Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tanggapan Artikel "Akses Obat Tak Terbatas, Berkah atau Musibah?"

5 September 2017   15:43 Diperbarui: 6 September 2017   13:42 1592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: iatropedia.gr

Hari ini saya membaca satu artikel yang cukup menarik untuk saya, "Akses Obat Tak Terbatas, Berkah atau Musibah?" oleh James M.W. Wahyudi. Dan untuk menanggapinya, maka artikel ini saya buat berdasarkan sepengamatan dan sepengetahuan saya sebagai Apoteker.

Berawal dari peristiwa yang menimpa pasangan artis Tora Sudiro dan istri yakni penyalahgunaan obat psikotropik Dumolid (Nitrazepam), saudara James memaparkan informasi yang saya rasa sudah cukup jelas dan aktual. Tapi jujur saja saya pribadi kurang setuju dengan asumsi yang disampaikan mengenai 'akses obat yang tidak terbatas'.

Peristiwa penyalahgunaan Dumolid ini tidak boleh serta merta langsung ditarik kesimpulan bahwa akses obat di Indonesia tidak terbatas / unlimited. Sudah ada peraturan yang mengaturnya, persis seperti yang sudah dipaparkan. Peredaran Dumolid dan obat lain yang sekelas maupun diatasnya juga jelas MASIH terbatas, yakni hanya boleh dibeli di apotik disertai dengan resep dokter dan tidak boleh diresepkan berulang.  Dengan adanya peristiwa ini, perlu diakui bahwa berarti memang masih ada 'celah' dalam jalur pendistribusiannya. Inilah yang perlu diusut. Terutama di toko-toko obat dan yang tak kalah penting, apotek online yang menjual obat secara daring. Pasalnya memang belum ada regulasi yang jelas yang mengatur sistem apotek online.

Saya setuju bahwa kontrol pemerintah perlu lebih diperketat, meski saat ini BPOM dan Kementerian Kesehatan juga sudah menerapkan berbagai usaha untuk mengontrol peredaran obat-obat NAPZA. Sebagai contoh, laporan obat narkotik, psikotropik dan prekursor yang wajib dilaporkan oleh apotek melalui sistem online (SIPNAP) KemKes. Dalam laporan ini ada informasi lengkap tentang stok awal dan akhir per unit dosisnya, termasuk informasi  pengeluaran dan pemasukkannya. Ada selisih satu tablet / kapsul saja, bisa saja dipertanyakan.

Selain itu BPOM juga menerapkan inspeksi sarana, baik itu dengan atau tanpa pemberitahuan sebelumnya. Dan semuanya itu kembali lagi diperlukan kerjasama pemerintah, tenaga kesehatan, industri obat dan masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri, konsep bahwa 'selama ada permintaan (demand) maka jasa / barang akan tetap ada' masih diterapkan. Masalahnya disini adalah, demand yang terus-terusan ada itu pastilah ada pemicunya. Tidak perlu jauh-jauh sampai ke obat NAPZA. Obat keras seperti antibiotik (biasanya untuk penyakit batuk dan infeksi ringan lain) dan obat-obat penyakit degeneratif (hipertensi, diabetes, jantung dll) memang masih ada yang dijual tanpa resep dokter dengan tujuan swamedikasi. Dan sepengamatan saya, ada dua kemungkinan.

Pertama, pasien tidak ke dokter karena kendala ekonomi. Layanan kesehatan kita memang belum maksimal. Biaya pengobatan dan jasa dokter masih ada yang belum terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Akibatnya pasien lebih memilih swamedikasi dengan datang langsung ke apotek atau toko obat. Ibarat kata tidak mengeluarkan tenaga dan biaya dua kali.

Masalah biaya yang mahal ini memang sudah ada solusinya, yakni program BPJS dari pemerintah dimana biaya jasa dokter dan pembelian obat ditanggung pemerintah alias gratis. Tapi coba kita lihat lagi, berapa banyak yang masih mengeluh soal BPJS? Baik itu dari sisi kecepatan pelayanan maupun ketersediaan obat.  Maka tak heran masih ada pasien yang lebih memilih untuk langsung ke apotek.

Kedua, pasien sudah pernah berobat ke dokter, membeli obat yang diresepkan dan sembuh. Di kemudian hari dia kembali mengalami gejala penyakit yang sama, maka pasien memilih langsung ke apotek / toko obat dan membeli obat yang sama.

Kalau sudah begini, farmasis lah yang akan mengalami dilema berat. Disatu sisi dia harus menegakkan peraturan, tapi disisi lain dia juga harus memegang sumpahnya untuk menggunakan ilmunya membantu masyarakat sehingga pasien tetap bisa sembuh. Dan perlu dicatat, swamedikasi bukan berarti tidak ada keilmuan kedokteran yang diterapkan. Swamedikasi tetap disertai edukasi farmasis kepada pasien, menurut ilmu kefarmasian dan kedokteran, meski hanya untuk penyakit-penyakit ringan.

Mengenai resistensi antibiotik, sebenarnya penyebab utamanya bukanlah disebabkan oleh pelanggaran regulasi penjualan obat keras. Kepatuhan pasien adalah faktor terpenting. Dokter dan farmasis pastilah sudah mengingatkan pasien untuk menghabiskan antibiotik yang diberikan sesuai aturan pakai. Tapi pada kenyataanya, masih banyak juga pasien yang melanggarnya. Karena alasan merasa sudah sembuh dan malas minum obat, akhirnya antibiotik tidak dihabiskan. Itulah yang menyebabkan resistensi. Solusi dari masalah resistensi ini tak lain tak bukan adalah sosialisasi yang intens dan berkala kepada masyarakat. Baik dokter maupun apoteker tidak boleh lelah mengedukasi pasien dan keluarganya tentang bahaya resistensi akibat penggunaan antibiotik yang tidak benar.

Regulasi peredaran obat keras dan NAPZA tidak pernah tidak dianggap serius. Namun kita memang masih perlu berusaha ekstra untuk mengimplementasikannya sesuai jalurnya. Dan kontribusi seluruh pihak baik itu pemerintah, industri, tenaga kesehatan dan masyarakat sangat diperlukan. Terima kasih sudah diingatkan. Salam!

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun