Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Ini Daftar Buku Favoritku, Mana Favoritmu?

21 Januari 2018   18:13 Diperbarui: 22 Januari 2018   13:06 2376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara tentang buku, mungkin artinya bermacam-macam bagi banyak orang. Ada yang menganggap buku sebagai sarana hiburan, ada yang menganggap sebagai sarana menambah ilmu dan bahkan ada yang tidak menganggap sama sekali! Kalau lihat buku bawaannya langsung ngantuk dan kepingin tidur. Eh, ini betulan ada loh.

Bagi saya sendiri, buku sejatinya adalah aset. Ketika orang lain beranggapan bahwa aset identik dengan suatu barang yang bernilai uang, saya justru menganggap buku tidak kalah berharga dengan aset-aset bernilai lainnya. Buku, apapun itu genre-nya, pastilah berisi beragam informasi yang belum tentu kita ketahui. Maka tak jarang banyak yang mengatakan buku adalah jendela dunia. Buku membawa kita berkeliling dunia tanpa berpindah tempat. Buku memperkaya imajinasi dan memperluas pengetahuan kita.

Saya tidak ingat persis kapan saya mulai menggilai buku, tapi saya ingat orang yang pertama kali mempengaruhi saya untuk membaca adalah Mamak, padahal kelihatannya dia sendiri tidak begitu gemar membaca buku. Bacaan pertama yang dibelikan Mamak waktu saya masih duduk di bangku SD adalah Majalah Bobo. Setelah sekian seri Majalah Bobo dan buku kumpulan cerpennya, saya mulai merambah ke jenis buku anak lainnya. 

Dan untungnya Mamak-pun memberikan saya kebebasan untuk memilih buku sendiri. Saya ingat bahwa saya dan adik saya bisa betah berjam-jam ditinggal di toko buku Gramedia untuk membaca sementara orangtua saya keliling mall.

Ketika saya duduk di bangku SMP, saya mulai memiliki kebiasaan menabung untuk membeli buku sendiri yang saya inginkan. Dan kebiasaan ini terus saya lakukan hingga kuliah. Saya sampai harus berkali-kali mengganti lemari karena semakin lama lemari saya semakin tidak muat untuk menampung seluruh buku-buku yang saya dan adik saya kumpulkan.

Boleh dibilang, beli buku itu susah-susah gampang karena kita belum tentu tahu apakah buku yang akan kita beli itu isinya bagus atau tidak. Sebelum membeli buku, biasanya saya tanya-tanya ke teman yang sudah pernah membacanya atau melihat review dari internet atau mencari buku yang sama yang plastiknya sudah terbuka supaya bisa membaca sekilas lebih dulu atau terakhir, hanya melihat covernya saja, menarik atau tidak.

Selain itu, saya juga bukan tipe penyuka buku genre tertentu. Asalkan isinya bagus, saya pasti baca. Karena itu, isi lemari buku saya sangat beragam. Mulai dari fiksi hingga true story, mulai dari cerita misteri hingga cerita romantis, mulai dari buku anak-anak hingga cerita tentang spionase. Dan hanya sekadar berbagi kalau-kalau Kompasianer ada yang sedang cari-cari buku tapi bingung mau membeli yang mana, berikut lima buku terbaik yang pernah saya baca:

The Boy in the Striped Pyjamas (John Boyne)

Walapun karakter utamanya adalah anak-anak, buku ini sejatinya diperuntukkan bagi orang dewasa atau minimal remaja dan berlatar masa Holocaust dalam Perang Dunia II. Novel yang ditulis oleh pengarang berdarah Irlandia ini menceritakan kisah persahabatan antara seorang anak komandan NAZI Jerman bernama Bruno dan seorang anak laki-laki Yahudi bernama Shmuel yang menjadi tahanan di kamp konsentrasi NAZI, Auschwitz. 

Kepolosan kedua anak berbeda bangsa tersebut menggambarkan betapa sebuah persahabatan bisa menjadi sesuatu yang begitu indah meskipun kita sedang mengalami kesedihan, ketakutan dan kesusahan akibat perang. Buku ini menjadi satu-satunya buku yang sempat membuat saya kaget sendiri hingga terpaku beberapa saat karena akhir cerita yang benar-benar di luar dugaan. Pada tahun 2008, novel ini akhirnya difilmkan. Namun tetap saja, bukunya terasa lebih menggugah daripada film-nya.

Salah satu adegan Bruno dan Shmuel dalam The Boy in the striped Pyjamas (Sumber: pluggedin.com)
Salah satu adegan Bruno dan Shmuel dalam The Boy in the striped Pyjamas (Sumber: pluggedin.com)
Harry Potter and the Goblet of Fire (J.K. Rowling)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun