Apa yang pertama kali terlintas di pikiran Anda kalau mendengar kata "Lalu Lintas Jakarta"? Kalau saya sih jelas, MACET! Dan justru banyak orang bilang, "Kalau macet bukan Jakarta namanya". Miris kan?
Biasanya, macet akan mulai terlihat pada saat-saat tertentu, misal saat rush hour pagi dan sore, saat long weekend, atau saat seusai hujan, atau saat hari-hari menjelang hari raya agama. Namun akhir-akhir ini, kemacetan Jakarta semakin sulit untuk diprediksi. Misalkan dulu macet hanya terjadi di hari kerja pada rush hour, kini justru saat rush hour bisa saja jalanan tampak lancar sementara di hari Sabtu malah macet total. Belum lagi kalau sedang ada proyek PU (Pekerjaan Umum) yang akan menutup sebagian jalan dan mengurangi luas jalan. Dan tidak tanggung-tanggung macet yang terjadi belakangan ini, bisa belangsung berjam-jam!
Sekitar satu tahun yang lalu, saya pernah terjebak di jalanan selama 12 jam saat saya mau berangkat ke kantor, dan itu pun belum sempat sampai ke kantor. Singkat cerita, setelah hampir semalaman hujan, paginya saya berangkat ke kantor dalam keadaan masih hujan. Namun belum sampai ke kantor, saya dapat info bahwa daerah sekitar kantor banjir sehingga saya putar balik untuk pulang. Namun apa daya, genangan air mulai muncul di beberapa titik dan menimbulkan macet luar biasa dimana-mana. Ibarat kata, maju kena mundur kena. Mau lewat manapun semuanya macet. Transjakarta pun sempat berhenti beroperasi. Jadilah saya mutar-mutar mencari jalan menuju rumah. Setelah naik-turun angkutan umum plus jalan kaki, saya baru sampai di rumah pukul sepuluh malam. Luar biasa sekali waktu itu. Saya sampai stres dan kepingin marahin orang-orang!
Menurut harian Kompas pada artikel ini, Jakarta mendapat predikat dari INRIX -- sebuah lembaga penganalisis lalu lintas yang berbasis di Washington D.C. -- sebagai kota termacet di peringkat ke-22, setelah Bangkok. Hasil analisis tersebut menunjukkan pengendara di Jakarta terjebak dalam kemacetan selama 55 jam setahun. Memang meski masih banyak kota-kota lain yang memiliki level kemacetan melebihi Jakarta, namun banyak yang memperkirakan bahwa di tahun 2020, Jakarta akan macet total. Bahkan dimulai ketika mobil keluar dari garasi. Serem banget gak tuh!
Kemudahan mendapatkan kredit kepemilikkan kendaraan, pajak yang masih cukup terjangkau dan gaya hidup, juga membuat masyarakat Jakarta semakin tergiur untuk memiliki kendaraan pribadi. Bahkan lebih dari satu, sehingga kadang jika dalam satu keluarga terdiri dari empat orang, mobilnya pun ada empat.
Selain itu faktor kenyamanan dan keamanan transportasi umum yang belum sepenuhnya memadai dan terintegrasi, juga menjadi faktor utama dilema masyarakat Jakarta, sehingga akhirnya lebih memilih untuk memiliki dan menggunakan kendaraan pribadi daripada transportasi umum dalam kehidupan sehari-hari.
Disamping itu, Indonesia khususnya Jakarta juga belum menerapkan pembatasan tahun pembuatan kendaraan yang diperbolehkan untuk dipakai di jalan umum. Sehingga alih-alih terjadi regenerasi, jumlah kendaraan malah terus bertambah setiap tahun.
Lalu bagaimana dengan efek yang ditimbulkan dari kemacetan lalu lintas ini? Mungkin jika hanya terjadi sesekali, dampaknya masih boleh dibilang wajar. Namun ketika kemacetan menjadi suatu peristiwa yang biasa terjadi setiap hari, maka disitulah banyak masalah dan kerugian yang muncul. Kemacetan berjam-jam di Jakarta jelas berdampak pada beberapa aspek antara lain:
Ekonomi
Ketika macet terus-menerus terjadi, laju bisnis akan terhambat. Contoh pendistribusian barang hingga pariwisata. Akan ada banyak dana yang hilang karena distribusi barang/jasa yang tidak tepat waktu, hingga berkurangnya turis asing maupun lokal karena mereka tidak ingin terjebak macet saat berwisata di Jakarta.