari terbenam setiap sore.
Namun kini hal tersebut sudah dilarang dan didepannya telah terpasang kamera CCTV. Saya yakin upaya ini dilakukan untuk mencegah kerusakan/vandalisme dari pengunjung yang tidak bertanggung jawab.
Ini membuktikan bahwa kemegahan dan keeksotisan Candi Borobudur selalu memikat siapapun untuk datang melihatnya. Apalagi sejak tahun 2016 Candi Borobudur ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu dari sepuluh destinasi wisata "Bali Baru", bersama Danau Toba, Tanjung Lesung, Bromo tengger Semeru, Pulau Komodo, Wakatobi, Mandalika dan lainnya.
Sejujurnya tiket masuk Borobudur Sunrise terbilang sangat mahal, yakni 325 ribu rupiah untuk turis lokal, 450 ribu rupiah untuk turis asing, dan 275 ribu rupiah untuk pengunjung yang menginap di Manohara. Sekitar delapan kali lipat dari harga tiket masuk turis lokal reguler yang sebesar 40 ribu rupiah per orang.
Tapi saya tidak merasa menyesal mengingat pengalaman yang saya dapat sangat unik dan lagipula tentunya sebagian biaya ini juga digunakan untuk pemeliharaan dan perawatan candi. At least saya pernah mencoba satu kali. Jadi jangan sampai orang asing tahu sementara kita sendiri yang warga Indonesia tidak tahu.
- Menginap di sekitar Candi Borobudur satu malam sebelumnya, karena tur dimulai pukul 4.30 WIB dimulai dari Hotel Manohara. Turis yang berkunjung ke Yogyakarta biasanyanya penginapannya terpusat di kota seperti Malioboro atau Kaliurang, yang letaknya jauh dari Magelang. Jarak hotel yang dekat memudahkan kita menjangkau Borobudur, mengingat daerah tersebut masih tergolong desa dan sulit mencari transportasi umum saat subuh.
- Cari tahu apakah hotel sekitar menyediakan fasilitas pembelian tiket Borobudur Sunrise. Anda bisa membandingkan harganya dengan Hotel Manohara.
- Gunakan alas kaki yang nyaman dan pakaian yang cukup hangat. Minimal sweater untuk mencegah masuk angin.
- Tidur lebih awal supaya kondisi tubuh fit. Apalagi biasanya setelah Borobudur Sunrise, kita sebagai turis akan melanjutkan ke destinasi lainnya.
Pada dasarnya pengunjung Borobudur Sunrise tidak dibatasi waktunya, kapan harus turun dari candi. Namun biasanya mereka akan selesai pukul 7.00 -- 7.30 WIB karena saat itu candi akan mulai ramai oleh pengunjung reguler. Pengunjung Borobudur Sunrise akan keluar melewati pintu khusus ke arah Manohara, dan mendapatkan cinderamata saat mengembalikan senter. Setelah itu kita bisa menukarkan kupon yang tertera di tiket dengan snack pagi plus kopi dan teh. Pokonya uneakk tenann..
Dengan demikian impian saya mengejar fajar Borobudur tercapai sudah. Kalau kamu kapan ke sana?
 P.S. : Dengan berakhirnya artikel ini, saya juga ingin mengucapkan Selamat Hari Raya Waisak bagi seluruh Umat Buddha di Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H