Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya untuk memajukan kesejahteraan umum. Tugas negara yang demikian, menyebabkan Indonesia digolongkan sebagai negara kesejahteraan dan dalam rangka tersebut kepada negara yang diberi wewenang untuk menguasai tanah.Â
Menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,disebutkan bahwa bumi,air,dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian penguasaan negara atas bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,tepat dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,yang dikenal dengan sebutan "Undang-undang Pokok Agrara (UUPA). Dalam UUPA ditentukan bahwa hak menguasai negara tersebut,memberi wewenang kepada negara,diantaranya untuk mengatur dan menyelenggarakan penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, udara, dan ruang angkasa.
Seperti kasus Proyek Rempang Eco City, yang salah satunya untuk pariwisata, sangat tepat kalau melibatkan partisipasi masyarakat pemilik tanah Kampung Tua secara langsung dalam proyek pengembangan wilayah tersebut, bukan dengan cara merelokasi. Posisi mereka berbeda dengan masyarakat Pulau Rempang yang melakukan pendudukan atas bekas perkebunan HGU, yang memang perlu pendekatan khusus.
Memahami duduk perkara kasus Rempang hari ini bisa dilakukan dengan menelusuri dari awal sejarahnya.
Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam. Ketentuan Pasal 6 Ayat 2 Huruf a keppres tersebut menyatakan, seluruh areal yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan status hak pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam.
Kepulauan Batam merupakan lokasi yang strategis. Keppres Nomor 41 Tahun 1973 merupakan keputusan untuk mencegah lokasi tanah yang potensial untuk investasi sampai dimiliki investor swasta. Artinya, mencegah spekulan tanah.
Pemberian HPL kepada Otorita Batam, artinya investor yang membutuhkan tanah tidak diperkenankan memiliki tanah, tetapi cukup dengan menyewa tanah ke Otorita Batam.
Akibat hukum dari keppres tersebut, hak-hak perseorangan di areal yang ditetapkan menjadi terbatas. Areal yang ditetapkan oleh keppres tersebut harus jelas letak batas-batasnya dan terbebas dari penguasaan, pemanfaatan, atau pemilikan tanah masyarakat. Dan sesuai dengan isi keppres tersebut, keppres ini harus ditindaklanjuti dengan kegiatan pendaftaran tanahnya.
Apabila terdapat hak kepunyaan atau pemilikan tanah adat di areal tersebut, sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tanah adat yang sudah dikuasai secara individu akan dikonversi menjadi "hak atas tanah hak milik", sementara hak milik tidak mungkin ada pada areal hak pengelolaan.
Oleh karena itu, hak pengelolaan yang ditetapkan oleh Keppres Nomor 41 Tahun 1973 harus terlebih dahulu terbebas dari hak milik masyarakat, sebelum didaftarkan ke Kantor Pertanahan.