Pada zaman saya remaja, standar kecantikan perempuan ada pada para finalis Gadis Sampul. Tak peduli banyak di antara mereka yang ternyata pintar secara akademik atau berbakat seni, yang kami kagumi 90 % adalah fisik.
Maka lihatlah, rata-rata korban bully dihina secara fisik. Di sekolah-sekolah, banyak bentukan geng "Plastic Girls" yang terdiri dari anak-anak perempuan cantik dan popular, yang senang "ngegencet" anak-anak perempuan lain yang mereka nilai sebagai jelek, gendut, bodoh. Sebab itulah standar yang mereka tahu. "Kalo kamu cantik, kamu pasti banyak dilirik." Titik.
Boleh jadi, awal terbentuknya premis ini adalah dari rumah. Kita sering sekali memuji kecantikan anak perempuan kita, dan lupa menunjukkan bahwa seorang perempuan tidak melulu dinilai dari sebentuk rupa. Bahwa, kalau kamu perempuan, kamu juga harus pinter loh, harus dewasa loh, harus bisa independent loh, sama seperti laki-laki, tak ada bedanya.
Tapi, tidak. Masyarakat kita masih mendidik perempuan seperti Cinderella. Bahwa kamu harus cantik, dan menarik, supaya nanti gampang dapat suami. Jangan lupa dandan, biar suami senang, kalau tidak nanti digaet orang. Bla bla bla.
Maka, demikianlah rangkaian kompetisi antara perempuan dengan perempuan lainnya menjadi sebuah derita tiada akhir. Perempuan menjadi predator bagi perempuan lainnya, sebab mungkin ia terbiasa dibandingkan. Jika tidak dengan saudara sendiri, dengan anak tetangga. Ia terbiasa berkompetisi untuk mendapatkan perhatian.
Maka Ibu-ibu, berhentilah membandingkan anak-anak perempuanmu dengan anak-anak lain. Sebab anakmu nanti akan merasa, "Oh Mama memuji terus anak itu, yang lebih cantik itu, yang lebih pintar itu, Oh ternyata aku tak cukup cantik, tak cukup pintar."
Membandingkan anak dengan anak lainnya, saya pikir bisa dikategorikan sebagai salah satu kesalahan terbesar orangtua. Perbandingan yang terus menerus, akan membuat anak selalu merasa ia tak cukup baik untuk mendapatkan pujian dan perhatian. Oleh karenanya, jangan heran ada begitu banyak anak perempuan yang haus perhatian, ingin dibilang cantik, dibilang "cool", dibilang populer, kemudian ujung-ujungnya, menjadikan dirinya sendiri sebagai komoditi dalam bentuk kenakalan kecil-kecilan.Â
Untuk apa? Biar eksis, dan dapat pujian. Dan karena para remaja sedang dalam fase sangat memercayai apa kata teman, maka mereka ingin mendapat pujian dan perhatian dari teman-temannya (apalagi jika dari lawan jenis).
Semoga setelah ini, akan ada banyak orangtua yang mendidik anak-anak perempuan mereka untuk percaya bahwa "Perempuan sukses karena karyanya" bukan karena cantiknya, populernya, kerennya.
Ajarkan bahwa tujuan hidup mereka bukan semata-mata kompetisi menggaet suami, namun menjadi manusia yang berguna bagi manusia yang lainnya. Menjadi manusia seutuhnya, tak harus selalu dilambangkan dengan memiliki suami ganteng, anak-anak yang dilahirkan dengan cara normal tanpa operasi, atau bisa menyekolahkan anak ke sekolah favorit.
Bahwa perempuan memang dinilai sebagai pribadi yang utuh, luar dan dalam. Bukan hanya semata jargon "inner beauty", yang ujung-ujungnya dipopulerkan oleh model jelita, yang wajah mulusnya hasil perawatan skin care.