Sejak kasus vaksin palsu merebak, saya lihat banyak sekali respon dari masyarakat maupun para profesi tenaga kesehatan. Mendadak orang-orang terlihat begitu peduli dengan apa yang terjadi dengan dunia kesehatan di Indonesia sekarang ini. Di televisi, media sosial, berita internet, organisasi profesi sampai terakhir, salah satu anggota Komisi IX DPR RI. Saking banyaknya masyarakat yang terlalu peduli, sampai-sampai ada yang terlalu pintar untuk menyimpulkan sendiri dari suatu imbauan, hingga menimbulkan semacam efek "adu domba" di antara dua profesi tenaga kesehatan, yakni dokter dan apoteker.
Satu hal yang membuat saya tertarik adalah beredarnya foto di atas di berbagai media sosial, yang membuat para dokter dan apoteker ribut di dunia maya dan sibuk membela profesinya. Rupa-rupanya, keributan ini dipicu oleh pernyataan yang dilontarkan salah satu anggota Komisi IX DPR RI yang membahas tentang aturan dalam menuliskan resep oleh dokter. Jujur, saya sampai mencari semua artikel di internet yang membahas topik ini. Saya ingin tahu, sebenarnya seperti apa isinya hingga bisa membuat kedua profesi tenaga kesehatan itu bersitegang.
Dan setelah saya baca dari beberapa artikel dengan sumber yang terpercaya, jelas-jelas dalam pernyataan tersebut dikatakan bahwa, “Kalau bisa kita akan buat aturan dokter tidak menulis resep nama obat, tetapi generiknya. Kalau sakitnya pusing, dikasih paracetamol bukan nama obat. Kalau memang tidak ada sangkut pautnya dengan produk, ya tulis saja generiknya” (Sumber).
- Tidak memadainya mata kuliah di fakultas kedokteran yang membahas tentang nama-nama obat generik (karena memang sebenarnya fokus pendidikan mereka adalah diagnosa penyakit dan lainnya yang berkaitan),
- Banyak dokter yang "diapelin" para medical representative dari suatu perusahaan farmasi, untuk mengenalkan produknya supaya dokter tersebut meresepkan obatnya kepada pasien, sehingga target penjualan pun tercapai,
Ketika dokter meresepkan obat dengan menyebutkan brand name, tidak menutup kemungkinan kelak apoteker yang membaca resep itu akan menghubungi dokter bersangkutan untuk mengganti obat jika:
- Stok obat dengan nama tersebut tidak tersedia, sehingga apoteker akan mengusulkan obat lain yang memiliki kandungan zat aktif sama,
- Kemampuan ekonomi pasien yang kurang memadai. Bukan tidak mungkin pasien terlalu malu mengungkapkan pada dokternya bahwa dia kurang mampu dan minta untuk diberikan obat yang harganya murah. Sehingga ia membiarkan dokternya menulis resep, kemudian setibanya di apotek, ia meminta apotekernya untuk mengurangi jumlah obat. Akibatnya tujuan terapinya tidak tercapai. Sehingga mau tak mau apoteker akan memberikan alternatif yang lain, supaya pasien tetap bisa sembuh.
Jika dokter sejak awal menuliskan resep dengan nama generik, tentu akan memudahkan pasien dan apoteker menentukan merek obat yang pas. Pas untuk terapi, pas juga untuk kantong. Dan yang sekarang perlu digalakkan adalah, edukasi masyarakat bahwa Obat Generik dan Obat Paten memiliki khasiat yang sama. Sebelum Obat Generik itu beredar, tentunya ada data pendukung yang disetujui oleh pemerintah (dalam hal ini BPOM), bahwa obat generik memiliki karakteristik yang sama atau paling tidak, tidak berbeda jauh dengan Obat Paten. Tidak mungkin BPOM memberikan izin edar untuk obat-obat yang tidak ada khasiatnya.
Jadi, kembali kepada permasalahan di atas. Dokter tentunya tidak bisa menuliskan resep seperti pada foto di atas. Mengapa? Tentunya para dokter tahu, bahwa dalam menuliskan resep, ada aturan khusus (signa) yang tidak boleh dimengerti oleh orang awam. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter kepada apoteker untuk menyiapkan obat dan menyerahkannya kepada pasien. Bahasa dalam resep harus ditulis dalam Bahasa Latin yang merupakan bahasa internasional dalam dunia kedokteran. Bahasa Latin bukanlah bahasa percakapan, sehingga tidak akan menimbulkan salah tafsir atau arti yang ambigu. Jadi, jika sampai ada dokter yang menuliskan resep seperti di atas, tentunya dia belum mengerti resep itu apa. Dan yang lebih parah jika hal tersebut dilakukan, semua orang bisa saja menulis resep dan menyalahgunakannya.
Sebaiknya para profesi tenaga kesehatan baik itu dokter, apoteker, perawat dan lainnya, tidak serta merta menanggapi informasi dengan mentah-mentah dan mau diadu domba. Dengan adanya kasus seperti vaksin palsu, obat palsu dan lainnya ini, akan lebih baik jika seluruh tenaga kesehatan bersatu padu untuk meningkatkan kompetensi masing-masing sesuai profesi dan pekerjaannya untuk melayani pasien. Dan bukannya saling memojokkan satu sama lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H