Anak saya empat semuanya. Dua ada di tingkat SMA, satu bersekolah di MI, dan satu di TK. Kami sekolahkan mereka semua di sekolah swasta Islam, dengan harapan akan mendapat nilai plus berupa agama dan penanaman nilai. Selepas MTs, kami mendaftarkan mereka ke sekolah negeri, dengan harapan mereka akan punya wawasan lebih luas, memiliki teman-teman yang berbeda agama (ini penting sekali) dan menikmati nuansa yang berbeda.
Rumah kami di KBB (Kabupaten Bandung Barat). Tahun 2016, anak sulung kami ingin sekali bersekolah di SMA 2 Bandung, mengikuti jejak ayahnya. Apa daya hanya ada 10 % kuota untuk luar kota. NEM-nya termasuk bagus, namun untuk bersaing ke sana tentu sulit, sebab saat itu sudah ada sistem pengurangan nilai NEM, dll. Akhirnya ia mendaftar di sekolah negeri di Cimahi, ini pun sebetulnya sudah di luar kota. Untungnya diterima, padahal sudah siap mendaftar ke sekolah swasta (kembali) atau mendaftar ke SMA negeri di wilayah kami sendiri. Pengalaman serupa dialami oleh adiknya, si nomor 2.
Kabarnya, passing grade SMA di Cimahi meningkat tajam tahun ini, imbas dari sistem zonasi kota Bandung. Ini kabar bagus, tentu. Semoga sekolah-sekolah lain di kota-kota kecil yang biasanya 'ga dianggap' juga mulai dilirik oleh para orang tua.
Bagaimana dengan sekolah-sekolah berbasis madrasah di bawah Kemenag? Ini sebetulnya sangat bisa menjadi alternatif. Sebab madrasah tidak dikenai aturan zonasi. Pondok pesantren juga tidak. Orang tua muslim mungkin perlu memikirkan ini, sehingga tidak melulu mengacu ke sekolah favorit negeri (SMA/SMK).
"Tapi kan sekolah swasta mahal!"
Carilah, sekolah swasta yang tidak mahal. Hari ini, Ridwan Kamil selaku Wali Kota Bandung mengumumkan bahwa masyarakat tidak mampu akan dibantu pembiayaannya ke sekolah swasta asal melampirkan SKTM (bukan yang bodong).
Golongan paling menderita, mungkin menimpa orang tua kelas menengah; punya SKTM ga mungkin, membayar spp mahal di sekolah swasta elit, tidak bisa. Maka, jalan satu-satunya memang ikhlas untuk menyekolahkan anak ke sekolah yang biasa-biasa saja.
Saya tahu, ini menyakitkan. Sebab sebagai orang tua, saya pun ingin anak saya menginginkan pendidikan nomor satu, mendapat kesempatan jauh lebih besar dari yang dulu saya dapatkan. Namun di atas segalanya, ada aturan yang harus ditaati.
Ada mindset yang masih diubah, ada anak-anak yang masih bisa dididik dari sekarang, diberi pengarahan dan pengertian. Tentu ini mesti dilakukan terus menerus, bukan sesuatu yang gampang. Tak segampang pindah rumah dan ganti kartu keluarga.
Namun bukan sesuatu yang tak mungkin.
Maka, pada para orang tua yang bersiap untuk bertarung pada PPDB tahun depan (termasuk saya juga), mari persiapkan dari sekarang. Belajarlah dari pelaksanaan PPDB tahun ini. Teruslah semangati anak untuk belajar, mau ke sekolah manapun ia berakhir nanti, sebab ada proses yang harus dinikmati.