Apakah Anda sering mengonsumsi jamu atau obat tradisional lainnya? Jika ya, sebaiknya Anda perlu lebih kritis dalam memutuskan untuk mengonsumsinya.Â
Sebagai salah satu negara yang memiliki banyak tanaman rempah dan obat, peredaran Obat Tradisional (OT) di Indonesia nyatanya boleh dibilang cukup eksis. Banyaknya varian OT di Indonesia tidak dapat dipungkiri karena masyarakat mulai banyak yang memilih OT ketimbang obat kimia untuk mengobati penyakitnya.
Umumnya alasan mereka adalah OT lebih aman dari obat kimia dan minim efek samping. Padahal kenyataannya tidak. Penggunaan OT yang salah juga dapat menimbulkan efek samping jika tidak digunakan dengan benar.Â
Misalnya dikonsumsi bersama dengan obat kimia lain atau dikonsumsi oleh pasien yang dikontraindikasikan (dilarang) pada kondisi tertentu. Selain itu, pada kenyataannya masih banyaknya masyarakat yang menginginkan efek/khasiat obat yang muncul dengan cepat. Oleh sebab itu, ketika ada iklan yang menjual OT dengan efek yang cepat, banyak juga orang yang tergiur untuk membeli tanpa memperhatikan sisi keamanannya.
Menurut Peraturan BPOM tahun 2005 tentang Kriteria dan Tata Laksana Pendaftaran OT, OHT, dan Fitofarmaka, Obat Tradisional merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Berdasarkan pembuktian keamanan dan khasiatnya, kategori Obat Tradisional di Indonesia dibagi menjadi tiga antara lain: Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka.
1. Jamu, dibuat dari bahan-bahan alam yang khasiatnya diperoleh berdasarkan pengalaman dari generasi ke generasi (empiris).
2. Obat Herbal Terstandar (OHT), adalah obat yang dibuat dari bahan alami yang terstandardisasi dan khasiatnya telah diuji melalui uji pra-klinis (menggunakan hewan coba).
3. Fitofarmaka adalah obat yang dibuat dari bahan alam yang terstandardisasi dan khasiatnya telah diuji berdasarkan uji pra-klinis dan uji klinis (telah diuji ke sekelompok sukarelawan), serta diproduksi secara higienis dan bermutu sesuai standar yang ditetapkan.
Baik Jamu, OHT maupun Fitofarmaka tidak boleh mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) atau obat kimia sintetis, dan oleh karenanya efek / khasiat yang ditimbulkan akan muncul secara perlahan. Berbeda dengan obat kimia yang khasiatnya muncul dengan cepat.Â
Namun dengan masih adanya demand dari masyarakat akan Obat Tradisional yang memberikan khasiat yang cepat, munculah produsen-produsen yang nakal dengan memasukkan BKO ke dalam Obat Tradisional. Mereka tidak sadar bahwa pencampuran BKO ke dalam obat yang mengandung bahan alam dapat membuat obat tersebut dapat berisiko merugikan kesehatan akibat adanya interaksi obat.
Pada saat artikel ini dipublikasikan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan Public Warning terkait temuan Obat Tradisional yang mengandung BKO. Sebenarnya temuan ini hanyalah suatu bentuk pengawasan rutin yang dilakukan oleh BPOM untuk melindungi masyrakat.Â
Namun meskipun inspeksi ini sudah dilakukan berulang kali, tetap saja ada produsen yang tidak jera. Sepanjang tahun 2016 BPOM menemukan 43 jenis OT yang mengandung BKO dan 26 diantaranya tidak memiliki Nomor Izin Edar (NIE) alias ilegal.
Dan sebagian besar BKO yang teridentifikasi adalah Sildenafil dan turunannya. Ini membuktikan bahwa obat-obat disfungsi ereksi banyak diminati konsumen. Namun berhubung harganya mahal, banyak yang beralih ke Obat Tradisional.Â
Sildenafil (sering dikenal orang dengan nama paten Viagra) merupakan obat kimia yang digunakan untuk mengobati disfungsi ereksi dan penggunaannya harus sesuai petunjuk dokter karena termasuk dalam golongan obat keras. Penggunaan Sildenafil yang sembarangan yang dicampur ke dalam Obat Tradisional dapat berisiko menimbulkan stroke, serangan jantung hingga kematian. Mengerikan bukan?
Lalu bagaimana caranya kita bisa mengidentifikasi apakah suatu Obat Tradisional sudah dicampur BKO atau tidak? Untuk mengidentifikasi secara jelas tentunya tidak bisa kita lakukan sendiri karena membutuhkan peralatan uji khusus. Namun kita bisa mencegah mengkonsumsi obat yang salah dengan cara :
1. Membelinya di toko obat atau apotek yang terjamin.
2. Lihat logo golongan obat dan pastikan ada Nomor Izin Edar dari BPOM pada kemasan. NIE akan diawali huruf TR (untuk obat tradisional lokal), TI (untuk obat tradisional impor), TL (untuk obat tradisional berlisensi), HT (untuk OHT) dan FF (untuk fitofarmaka). Contoh: POM TR/TI/TL/HT/FF (9 angka).
3. Untuk memastikan status NIE suatu produk (berlaku atau tidak) Anda dapat mengeceknya melalui website BPOM. NIE ini dapat dikatakan sebagai identitas bahwa suatu produk telah lulus evaluasi keamanan, mutu, dan khasiat oleh BPOM.
4. Pastikan obat belum melewati tanggal kedaluwarsa.
Jadilah masyarakat yang kritis dan teliti. Jangan pecaya begitu saja terhadap iklan-iklan yang beredar apalagi dari perkataan orang lain yang belum dapat dipastikan kebenarannya. Pada dasarnya obat adalah racun. Jika tidak digunakan dengan benar tentunya akan menimbulkan efek yang berbahaya.
Referensi:
WHOÂ
Artikel ini diperbaharui 11 Mei 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H