Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Didikan Cinderella pada Anak-anak Kita

11 April 2019   10:15 Diperbarui: 11 April 2019   10:18 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Oh cuma segini? Kirain saya, kamu cantik!"

Perempuan berkulit putih itu memandangi saya dari atas sampai bawah. Mungkin tak percaya melihat penampakan fisik saya, yang jauh dari kata menarik. Ia tak tau, bahwa ia bukan satu-satunya yang merasa begitu. Sayapun jatuh minder ketika ia muncul di depan saya. Kulitnya putih, giginya rapi berjajar, matanya jernih. Dia cantik.

Petikan adegan di atas bukan dari cerpen atau novel saya, melainkan betulan terjadi di suatu hari agak mendung, di depan pos ronda, dekat SMP saya.

Perempuan cantik itu, siswi sekolah lain yang mendatangi saya, untuk kemudian mengintimidasi. Sebabnya? Silakan jika mau tertawa. Sebabnya karena laki-laki. Memalukan, memang.

Lelaki yang dimaksud, sering membuntuti saya ketika pulang mengaji, di sekitar lingkungan rumah. Si perempuan, yang ternyata, tempat nongkrongnya di lingkungan yang sama, menaruh hati pada si lelaki, dan mendatangi saya. Kisahnya panjang, dan saya tak mau membebani kalian dengan kisah asmara pret yang sama sekali tak menarik, kecuali untuk diceritakan ulang sebagai kekonyolan saya di masa remaja.

Mungkin tak semua perempuan mengalami ini, namun sesungguhnya hidup perempuan sejak awal sudah diwarnai aroma kompetisi. Akarnya tak jauh dari urusan fisik dan lawan jenis. Jikapun bukan keduanya, maka ada begitu banyak hal lain yang sama-sama bisa diperdebatkan di kalangan perempuan.

Kelak, jika si perempuan itu dewasa dan bekerja, kemudian punya anak, lingkaran kompetisi yang ia ikuti melebar menjadi; kompetitif dalam hal punya anak, menyekolahkan anak, membanggakan anak, membanggakan suami, dan sebagainya.

Jika kita telusuri sebab musababnya, boleh jadi berakar pada budaya kita sendiri, pada kebiasaan yang ditanamkan orangtua. Bahwa perempuan itu harus cantik secara fisik, kulitnya mesti halus, jalannya harus diatur, ketawa tidak boleh ngakak, anggun, harus pandai memasak dan sebagainya.

Intinya, anak-anak perempuan kita, dipersiapkan menjadi seorang putri Disney. Pandai beberes seperti Cinderella, sekaligus cantik supaya tak bikin malu kalau dibawa ke mana-mana. Anak-anak perempuan kita, disiapkan untuk menjadi tandem laki-laki, untuk dilirik dan diperistri.

Tak ada yang salah, sebetulnya. Sebab mencari suami dan menikah adalah bagian dari siklus kehidupan seorang perempuan, mau dijalankan atau tidak. Hanya memang, tuntutan tanpa sadar untuk selalu peduli dengan fisik dan tampilan-lah yang kemudian menjadikan para perempuan (setidaknya) selalu bergantung pada hal tersebut.

Keadaan ini juga disokong oleh propaganda iklan yang selalu menerapkan standar tertentu atas kecantikan seorang perempuan. Berbadan tinggi semampai, bertubuh proporsional, berkulit putih terang, bergigi rata, rambut panjang tergerai, dan sebagainya. Jangan heran, bahwa dari dulu hingga sekarang, banyak perempuan terobsesi untuk memiliki kulit lebih mulus dan lebih putih.

Pada zaman saya remaja, standar kecantikan perempuan ada pada para finalis Gadis Sampul. Tak peduli banyak di antara mereka yang ternyata pintar secara akademik atau berbakat seni, yang kami kagumi 90 % adalah fisik.

Maka lihatlah, rata-rata korban bully dihina secara fisik. Di sekolah-sekolah, banyak bentukan geng "Plastic Girls" yang terdiri dari anak-anak perempuan cantik dan popular, yang senang "ngegencet" anak-anak perempuan lain yang mereka nilai sebagai jelek, gendut, bodoh. Sebab itulah standar yang mereka tahu. "Kalo kamu cantik, kamu pasti banyak dilirik." Titik.

Boleh jadi, awal terbentuknya premis ini adalah dari rumah. Kita sering sekali memuji kecantikan anak perempuan kita, dan lupa menunjukkan bahwa seorang perempuan tidak melulu dinilai dari sebentuk rupa. Bahwa, kalau kamu perempuan, kamu juga harus pinter loh, harus dewasa loh, harus bisa independent loh, sama seperti laki-laki, tak ada bedanya.

Tapi, tidak. Masyarakat kita masih mendidik perempuan seperti Cinderella. Bahwa kamu harus cantik, dan menarik, supaya nanti gampang dapat suami. Jangan lupa dandan, biar suami senang, kalau tidak nanti digaet orang. Bla bla bla.

Maka, demikianlah rangkaian kompetisi antara perempuan dengan perempuan lainnya menjadi sebuah derita tiada akhir. Perempuan menjadi predator bagi perempuan lainnya, sebab mungkin ia terbiasa dibandingkan. Jika tidak dengan saudara sendiri, dengan anak tetangga. Ia terbiasa berkompetisi untuk mendapatkan perhatian.

Maka Ibu-ibu, berhentilah membandingkan anak-anak perempuanmu dengan anak-anak lain. Sebab anakmu nanti akan merasa, "Oh Mama memuji terus anak itu, yang lebih cantik itu, yang lebih pintar itu, Oh ternyata aku tak cukup cantik, tak cukup pintar."

Membandingkan anak dengan anak lainnya, saya pikir bisa dikategorikan sebagai salah satu kesalahan terbesar orangtua. Perbandingan yang terus menerus, akan membuat anak selalu merasa ia tak cukup baik untuk mendapatkan pujian dan perhatian. Oleh karenanya, jangan heran ada begitu banyak anak perempuan yang haus perhatian, ingin dibilang cantik, dibilang "cool", dibilang populer, kemudian ujung-ujungnya, menjadikan dirinya sendiri sebagai komoditi dalam bentuk kenakalan kecil-kecilan. 

Untuk apa? Biar eksis, dan dapat pujian. Dan karena para remaja sedang dalam fase sangat memercayai apa kata teman, maka mereka ingin mendapat pujian dan perhatian dari teman-temannya (apalagi jika dari lawan jenis).

Semoga setelah ini, akan ada banyak orangtua yang mendidik anak-anak perempuan mereka untuk percaya bahwa "Perempuan sukses karena karyanya" bukan karena cantiknya, populernya, kerennya.

Ajarkan bahwa tujuan hidup mereka bukan semata-mata kompetisi menggaet suami, namun menjadi manusia yang berguna bagi manusia yang lainnya. Menjadi manusia seutuhnya, tak harus selalu dilambangkan dengan memiliki suami ganteng, anak-anak yang dilahirkan dengan cara normal tanpa operasi, atau bisa menyekolahkan anak ke sekolah favorit.

Bahwa perempuan memang dinilai sebagai pribadi yang utuh, luar dan dalam. Bukan hanya semata jargon "inner beauty", yang ujung-ujungnya dipopulerkan oleh model jelita, yang wajah mulusnya hasil perawatan skin care.

Memangnya kenapa, kalau kamu tidak putih, tidak kurus, tidak punya kaki jenjang? Tidak ditaksir cowok satu sekolahan, tidak punya sederet mantan pacar?

Malu-lah kalau kamu perempuan dan otakmu kosong. Sebab suatu hari kamu akan punya anak, dan kamulah sekolah pertama anak-anakmu.

Perempuan itu wajib pintar, cantik mah bonus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun