Siapa yang tidak kenal Bali? Pulau Dewata yang terletak di antara Pulau Jawa dan Lombok ini sudah terkenal ke seluruh dunia. Bahkan tidak jarang orang-orang di luar sana lebih mengenal Bali daripada Indonesia itu sendiri.
Minggu lalu saya kembali ke Bali untuk yang keempat kalinya. Tidak pernah bosan memang. Meskipun ada banyak destinasi wisata baru lainnya yang bermunculan, Bali tetap selalu di hati dan sangat cocok menjadi tujuan liburan panjang maupun hanya sekadar short escape bersama sahabat di akhir minggu seperti yang saya lakukan.
Sebagai tempat dengan mayoritas penduduk beragama Hindu, Bali tidak pernah menghilangkan identitasnya, meskipun budaya barat sudah lama masuk ke wilayah ini karena mayoritas turis yang berkunjung berasal dari luar Indonesia.
Gerbang pura di setiap rumah penduduk yang penuh dengan ukiran, sesaji-sesaji yang diletakkan di depan pintu masuk, suara denting-denting gamelan, wangi-wangian dupa, patung-patung pewayangan hingga penduduk asli yang berseliweran dengan pakaian adat Bali, selalu membuat saya terpesona dan seakan benar-benar berada di pulau para dewa. Belum lagi pantai-pantainya yang berpasir halus plus pemandangan sunset yang cantik-cantik.
Namun dari semua hal-hal yang mempesona itu, ada satu tempat yang menurut saya paling eksotis dan tidak pernah bosan untuk saya lihat. Yap, Kawasan Uluwatu di sebelah Barat Daya Pulau Bali.
Tentunya bagi yang sudah pernah ke Bali, pasti mengenal nama tempat ini juga. Kawasan yang termasuk dalam wilayah Desa Pecatu ini sangat terkenal dengan bangunan ikoniknya, yaitu Pura Luhur Uluwatu yang terletak di atas tebing karang terjal yang menjorok ke laut dengan ketinggian sekitar 97 meter dari permukaan laut. Pemandangan ini akan terlihat semakin eksotis ketika matahari mulai tenggelam.
Pura Kahyangan Jagad itu sendiri merupakan sembilan pura utama yang dipercaya masyarakat Bali sebagai sendi-sendi atau pilar-pilar spiritual Pulau Bali. Selain Pura Uluwatu, kedelapan pura utama lainnya antara lain Pura Besakih, Pura Lempuyang, Pura Goa Lawah, Pura Batukaru, Pura Andakasa, Pura Ulun Danu, Pura Bukit Pengelengan dan Pura Pasar Agung.
Atraksi ini begitu tersohor ke seluruh dunia sehingga banyak sekali turis-turis asing yang rela menempuh jarak cukup jauh dari kota hanya untuk melihat keeksotisan tarian tradisional ini.
Mereka ada yang berasal dari Jepang, Tiongkok, Brasil, India, Rusia, Prancis, Australia, Amerika Serikat, Malaysia, Korea, India dan lainnya. Tak heran setiap kali pertunjukan dimulai, hampir tidak pernah ada kursi kosong. Bahkan terkadang penyelenggara sampai harus menyiapkan kursi tambahan supaya semua bisa menyaksikannya.
Loket akan dibuka pukul lima sore dan Anda akan diberi selembar kertas berisi summary tentang cerita Tari Kecak. Ketika Anda berencana menonton ini, ada baiknya tiba lebih awal supaya Anda bisa duduk di tempat dengan view yang bagus, yaitu di bagian tengah teater yang menghadap lurus ke arah laut dan tebing karang.
Tempat ini biasanya akan lebih cepat terisi dibandingkan kursi lainnya. Meskipun harus berpanas-panas sedikit karena pas menghadap matahari, tapi saat matahari mulai tenggelam, percayalah Anda tidak akan menyesal karena kamera Anda akan mendapatkan angle yang terbaik.
Tari Kecak Uluwatu yang selain dibawakan oleh puluhan penari pria tanpa satupun instrumen musik ini, juga menampilkan cerita pewayangan tentang Rama dan Shinta.
Sekitar pukul enam sore saat langit mulai berubah warna menjadi degradasi jingga-lembayung, puluhan pria ini akan muncul sambil berteriak ‘Cak’ bersahut-sahutan.
Saya dan para penonton lain yang sudah memenuhi tempat duduk teater berbentuk setengah lingkaran mulai hening memperhatikan mereka mengelilingi obor yang sebelumnya sudah diperciki air suci.
Pemandangan sekelompok penari dengan latar belakang langit sore serta tebing karang yang terhempas ombak air laut sungguh membuat suasana terasa sangat mistis.
Dari semua adegan itu, kemunculan Hanoman adalah yang paling disukai para penonton, karena si Kera Putih itu memperlihatkan kenakalannya layaknya seekor kera. Dia akan melompat ke sana-kemari mengerjai beberapa turis sehingga para penonton tertawa. Ceritanya juga tidak ditampilkkan berbelit-belit sehingga satu jam berlalu tanpa terasa bosan.
Di teater kecil itu meskipun hanya satu jam, seluruh bangsa di dunia dari berbagai ras, warna kulit, bahasa dan budaya yang berbeda, berkumpul menjadi satu untuk menjadi saksi salah satu kearifan lokal Indonesia yang sangat indah dan sangat mempesona. Kelak mereka semua akan menjadi duta di negaranya masing-masing untuk menceritakan keindahan alam dan budaya yang sudah mereka lihat di Indonesia.
Di zaman teknologi yang serba canggih ini, hendaknya kita para kaum muda tetap memelihara budaya suku kita masing-masing. Bagaimana caranya? Kenali budaya suku kita dengan mempelajari tarian dan lagu tradisional, tidak malu menggunakan pakaian adat atau paling tidak mengaplikasikan salah satunya pada pakaian sehari-hari, dan jangan malas mempelajari adat-istiadat dari orangtua.
Dengan demikian, meskipun kita hidup merantau di belahan dunia manapun, kita tidak akan pernah pernah melupakan asal-usul kita dan selalu ingat identitas kita sebagai bangsa Indonesia yang memiliki beragam suku.
Turis-turis itu saja rela terbang ribuan kilometer ke Indonesia untuk melihat budaya kita yang tersohor itu, tentunya kita sendiri juga harus bisa memperkenalkan dan memelihara budaya kita. Betul kan?
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri.” – Bung Karno.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H