Terkadang seorang penulis, karena ide yang membeludak, kemudian menulis membabi buta. Tanpa memikirkan nasib pembaca, ia sematkan semua kata yang ia tahu, dengan prinsip "asal nyambung".
Tidak tahu dia, jika pembaca bisa sangat mual jika membaca tulisan yang tidak cantik.
Seperti saya. Saya selalu mengerenyit setiap kali membaca sebuah tulisan yang menurut saya kurang bermutu. Sebab membaca tulisan yang acak kadut itu bikin sakit mata dan mengakibatkan gangguan hati dan pencernaan.
Bikin ngedumel,
"Ini apa sih maksudnya? Trus ini apa? Ya elaaah ... kok giniiii ..." dan seterusnya, yang ditutup dengan ending, tulisan tersebut dibanting ke tempat sampah. Selesai.
Terakhir, yang susah itu adalah  menghindari kesan "menggurui" dalam tulisan.
Digurui dan atau diceramahi itu kadang enak kadang tidak. Bergantung pada cara/gaya yang menggurui dan menceramahi. Pun begitu, dalam bahasa tulisan, sebaiknya ini dihindari. Dalam Bahasa lisan, kesan 'menggurui' bisa tertutupi dengan gesture dan mimik wajah. Dalam bahasa tulisan, hanya kata-kata tanpa suara yang berkejaran supaya membuat kesan dalam hati pembaca. Maka, janganlah menggurui dalam menulis. Sebab pembaca pasti lebih suka diajak diskusi, daripada digurui.
Bagaimana caranya?
Menulislah dari hati. Tanpa ingin dinilai baik, tanpa ingin dipuji dan disanjung. Mengalir saja. Persoalan pujian pembaca, itu akan datang dengan sendirinya. Maksimalkan dulu tulisan, sisanya belakangan.
Beres menulis, jangan malas untuk memeriksa. Semua tata bahasa, ejaan dan diksi. Posisikan diri kita sebagai pembaca, sehingga nanti kita akan tahu sendiri, bagian mana yang harus dibuang, mana yang harus disimpan, mana yang ditambahkan.
Membacalah, kemudian menulis.