"Oh cuma segini? Kirain saya, kamu cantik!"
Perempuan berkulit putih itu memandangi saya dari atas sampai bawah. Mungkin tak percaya melihat penampakan fisik saya, yang jauh dari kata menarik. Ia tak tau, bahwa ia bukan satu-satunya yang merasa begitu. Sayapun jatuh minder ketika ia muncul di depan saya. Kulitnya putih, giginya rapi berjajar, matanya jernih. Dia cantik.
Petikan adegan di atas bukan dari cerpen atau novel saya, melainkan betulan terjadi di suatu hari agak mendung, di depan pos ronda, dekat SMP saya.
Perempuan cantik itu, siswi sekolah lain yang mendatangi saya, untuk kemudian mengintimidasi. Sebabnya? Silakan jika mau tertawa. Sebabnya karena laki-laki. Memalukan, memang.
Lelaki yang dimaksud, sering membuntuti saya ketika pulang mengaji, di sekitar lingkungan rumah. Si perempuan, yang ternyata, tempat nongkrongnya di lingkungan yang sama, menaruh hati pada si lelaki, dan mendatangi saya. Kisahnya panjang, dan saya tak mau membebani kalian dengan kisah asmara pret yang sama sekali tak menarik, kecuali untuk diceritakan ulang sebagai kekonyolan saya di masa remaja.
Mungkin tak semua perempuan mengalami ini, namun sesungguhnya hidup perempuan sejak awal sudah diwarnai aroma kompetisi. Akarnya tak jauh dari urusan fisik dan lawan jenis. Jikapun bukan keduanya, maka ada begitu banyak hal lain yang sama-sama bisa diperdebatkan di kalangan perempuan.
Kelak, jika si perempuan itu dewasa dan bekerja, kemudian punya anak, lingkaran kompetisi yang ia ikuti melebar menjadi; kompetitif dalam hal punya anak, menyekolahkan anak, membanggakan anak, membanggakan suami, dan sebagainya.
Jika kita telusuri sebab musababnya, boleh jadi berakar pada budaya kita sendiri, pada kebiasaan yang ditanamkan orangtua. Bahwa perempuan itu harus cantik secara fisik, kulitnya mesti halus, jalannya harus diatur, ketawa tidak boleh ngakak, anggun, harus pandai memasak dan sebagainya.
Intinya, anak-anak perempuan kita, dipersiapkan menjadi seorang putri Disney. Pandai beberes seperti Cinderella, sekaligus cantik supaya tak bikin malu kalau dibawa ke mana-mana. Anak-anak perempuan kita, disiapkan untuk menjadi tandem laki-laki, untuk dilirik dan diperistri.
Tak ada yang salah, sebetulnya. Sebab mencari suami dan menikah adalah bagian dari siklus kehidupan seorang perempuan, mau dijalankan atau tidak. Hanya memang, tuntutan tanpa sadar untuk selalu peduli dengan fisik dan tampilan-lah yang kemudian menjadikan para perempuan (setidaknya) selalu bergantung pada hal tersebut.
Keadaan ini juga disokong oleh propaganda iklan yang selalu menerapkan standar tertentu atas kecantikan seorang perempuan. Berbadan tinggi semampai, bertubuh proporsional, berkulit putih terang, bergigi rata, rambut panjang tergerai, dan sebagainya. Jangan heran, bahwa dari dulu hingga sekarang, banyak perempuan terobsesi untuk memiliki kulit lebih mulus dan lebih putih.