Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Merefleksikan Pepatah Latin, "Qui Scribit Bis Legit"

18 Oktober 2017   14:39 Diperbarui: 18 Oktober 2017   14:44 1697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkaitan dengan dunia literasi, ada salah satu pepatah Latin yang sangat saya sukai. Qui Scribit Bis Legit, pernah dengar? Artinya kira-kira, "Barangsiapa menulis, ia membaca dua kali". Saya sendiri sangat setuju dengan pepatah ini.

Bukannya sengaja menyombong, dulu semasa saya sekolah, saya termasuk orang yang paling kerajinan menulis catatan pelajaran serapi mungkin. Karena itulah akhirnya catatan saya jadi populer di kalangan teman-teman seangkatan saya dan menjelang ujian tengah semester atau ujian akhir, kopian catatan kuliah saya beredar di seluruh fakultas, bahkan hingga ke adik-adik kelas. Ckckck..

Bagi saya sendiri, dengan menulis catatan, saya akan lebih mudah belajar karena kebetulan, saya bukan tipe orang yang jenius yang sekali dengar, langsung paham. Setelah membaca atau mendengar suatu materi dan memahami garis besarnya, saya akan menuliskan kembali ringkasan materi sesuai alur pemahaman saya. Dengan begitu saya akan lebih mudah untuk menghafal dan memahami. Apalagi semasa kuliah yang saya jalani, kemampuan menghafal dan memahami konsep sangat dibutuhkan supaya bisa lulus mata kuliah semacam Biologi, Anatomi dan Fisiologi Tubuh, Farmakologi, dan sebagainya.

Jadi apa yang mau saya bagikan berdasarkan pepatah Latin ini? Yap, dengan menulis secara tidak langsung kita sudah membaca dua kali. Itu berarti informasi yang kita dapat juga dobel dan lebih 'ngelotok' di otak. Kenapa? Karena sebelum menulis, pastilah kita membaca referensi sampai mengerti sebelum kembali menulisnya. Dan setelah menulis, kita akan kembali membaca hasil tulisan kita, apakah masih ada yang typo dan sudah layak untuk dibaca orang lain atau tidak (atau mungkin hanya ditujukan untuk dibaca oleh diri sendiri). Dengan demikian secara tidak langsung kita akan lebih cepat 'menguasai' suatu informasi.

Ada anggapan bahwa menulis bukanlah perkara sulit. Pokoknya begitu mendapat ide, ya langsung tulis saja. Tapi menurut saya pribadi, menulis justru susah-susah gampang. Kalau kita tidak sering membaca, mengamati, berdiskusi, tentunya ide-ide kita akan terbatas. Itulah mengapa terkadang saat mau menulis kita merasa 'mentok'. Memang ide bisa kita dapat dimana saja dan kapan saja. Namun tentunya menulis akan menjadi lebih mudah bila kita sendiri kaya akan kosakata. Berbekal kosakata itulah kita bisa mengembangkan suatu ide dengan sedemikian rupa hingga menjadi tulisan yang enak dibaca.

Menulis juga bukan berarti asal menggoreskan kata-kata atau menekan tombol keyboard. Kecuali menulis buku harian, penulis yang baik akan melakukan riset terlebih dahulu. Riset tersebut bisa dilakukan dengan bermacam cara misal, observasi / pengamatan, membaca referensi, menyimak atau terlibat dalam diskusi, bahkan mengambil pengalaman sendiri. Kemudian hasil dari riset itu akan diterjemahkan ke dalam sebuah tulisan dengan gaya bahasa masing-masing (yang tentunya bisa dipahami oleh pembaca yang telah ditargetkan). 

Dengan demikian, selain ilmu bertambah setelah melakukan riset, kita juga terlatih untuk menyusun kalimat dan menuangkan pemikiran kita sesuai gaya bahasa kita. Bahkan untuk menulis karya fiksi pun membutuhkan riset. Biasanya dengan menyertakan beberapa informasi yang sesuai fakta ke dalam kisah fiksi, cerita akan terasa lebih menarik.

Satu hal yang tak kalah penting, jika kita mengutip suatu kalimat maupun gambar atau ilustrasi, jangan lupa untuk mencantumkan sumbernya. Saya ingat saat masa-masa awal menulis di Kompasiana, ilustrasi yang saya sertakan dalam artikel dihilangkan oleh tim redaksi karena tidak mencantumkan sumber. Oleh sebab itu, menulis ternyata sedikit banyak juga mengajarkan kita untuk bertanggung jawab dan menghargai karya orang lain.

Yah, membaca dan menulis memang sangat erat kaitannya. Menulis pasti membaca, membaca belum tentu menulis. Membaca adalah suatu kebiasaan yang sangat baik. Namun akan lebih baik lagi jika kita bisa meninggalkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain, yakni dengan menulis. Percaya tidak percaya, menulis bahkan bisa menjadi terapi untuk menenangkan diri dan juga sebagai cara untuk berintrospeksi. Jadi jangan gundah apalagi ragu jika orang lain berpendapat menulis itu membuang waktu. Selamat menulis!

"No one can tell your story, so tell it yourself. No one can write your story, so write it yourself"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun