Obat sejatinya adalah racun. Namun jika digunakan dengan baik dan benar, maka obat bisa bermanfaat untuk menyembuhkan, merawat dan mencegah penyakit, dan/atau meningkatkan kesehatan fisik dan mental. Tapi ketika obat digunakan dengan tidak baik dan benar, maka obat justru akan merugikan si pengguna. Penggunaan obat dengan tidak baik dan benar ini disebut Drug Misuse (Salah Penggunaan Obat) atau Drug Abuse (Penyalahgunaan Obat). Mirip sih, tapi nyatanya mereka berbeda loh.
Paling tidak ada tiga ketentuan umum dalam menggunakan obat yaitu: Use as Appropriate (gunakan dengan seharusnya); Use as Directed (gunakan sesuai petunjuk); Use as Prescribed (gunakan sesuai dengan resep).
Jumlah/dosis, cara dan lama penggunaan obat harus sesuai dengan petunjuk yang tertera pada label / kemasan obat dan/atau petunjuk dokter.
Meskipun petunjuk penggunaan suatu obat sudah tersedia, pada kondisi tertentu mungkin diperlukan penyesuaian dosis karena faktor kondisi kesehatan pasien itu sendiri (misal ada penyakit lain atau kondisi fisiologis yang berbeda). Oleh sebab itu penggunaan obat juga harus sesuai dengan arahan dokter.
Jika obat yang digunakan tidak sesuai dengan petunjuk (misal terlalu sering, terlalu banyak, atau tidak dihabiskan), maka dapat dikategorikan obat tersebut salah penggunaannya atau disalahgunakan.
Baik Drug Misuse maupun Drug Abuse, keduanya berpotensi membuat seseorang mengalami adiksi (ketagihan) atau disebut juga mengalami Substance-Use Disorder (Gangguan Penggunaan Zat). Beberapa gejala yang bisa diamati ketika seseorang menderita Substance-Use Disorder misalnya:
- Penggunaan zat berulang menyebabkan kegagalan dalam menjalankan kewajiban utama di tempat kerja, sekolah atau rumah dan mengalami masalah sosial atau interpersonal, bahkan hingga mengurangi kewajiban tersebut demi penggunaan zat;
- Zat yang digunakan sering kali diambil lebih banyak dan lebih lama dari biasanya;
- Adanya toleransi tubuh terhadap suatu zat sehingga selalu membutuhkan jumlah yang lebih banyak;
- Memiliki keinginan yang kuat untuk melanjutkan penggunaan zat tertentu meski sudah tahu efeknya pada tubuh; dan sebagainya.
Lalu apa dong bedanya?
Perbedaan Drug Misuse dan Drug Abuse
Pemisah antara Drug Misuse dan Drug Abuse sangat tipis. Walaupun konsepnya sama, perbedaannya boleh dibilang hanya terletak pada niat atau motivasi seseorang dalam menggunakan obat tersebut.
Drug Abuse dilakukan bukan dengan tujuan memperoleh efek terapeutik, melainkan untuk memperoleh efek psikotropik seperti sedatif, euforia, atau menenangkan.
Contoh, ketika seseorang tahu bahwa dengan mengkonsumsi zat 'A' ia dapat mengalami perasaan yang menyenangkan (euforia), maka dengan sengaja ia menggunakannya untuk bisa mengalami euforia itu, bahkan menaikkan sendiri dosisnya ketika menurutnya dosis biasa sudah tidak berefek.
Contoh lain Drug Abuse misalnya mengkonsumsi obat-obat tertentu bersamaan dengan alkohol atau kafein untuk memperoleh efek psikotropik yang diinginkan. Padahal  mengkonsumsi obat bersamaan dengan alkohol atau kafein bisa menimbulkan efek fatal bagi tubuh, bahkan hingga kematian.
Ini berarti orang tersebut melakukan penyalahgunaan obat (Drug Abuse) karena tidak sesuai peruntukkannya, atau padahal sebenarnya dia juga tidak memerlukan obat itu untuk tujuan terapeutik. Â Jadi ada faktor kesengajaan disini.
Selain itu, penggunaan obat ilegal juga merupakan suatu bentuk drug abuse. Misalnya obat-obat golongan narkotika.
Sebaliknya, Drug Misuse dilakukan jika seseorang menggunakan obat tidak sesuai dengan petunjuk. Bisa karena faktor ketidaksengajaan atau karena kurangnya pengetahuan.
Contoh, saat pasien mengkonsumsi antibiotik yang seharusnya dihabiskan untuk lima hari sesuai arahan dokter. Namun pasien menghentikan obatnya setelah tiga hari karena sudah merasa sembuh. Jika hal ini terus berulang, akan berpotensi menimbulkan resistensi.
Contoh lain, seorang pasien yang mengkonsumsi tablet salut enterik seperti Pantoprazole atau Omeprazole (untuk menekan produksi asam lambung). Ia menggerus obatnya karena merasa sulit menelan obat. Perlu diingat, tablet salut enterik didesain supaya tidak rusak ketika terpapar asam lambung. Jika digerus, tentu efek terapi yang diinginkan tidak akan tercapai.
Golongan Obat yang Sering Disalahgunakan
Drug Misuse dan Drug Abuse biasanya berkaitan dengan jumlah/dosis, frekuensi, dan tujuan penggunaan. Keduanya bisa dilakukan pada obat-obat yang memerlukan resep dokter (Prescribed Drug) maupun obat bebas (Over The Counter/OTC).
Contoh Obat Resep yang berpotensi disalahgunakan, terutama golongan:
1. Depresan Sistem Saraf Pusat (Penenang)
Di Indonesia obat-obat ini digolongkan sebagai Psikotropika. Misalnya Alprazolam, Diazepam, Clonazepam, Zolpidem, Zaleplon dan sebagainya.
2. Penghilang Rasa Sakit golongan Opioid (Analgesik Opioid)
Misalnya Morfin, Diasetilmorfin (Heroin), Fentanil, Metadon, Petidin, Tramadol, dan sebagainya. Obat-obat golongan ini biasanya digunakan untuk mengatasi nyeri berat misal pasca-operasi, kanker dan lainnya.
Untuk lebih lengkapnya mengenai obat-obat yang digolongkan ke dalam Analgesik Opioid dapat dilihat di sini.
Sedangkan contoh obat terlarang (Illicit Drugs / Street Drugs) yang sering disalahgunakan misalnya Cathinone (Bath Salts), LSD (Asam Lisergat), Cannabis / Marijuana (Ganja), dan lainnya. Dan hampir semua obat ilegal ini memiliki efek psikoaktif dan penggunaannya ditujukan untuk rekreasional. Obat-obat psikoaktif ini akan mempengaruhi fungsi otak dan saraf yang berefek pada perubahan perilaku, emosi, mood, hingga kesadaran.
Hal yang Perlu Diperhatikan
Baik Drug Misuse maupun Drug Abuse, keduanya bisa berakibat buruk hanya dalam sekali pakai maupun setelah pemakaian berulang, jika digunakan tidak sesuai petunjuk. Mulai dari efek terapi tidak tercapai, timbul efek samping, dan lainnya.
Untuk mencegah Drug Misuse dan Drug Abuse ini, peran tenaga kesehatan yakni dokter dan apoteker sangat penting. Berdasarkan Permenkes No. 3 Tahun 2015, penyerahan obat Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi RS, Instalasi Farmasi Klinik dan Dokter.
Resep-resep Narkotika, Psikotropika dan Prekursor harus asli atau salinan (copy) resep yang dibuat oleh Apotek itu sendiri serta tidak boleh diulang. Penyerahan hanya boleh dalam bentuk obat jadi dan harus diserahkan oleh Apoteker (jika di fasilitas pelayanan kefarmasian), bukan tenaga kefarmasian lain. Apotek juga tidak boleh melayani pembelian Narkotika, Psikotropika dan Prekursor tanpa resep atau menggunakan copy resep yang dibuat oleh apotek lain.
Selain itu pasien juga harus diedukasi supaya mengetahui cara penggunaan, lama penggunaan, cara menyimpan, efek samping yang mungkin timbul hingga risiko akibat penyalahgunaan atau salah penggunaan.
Bagi pasien yang menerima pengobatan Narkotika/Psikotropika/Prekursor, gunakan obat sesuai petunjuk. Jika masih ada sisa, jangan membagikannya kepada orang lain. Simpan di tempat di tempat yang aman sehingga menutup kemungkinan untuk digunakan oleh orang lain.
Duh, semoga ocehan saya gak bikin bingung yah. :)
Referensi:
-Artikel ini diperbaharui tanggal 5 Januari 2022-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H