Baru-baru ini grup whatsapp saya yang terdiri dari kalangan sejawat apoteker, ramai dengan pesan broadcast berisi capture surat internal Balai Besar POM Mataram tentang hasil pengujian sampling produk suplemen makanan.
Dalam surat internal tersebut diinformasikan bahwa produk suplemen makanan Viostin DS (produksi PT. Pharos Indonesia) dan Enzyplex Tablet (produksi Medifarma Laboratories) terdeteksi mengandung fragmen DNA gen spesifik babi, berdasarkan hasil pengujian di laboratorium Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN). Dan yang menjadi masalah disini adalah, kedua produk tersebut tidak mencantumkan peringatan "MENGANDUNG BABI" pada kemasan.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor HK.00.05.1.23.3516 dinyatakan bahwa untuk produk Obat, Obat Tradisional, Kosmetik dan Suplemen Makanan yang mengandung babi diwajibkan mencantumkan peringatan "BERSUMBER BABI" atau "MENGANDUNG BABI".Â
Jika pada pengawasan produk yang beredar di pasar (post-market surveillance) yang dilakukan oleh BPOM, didapat produk yang tidak memenuhi ketentuan ini, maka sanksi administratif yang diberikan bisa berupa peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan produksi dan distribusi, pembekuan dan/atau pembatalan Nomor Izin Edar (NIE) hingga penarikan produk dari peredaran.
Pada Juni 2017 lalu, kejadian serupa pernah terjadi yakni penarikan produk makanan jenis mi instan asal Korea yang mengandung Babi. Serta merta beberapa merek mi instan asal Korea ditarik dari peredaran.
Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas Muslim, halal atau tidaknya suatu produk masih menjadi isu penting. Oleh sebab itu beredarnya informasi semacam ini pastilah menimbulkan keresahan di masyarakat, terutama umat Muslim. Mereka bisa jadi merasa tertipu karena produk yang selama ini mereka konsumsi ternyata mengandung babi. Tapi menurut saya pribadi, permasalahan ini agak berbeda jika produk yang terduga mengandung Babi/Porcine adalah Obat atau Suplemen Makanan.
Perlu diketahui bahwa mayoritas bahan baku obat dan suplemen makanan di Indonesia diperoleh dengan mengimpor dari negara lain, karena Indonesia masih belum mampu memproduksi bahan baku sendiri. Bahan baku yang saya maksud disini adalah bahan baku pharma grade (khusus untuk memproduksi obat). Jadi levelnya agak berbeda dengan bahan baku food grade, meski jenis produknya sama. Boleh dibilang sedikit lebih tinggi gitu deh. Dan bahan-bahan baku tersebut mayoritas tidak tersertifikasi halal, karena mungkin proses pembuatan atau sintesisnya dan/atau fasilitas untuk memproduksi bahan baku tersebut juga belum tersertifikasi halal.
Selain itu perlu diketahui juga bahwa proses sintesis bahan baku obat halal bukanlah proses yang mudah. Terkadang ada bahan-bahan baku tertentu yang kualitasnya lebih baik jika menggunakan substansi yang berasal dari babi. Selain itu pelarut yang digunakan masih ada yang menggunakan pelarut organik seperti alkohol. Itulah mengapa hingga saat ini belum ada obat yang dapat diklaim 100% halal.Â
Dan karenanya, BPOM mempersyaratkan peringatan untuk dicantumkan pada kemasan obat, obat tradisional, kosmetik dan suplemen makanan jika ada komposisi yang mengandung atau berasal dari babi. Pun bila pada proses pembuatannya bersinggungan dengan bahan bersumber babi namun telah dipurifikasi/dimurnikan sehingga tidak terdeteksi pada produk akhir, tetap harus mencantumkan peringatan. Oleh sebab itu baik obat, kosmetik dan suplemen makanan tetap memiliki resiko tercemar Porcine/Babi.
Lalu bagaimana cara pencegahannya? Untuk mencegah produk jadi tercemar Porcine, setiap pabrik perlu menguji ulang bahan baku yang akan mereka gunakan. Tapi lagi-lagi tidak semua pabrik memiliki alat untuk mendeteksi adanya kandungan fragmen DNA gen spesifik babi. Biasanya yang menjadi patokan adalah Sertifikat Analisa bahan baku.
Jadi menurut pendapat saya sebagai apoteker yang berkecimpung di industri farmasi, ini adalah salah satu resiko yang wajar. Selama belum ada jaminan halal pada proses sintesis bahan baku dan fasilitas produksi produk jadi, maka resiko produk tercemar Porcine akan selalu ada.
Cara penanggulangan awal jika produk yang tercemar ini terlanjur beredar di pasar adalah seperti yang saya sebutkan tadi, yaitu penarikan produk dengan nomor batch atau lot produksi yang diduga menggunakan bahan baku yang mengandung Porcine.
Oleh sebab itu masyarakat hendaknya tidak perlu heboh dan panik apalagi serta merta mem-black list produk tersebut. Sisi positif dari beredarnya surat internal ini adalah berarti BPOM telah melakukan tugasnya dengan baik, yaitu pre-market dan post-market surveillance. Pre-market Surveillance (pengawasan produk sebelum beredar) dilakukan melalui proses registrasi produk sebelum memperoleh persetujuan edar (NIE) dan Post-market Surveillance (pengawasan produk setelah beredar) dilakukan secara berkala dengan cara melakukan sampling(mengambil produk di pasar) untuk mengontrol apakah produk tersebut masih memenuhi ketentuan atau tidak.
Terkait beredarnya surat internal BBPOM Mataram tentang kedua produk suplemen ini, BPOM telah merilis klarifikasi resmi dalam website resmi BPOM. Dalam klarifikasi tersebut dinyatakan bahwa masing-masing produsen telah melakukan recall (penarikan) terhadap kedua produk dengan nomor batch yang diduga mengandung/tercemar Porcine/Babi. Sekali lagi penarikan ini tidak berkaitan dengan berbahaya atau tidaknya produk melainkan lebih ke ketidaksesuaian antara komposisi dan ketentuan labeling (kemasan). Hal ini tentunya dilakukan sebagai bentuk antisipasi dan langkah perlindungan konsumen.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H