Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pro dan Kontra Apoteker terhadap Permenkes Nomor 31 Tahun 2016

30 Agustus 2016   15:57 Diperbarui: 4 April 2017   16:19 13454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image Source: Dok. Pribadi

Baru-baru ini saya mendapatkan informasi berantai terkait Peraturan Menteri Kesehatan No. 31 tahun 2016 atas perubahan Permenkes No. 889 tahun 2011. Meskipun tampaknya peraturan ini belum disosialisasikan secara resmi, namun informasi ini cukup menimbulkan berbagai reaksi dari kalangan Apoteker dan tenaga kefarmasian lainnya. Ada yang merasa diuntungkan namun banyak juga yang merasa dirugikan.

Beberapa pasal yang mengalami perubahan antara lain pasal 17, 18 dan 19 (lebih lengkapnya dapat dilihat pada link berikut). Ketiga pasal ini berkenaan dengan ketentuan izin dan jumlah tempat bekerja Apoteker dan Tenaga Teknis Farmasi. Dan beberapa hal yang dapat saya simpulkan dari perubahan permenkes ini antara lain:

1. Istilah Surat Izin Praktik Apoteker / SIPA (untuk yang Apoteker yang bekerja di fasilitas pelayanan) dan Surat Izin Kerja Apoteker / SIKA (untuk Apoteker yang bekerja selain di fasilitas pelayanan, misalnya produksi dan distribusi), kini berubah menjadi Surat Izin Praktik).

2. Istilah SIKTTK (Surat Izin kerja Tenaga Teknis Kefarmasian) berubah menjadi SIPTTK (Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian).

Image Source: Dok. Pribadi
Image Source: Dok. Pribadi
3. Apoteker hanya boleh memiliki 1 SIPA kecuali, Apoteker yang bekerja di fasilitas pelayanan kefarmasian (misalnya rumah sakit, apotek dan puskesmas) boleh memiliki paling banyak 3 SIPA untuk fasilitas pelayanan kefarmasian. Dan Apoteker yang memiliki SIA (Surat Izin Apotek), boleh memiliki paling banyak 2 SIPA di fasilitas pelayanan kefarmasian lain.

4. SIPTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 fasilitas pelayanan kefarmasian.

5. SIPA diterbitkan oleh Pemda kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan kabupaten/kota setempat.

Image Source: Dok. Pribadi
Image Source: Dok. Pribadi
Dari 5 hal yang saya simpulkan ini (kalau saya sendiri juga tidak salah menyimpulkan), poin ketiga saya pikir agak tidak adil ya? Mengapa? Karena terlihat sekali 'diskriminasinya'. Apoteker di Indonesia memang tersebar di berbagai fasilitas pelayanan, produksi, distribusi maupun regulasi. Dan sudah lama sekali issue mengenai jumlah tempat / fasilitas farmasi yang diperbolehkan untuk 'dipegang' oleh seorang Apoteker selalu menjadi perdebatan tersendiri.

Banyak yang berpendapat, tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, perawat, tenaga teknis farmasi, paramedis juga manusia yang butuh pekerjaan dan butuh makan, disamping tugas utamanya yang telah disumpah untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun adanya regulasi kerap menjadi hambatan bagi mereka dalam melaksanakan tugasnya. Banyak yang merasa bahwa profesi tenaga kesehatan ini kurang dihargai di Indonesia sehingga banyak pula yang merasa tingkat kesejahteraan mereka sangat kurang. Akibatnya banyak yang melakukan pelanggaran diam-diam sehingga prinsip Patient Oriented yang seharusnya dijunjung tinggi, kini berubah haluan menjadi Money Oriented. Banyak yang mulai melakukan segala cara supaya pendapatan mereka meningkat. Salah satunya adalah Apoteker.

Image Apoteker di Indonesia tidak seprestis dokter, bahkan cenderung tenggelam. Tidak banyak yang tahu bahwa ada yang namanya profesi Apoteker. Jangankan bicara tentang Apoteker yang bekerja di fasilitas produksi dan distribusi, bahkan di fasilitas pelayanan pun Apoteker jarang ditemui. Mengapa? Faktanya karena mereka memang tidak hanya standby di satu tempat. Dan mengapa hal ini dilakukan? Apalagi kalau bukan karena mereka ingin memperoleh pendapatan yang lebih banyak.

Sekarang, setelah munculnya perubahan permenkes ini, saya rasa justru malah akan semakin banyak Apoteker yang melakukan hal demikian. Apoteker yang bekerja di fasilitas produksi dan distribusi tentu akan merasa dirugikan / didiskriminasi karena kebijakan yang mereka terima tidak sama dengan Apoteker yang bekerja di fasilitas pelayanan. Seakan-akan area Apoteker yang bekerja di fasilitas produksi & distribusi dibatasi. Berbeda dengan Apoteker di fasilitas pelayanan, mereka bisa sedikit lega karena peraturan ini.

Menurut pendapat saya pribadi (entah bagaimana dengan Anda), akan lebih baik jika seorang Apoteker memiliki izin sebagai Apoteker Pendamping di maksimal 2 fasilitas pelayanan lainnya selain pekerjaan utamanya, entah itu di fasilitas produksi, distribusi, regulasi maupun pelayanan. Yang penting mereka memenuhi syarat untuk memberikan pelayanan kepada pasien, misalnya dengan pengaturan jam kerja sehingga pasien tetap bisa menemui Apotekernya untuk mendapatkan informasi yang memadai. Lalu bagaimana dengan pendapat Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun