Sudah sering dong dengar istilah antibiotik? Pasti banyak pembaca juga yang sudah pernah menggunakannya, terutama ketika sakit. Tapi sudah pernah dengar juga dengan resistensi antibiotik? Mungkin ada yang sudah pernah dengar dan ada juga yang belum. Dan bagi yang sudah pernah dengar, tahu tidak kalau resistensi antibiotik itu super serius?
Kali ini saya mengangkat topik ini karena beberapa hari yang lalu, saya mendengar salah satu anggota keluarga saya menjawab demikian ketika disuruh minum obat, "Ah, orang udah gak sakit kok. Ngapain minum obatnya". Padahal yang harus dia minum itu adalah antibiotik.
Pernah mendengar orang lain berkata seperti itu? Atau Anda termasuk salah satunya? Bagi yang sudah pernah mendengar dan mengerti resistensi antibiotik, Anda bisa menguji sedikit pengetahuan Anda tentang Resistensi Antibiotik dengan menjawab quiz pada link berikut
Dan bagi yang belum mengerti dengan istilah ini, tidak ada salahnya baca artikel ini sampai habis ya..
Resistensi antimikroba atau istilah populernya antimicrobial resistance, adalah suatu kondisi ketika suatu mikroorganisme (bakteri/jamur/virus) mengalami perubahan (bermutasi) setelah terpapar obat (antibiotik/antifungi/antivirus), sehingga obat tersebut tidak lagi memiliki efek terhadap mikroba tersebut. Namun karena penggunaan antibiotik lebih sering digunakan sembarangan, maka resistensi antibiotiklah yang lebih sering pula dibahas, meskipun prinsipnya sama dengan antifungi dan antivirus.
Antibiotik, antifungi dan antivirus jelas berbeda. Oleh sebab itu penggunaannya pun berbeda. Contoh sederhana, jika seseorang menderita influenza tapi diberikan Amoxicillin, jelas tidak berguna karena influenza disebabkan virus sementara Amoxicillin adalah antibakteri/antibiotik. Pun sebaliknya, jika seseorang menderita infeksi saluran kemih karena bakteri tapi diberikan Acyclovir, tidak akan sembuh karena infeksinya disebabkan bakteri dan bukan virus. Oleh sebab itu dalam menggunakan antibiotik/antivirus/antifungi harus jelas dulu penyebabnya, baru dokter akan meresepkan obat yang benar.
Tapi saat ini, tren swamedikasi (pengobatan oleh diri sendiri) sudah banyak dilakukan masyarakat. Mereka memilih tidak ke dokter melainkan langsung membeli obat di apotek/toko obat (banyak faktor yang menyebabkan hal ini). Namun apa yang terjadi ketika mereka membeli antibiotik? Tidak bisa dipungkiri, tidak semua pasien mendapat informasi yang lengkap tentang penggunaan antibiotik dan tidak semua pasien juga yang mengerti meski sudah dijelaskan.
Penggunaan antibiotik sangat bervariasi. Ada yang diminum tiga kali sehari selama tiga sampai lima hari, ada yang diminum sekali sehari selama lima hari, ada juga yang harus diminum hingga seminggu bahkan hingga enam bulan berturut-turut (misalnya antituberculosis/TBC).
Lalu faktor apa saja yang menyebabkan resistensi antibiotik?
- Dari sisi tenaga kesehatan (dokter/apoteker). Tidak semua dokter/apoteker melakukan kewajibannya untuk memberikan penjelasan lengkap tentang penggunaan antibiotik. Diminum kapan, berapa kali, berapa lama, dan sebagainya
- Dari sisi kepatuhan pasien. Ada pasien yang bandel dengan tidak menuruti instruksi dokter/apoteker dalam mengkonsumsi antibiotik. Misalnya seharusnya diminum hingga lima hari, tetapi karena setelah tiga hari pasien sudah merasa sembuh, obat tidak dihabiskan. Padahal antibiotik harus diminum sampai habis sesuai dengan yang diresepkan. Sudah begitu, ia memberikan pula sisa antibiotik tersebut kepada anggota keluarganya yang sakitnya mirip seperti dia. Biasanya yang menderita batuk, sering kali seperti ini. Selain kepatuhan, ekonomi juga berpengaruh. Karena tidak punya cukup uang, pasien tidak menebus seluruh obatnya. Jadi obat yang diterima juga tidak lengkap.
Lalu apa setelah itu pasien langsung mengalami resisten? Tentu tidak. Kejadian yang berulanglah yang akan menyebabkan pasien resisten. Ketika pasien tidak menghabiskan antibiotiknya, mikrorganisme yang bertahan akan mengubah dirinya sendiri menjadi lebih kuat. Jika seorang pasien sudah mengalami resistensi antibiotik tertentu, maka akibatnya penyakit pasien tersebut akan lebih lama sembuh, sehingga ia harus lebih sering kembali berobat ke dokter. Selain itu, ia juga harus menggunakan antibiotik dari golongan yang lebih tinggi sehingga bisa jadi biayanya akan lebih mahal. Itu pun jika antibiotiknya tersedia. Bagaimana jika antibiotik yang golongannya lebih tinggi itu tidak tersedia dan masih dalam proses pengembangan.
Lalu bagaimana cara mencegah resistensi antibiotik? Baik tenaga kesehatan maupun pasien harus terlibat, antara lain:
- Dokter/apoteker tidak boleh lupa dan diharuskan memberikan informasi lengkap bagi pasien yang menggunakan antibiotik.
- Jadilah pasien cerdas dan patuh. Jika diberi resep, tanya apakah ada antibiotik dan pastikan Anda mengerti cara menggunakannya. Jika Anda terpaksa membeli sendiri di apotek/toko obat (meskipun peraturannya mengharuskan untuk menyertai resep dokter), tanya pada apotekernya tentang cara penggunaannya. Dan JANGAN SEKALI-KALI tidak menghabiskan obat sesuai petunjuk tenaga kesehatan, apalagi sharing dengan orang lain. Perlu diketahui juga, janganlah menganggap antibiotik seperti vitamin. Sakit sedikit, minum antibiotik.
- Pendamping pasien harus rajin mengingatkan pasien untuk meminum obatnya secara teratur.
Perlu diketahui, perkembangan penyakit baru lebih cepat daripada pengembangan obat baru. Waktu yang dibutuhkan untuk menemukan obat baru bisa puluhan tahun karena harus melalui tahap-tahap yang sangat ketat mulai dari penelitian awal, uji pre-klinik hingga uji klinik (akan saya jelaskan di lain kesempatan). Jadi jangan sampai kasus resistensi antibiotik menjadi pandemi, sementara obat-obat baru belum ditemukan. Jika hal itu sampai terjadi, seseorang yang hanya menderita sakit batuk biasa, bisa saja meninggal karena tidak ada lagi antibiotik yang berefek. Bijaklah menggunakan antibiotik.
"Antibiotics are truly miracle drugs that have saved countless millions of lives. But antibiotic resistance is a critical public health issue that is eroding the effectiveness of antibiotics and may affect the health of each and every one of us" - Betsy Bauman.
Referensi:
- http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs194/en/
- http://www.who.int/mediacentre/news/releases/2017/Antibiotic-resistant-gonorr
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H