Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Urgensi Komunikasi dalam Parenting

8 Desember 2018   19:03 Diperbarui: 8 Desember 2018   20:46 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"What we have here, is a failure to communicate ..."

*kutipan kata-kata JFK*

Morgan Freeman dalam film "The Bucket List" curhat pada Jack Nicholson soal hubungannya dengan istri.  Ia seorang yang cerdas dan pekerja keras, terpaksa mengubur banyak impiannya agar keempat anaknya bisa sekolah. 

Setelah keempat anaknya dewasa, Morgan Freeman malah merasa canggung menghabiskan waktu dan berbincang bersama istri. Morgan baru menyadari bahwa selama puluhan tahun bersama dengan istrinya, ia seringnya berbincang mengenai anak-anak, sehingga saat tinggal mereka berdua, habislah materi pembicaraan.

Can you relate to this?

Saya tak tahu sebetulnya presentase seberapa banyak perbincangan suami istri yang membahas soal anak-anak, dan seberapa banyak soal hubungan berdua. Satu hal yang pasti, saya yakin banyak sekali pasangan yang bahkan tidak paham bagaimana cara berkomunikasi dengan pasangan, apalagi dengan anak.

Seberapa banyak Anda mengobrol dengan pasangan setiap hari? Mengobrol tanpa memerhatikan gawai di tangan, mengobrol sambil benar-benar memerhatikan raut wajahnya dan gesture tubuhnya?

Seberapa banyak Anda mengobrol bersama anak setiap hari? Mengobrol lebih dari sekadar mengatakan, "Ada PR hari ini?" atau berupa perintah, "Belajar sana!"

Saya tahu banyak sekali pasangan yang bahkan tak paham cara mengobrol antara satu sama lain. Kebutuhan mencari nafkah, jam kerja yang membuat sibuk, kebutuhan anak-anak yang harus dipenuhi, adalah sekian barrier yang biasanya menjadi penghalang.

Padahal, ini penting.

Komunikasi memegang peranan penting dalam sebuah hubungan. Antar pasangan, orangtua dan anak.

Sebentar lagi, semua orangtua harus meluangkan waktunya barang setengah sampai sejam untuk mengambil rapor putra-putri mereka.

Sudah siap untuk mengomel?

Ah lebay, masak suuzon gitu sih.

Lah, saya jarang lihat ada orangtua yang woles aja begitu nerima rapor anak-anak. Mesti ada yang kurang.

"Makanya, udah dibilangin belajar, malah maen gem mulu ... tuh kan nilainya cuman segini."

"Yang nilainya kurang kayak kamu, ada berapa orang di kelas?"

"Mau jadi apa kamu, nilai minim begini ..."

Mengomel bukan mengobrol ya. Sebab mengobrol berarti two ways of communication. Ada hubungan saling berterima antara dua belah pihak. Dalam kasus 'mengomel' atau 'marah-marah", yang terjadi adalah relasi antara pihak yang lebih berkuasa dibanding pihak yang tertindas.

Loh, trus ga boleh marahin anak?

Kata siapa? Sangat boleh.

Pun begitu, "marah yang seperti apa", yang harus digarisbawahi.

Orangtua dimanapun, seringkali lupa bahwa anak-anak mereka bertumbuh. Sesuai dengan perkembangan usianya, sejatinya ikut berkembang pula pendekatan parenting yang dilakukan. Misalnya, Anda tidak bisa memarahi remaja usia 14-15 tahun dengan  peran "Saya lebih tahu, kamu lebih baik nurut". Sebab di usia seperti itu, yang mereka anggap hanya "teman". Bukan orang lebih tua, yang selalu nyerewetin dan ngomel-ngomel. Maka, jadilah teman baginya.

Ini tentu tidak mudah.

Tak semua orangtua sanggup menjalani peran seperti ini. "Being friends' role play" bisa dilakukan oleh mereka yang memang mau membuka diri dan menurunkan standar ke-orangttua-annya, supaya bisa sejajar dengan anak.

Mengapa penting untuk sejajar?

Untuk bisa menghilangkan relasi kekuasaan. Bahwa "saya dan kamu sama loh, maka yuk kita ngobrol" dan "saya ga akan nge-judge kamu loh, sebab saya juga pernah sepertimu."

Inipun tak bisa dilakukan oleh sebelah orangtua, maksudnya, Ayah saja, atau Ibu saja, mesti keduanya. Oleh karena itulah, pasangan sebaiknya memang punya komunikasi yang bagus dan kesepakatan yang kuat. 

Adu argument boleh dilakukan di balik pintu tertutup, tidak di depan anak. Jika tidak, maka siap-siap menghadapi kenyataan bahwa anak Anda sudah tahu harus merengek minta jajan ke siapa, sebab ia tahu salah satu orangtuanya lebih permisif disbanding yang lain.

Jika komunikasi sudah bagus antar pasangan, dan mengobrol dengan anak sudah bisa sangat alamiah terbangun, sebetulnya tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

Dunia boleh jadi menjadi tempat yang sangat mengerikan, dengan penjajahan K-Pop dan ancaman LGBT yang di-brodkes dimana-mana. Namun jika komunikasi Anda dengan anak sudah sangat bagus, ibaratnya, serangan zombie dalam post-apocalyptic war saja, bisa Anda hadapi.

Memang ada apa dengan semua serangan budaya luar ini? Pergeseran nilai moral dan degradasi akhlak terjadi dimana-mana, memang. Apakah semata karena pengaruh budaya luar? 

Coba pikirkan lagi. Jangan-jangan kita jenis orangtua kagetan yang terlalu rusuh dengan pelbagai perkembangan dunia modern, malah kita sendiri yang mengalami cultural shock alias gegar budaya.

Jangan-jangan kita sendiri yang pola komunikasi dalam keluarganya masih harus dibenahi. Jangan-jangan kita sendiri yang tidak mengenal anak-anak yang lahir dari rahim kita. Segala ketakutan ini berakar dari sesuatu yang kita tidak paham. Maka mencobalah untuk paham.

If you know your own children and talk to them every day, there is nothing you have to be afraid of.

Hanya satu saja yang perlu kita pikirkan.

Anak-anak itu cetak-biru-nya kita. Copy paste-nya kita.

Jadi, jika terjadi sesuatu. Benar atau salah. Itu adalah mengenai kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun