Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kasus Albothyl, Bukti Berjalannya Farmakovigilans di Indonesia

17 Februari 2018   12:07 Diperbarui: 17 Februari 2018   14:14 9305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: shutterstock

Dalam satu bulan terakhir ini sudah ada 3 produk yang izin edarnya ditarik oleh BPOM karena tidak sesuai ketentuan. Dimulai dari Viostin dan Enzyplex tanggal 5 Februari lalu karena terbukti mengandung DNA babi, kini Albothyl pun dibatalkan izin edarnya per tanggal 15 Februari setelah ada 38 laporan kasus terkait efek samping serius yang timbul akibat penggunaan Albothyl, oleh profesional kesehatan dalam dua tahun terakhir ini.

Pada kasus Viostin dan Enzyplex, boleh dikatakan levelnya tidak sampai membahayakan pasien. Hanya tidak sesuai dengan ketentuan pelabelan produk, mengingat Indonesia adalah negara mayoritas Muslim sehingga produk yang mengandung babi harus mengikuti ketentuan khusus, seperti yang pernah saya jelaskan dalam artikel saya sebelumnya.

Tapi untuk kasus Albothyl kali ini, tentunya dianggap sangat serius karena berkaitan dengan keselamatan pasien. Dalam 38 laporan kasus tersebut menunjukkan bahwa adanya efek samping Albothyl yang malah memperparah sariawan yang diderita pasien dan menyebabkan infeksi (noma like lession).

Kejadian ini sedikit banyak menimbulkan pertanyaan dari masyarakat dan kalangan profesi kesehatan. Siapa yang salah? Produsen yang dianggap tidak serius dengan keamanan produknya atau regulator yang dianggap tidak cermat dalam mengevaluasi produk sebelum memberikan Nomor Izin Edar.

Perlu diketahui bahwa kualitas dan keamanan setiap produk obat maupun makanan yang beredar di Indonesia dikontrol oleh BPOM atau disebut juga post-market surveillance. Post-market surveillance ini biasanya dilakukan dengan cara sampling (mengambil contoh produk langsung dari pasaran untuk diuji di laboratorium). Dan cara sampling ini bisa dilakukan secara rutin (misalnya menjelang akhir tahun atau Idul Fitri) maupun secara mendadak jika diduga ada yang tidak sesuai ketentuan.

Namun tentunya, kontrol tidak hanya dilakukan oleh pihak regulator (dalam hal ini BPOM dan BBPOM) karena bisa dibayangkan bagaimana repotnya mereka mengontrol seluruh produk yang beredar di Indonesia beserta seluruh fasilitas produksinya. Oleh sebab itu, peran industri farmasi, profesional kesehatan di lapangan dan masyarakat awam juga diperlukan. Caranya? Ya dengan melaporkan kejadian tidak diinginkan (baik yang serius maupun tidak serius) yang timbul akibat penggunaan suatu obat atau yang dikenal dengan istilah Farmakovigilans. Apa lagi tuh?

Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan obat. Pelaporan ini sifatnya bisa berupa Pelaporan spontan, Pelaporan Berkala Pasca Pemasaran (Periodic Safety Update Report), Pelaporan studi keamanan pasca pemasaran, Pelaporan publikasi/literatur ilmiah, Pelaporan tindak lanjut regulatori Badan Otoritas negara lain, pelaporan tindak lanjut pemegang izin edar di negara lain, dan/atau Pelaporan dari perencanaan Manajemen Resiko.

Lalu seperti apa yang dimaksud dengan kejadian tidak diinginkan serius itu? Semua kejadian medis yang menyebabkan kematian, keadaan yang mengancam jiwa, pasien memerlukan perawatan di rumah sakit, perpanjangan waktu perawatan di rumah sakit, cacat tetap, kelainan kongenital (cacat lahir), dan/atau kejadian medis penting lainnya.

Pelaksanaan Farmakovigilans pertama kali dicanangkan oleh WHO sebagai bentuk respon atas kasus tragedi Thalidomide yang terjadi di Eropa tahun 1960an. Saat itu Thalidomide pertama kali masuk ke Jerman tahun 1957 dan digunakan sebagai obat untuk mengatasi mual pada ibu hamil. Namun ternyata obat ini mengakibatkan cacat lahir pada janin (Phocomelia) yang dilahirkan oleh ibu yang mengkonsumsi Thalidomide. Phocomelia menjadikan bayi yang lahir kehilangan tangan, kaki, abnormalitas pada telinga, jantung, ginjal dan lainnya. WHO melaporkan ada lebih dari 10.000 kasus terkait efek samping Thalidomide dari 46 negara. Serta merta Thalidomide langsung ditarik dari peredaran. Luar biasa mengerikan bukan?

Efek Samping Thalidommide (Sumber: helix.northwestern.edu)
Efek Samping Thalidommide (Sumber: helix.northwestern.edu)
Tentunya kita tidak ingin kejadian semacam ini terulang lagi. Oleh sebab itu Farmakovigilans sangat penting untuk dilaksanakan. Pada kasus Albothyl, dapat dikatakan sebagai bentuk berjalannya Farmakovigilans di Indonesia. Saya termasuk salah satu yang menyayangkan ditariknya produk ini karena kebetulan, saya juga pengguna setia obat ini saat sariawan. Dan untungnya saya masih baik-baik saja hingga sekarang. Yang membuat saya sedikit bingung adalah, apakah bukti ilmiah yang disertakan pada saat pertama kali produk ini dievaluasi benar-benar memadai untuk mendukung indikasi yang diajukan sebagai obat sariawan? Karena yang saya dengar dari beberapa profesi kesehatan dan dari beberapa media sosial, mereka tidak menemukan satupun literatur yang mendukung indikasi Policresulen untuk mengobati sariawan.

Jika produk ini termasuk kategori NCE (New Chemical Entity / kategori zat aktif baru) di Indonesia, tentunya pendaftar harus menyertakan bukti-bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung indikasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun