Sore kemarin saya sudah siap mantengin layar televisi, seperti juga (nampaknya) jutaan orang Indonesia lainnya. Ya, kemarin saya ikut deg-degan menantikan siapa-siapa saja penduduk negeri ini yang terpilih dilirik Jokowi untuk menjalankan tugas mereka sebagai menteri. Beres acara, beranda Facebook saya dipenuhi banyak status mengenai para menteri, kementerian yang baru sampai ke bisik-bisik mengapa tidak ada lagi departemen ekonomi kreatif. Belakangan kabarnya si ekonomi kreatif ini akan dilebur ke salah satu kementerian.
Saya bersorak karena Anies Baswedan yang saya kagumi akhirnya jadi juga menjadi Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah. Keberadaan Puan Maharani yang menjadi menteri Pengembangan Manusia dan Kebudayaan (apa pula itu?) nyaris tidak saya pedulikan, karena saya cukup optimis dengan pilihan Jokowi yang nampaknya mengunggulkan lebih banyak kaum profesional dibanding kaum partai.
Diantara sekian nama yang kemudian menjadi perbincangan hangat, mencuatlah seorang Susi Pudjiastuti yang nampaknya sukses akan menjadi menteri pertama yang menuai kontroversi. Beredar berita bagaimana Susi pasca pengumuman kabinet, kemudian diwawancara wartawan, ia melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya, dan merokok. Tak cukup sampai di situ, beredar pula berita mengenai Susi yang hanya lulusan SMP, bertato dan bersuamikan orang asing.
Saya termasuk yang kaget sekaligus senang ketika nama Susi muncul. Bertahun lalu, saya pernah membaca artikel mengenai seorang perempuan hebat dari Pangandaran yang kemudian sukses membesarkan sebuah maskapai penerbangan bernama Susi Air. Susi merasa sedih karena nelayan Pangandaran tidak mampu memasarkan hasil tangkapan mereka ke kota karena terbatasnya transportasi, padahal Pangandaran berlimpah dengan kekayaan lautnya. Berbekal uang pinjaman, Susi membeli sebuah pesawat Cessna Caravan seharga 20 milyar, yang ia gunakan untuk mengangkut lobster dan ikan segar ke Amerika dan Jepang. Sebelumnya Susi pun sukses memajukan perekonomian daerah dengan mendirikan pabrik pengolahan ikan dengan nama Susi Brand.
Saat peristiwa tsunami di Aceh tahun 2004, pesawat Cessna milik Susi termasuk pesawat pertama yang mampu mendarat untuk mengirimkan bantuan pada para korban. Begitupun saat Pangandaran diguncang gempa, pesawat Susi digunakan untuk mengangkut para korban yang membutuhkan bantuan medis. Susi memiliki tiga anak dan bersuamikan seorang bule, yang kabarnya adalah salah satu pilot di armada miliknya.
Jadi, kembali ke masalah kontroversi tadi, saya juga sempat tercengang ketika membaca berita betapa cueknya Susi merokok di depan media. Saya langsung berpikir, ah Si Ibu belum biasa jadi public figure, yang kita tahu setiap sikap dan omongannya bisa jadi bumerang jika tidak hati-hati. Tahu sendiri Anda, bagaimana kelakuan media itu. Jangankan kelakuan merokok secara vulgar, lah segala ekspresi wajah aja dengan sok tahunya bisa diterjemahkan.
Masalah Susi merokok, itu bukan urusan saya. Di luar Susi, jutaan orang merokok, baik laki-laki maupun perempuan. Kita memang suka menerapkan standar ganda, lelaki merokok wajar, kalau perempuan merokok, ih kok merokok sih, kayak cewek ga bener aja. Padahal mau laki mau perempuan, kalo merokok, ya sama merugikan. Dan kalau Anda berkesempatan main-main ke kampung, Anda akan temui banyak sekali nenek-nenek merokok. Semuanya nenek-nenek ga bener dong?
Saya juga tidak menyetujui merokok. Semua orang yang mau berpikir pasti setuju merokok itu ga baik, apalagi untuk perempuan, yang notabene akan mengandung dan melahirkan anak. Tapi soal merokok, itu urusan masing-masing. Memangnya kalau Anda muslimah dan belum berjilbab, trus saya bisa bilang "Eh masuk neraka loh, ga pake jilbab". Bisa saja saya bilang begitu, tapi itu tidak bijak.
Soal pendidikan yang cuma tamatan SMP (Susi berhenti sekolah di bangku SMA), juga bukan poin penting, setidaknya bagi saya. Yah memang susah sih, di Indonesia ini apa-apa liat gelar. Padahal di Kementerian pendidikan aja saya yakin banyak orang yang punya gelar berderet-deret tapi sampai hari ini urusan kurikulum sekolah masih saja jatuh bangun, lebih banyak merugikan peserta didik dan guru, ketimbang menguntungkan. Beberapa orang mengkhawatirkan, ada contoh buruk yang diberikan Susi kepada generasi muda; soal pendidikan rendah, merokok dan bertato.
Gampang atuh, yang mesti kita tanamkan pada generasi muda bukan soal sekolah tapi proses belajar. Yang tidak boleh berhenti adalah belajar, bukan sekolah. Belajar dan sekolah adalah dua hal yang berbeda. Sekolah merupakan institusi formal, butuh bangunan, butuh kurikulum, butuh fasilitas. Belajar tidak butuh apa-apa, hanya butuh kemauan, karena guru bisa didapat dari mana saja, media belajar bisa dari mana saja. Saya pendukung gerakan sekolah tinggi-tinggi, tentu saja. Jika punya kesempatan, sekolah tinggi wajib hukumnya, karena hanya dengan sekolah, anak akan belajar membentuk pola pikirnya. Ada banyak pengalaman yang takkan anak peroleh jika ia tidak sekolah. Namun, tekankan pula pada anak bahwa jika sesuatu terjadi dan sekolah terhenti, itu bukanlah akhir dunia. Karena ada banyak hal juga yang alam ajarkan pada kita, dan itu tidak kita peroleh dari bangku sekolah.
Lanjuuut ...
Soal merokok dan bertato, bijaklah pada anak Anda. Katakan saja itu memang bukan contoh yang baik, tapi kita harus selalu melihat kebaikan (sekecil apapun itu) dari diri seseorang. Anak memang bersifat meniru, tapi orang terdekat yang akan ia tiru bukan Ibu Menteri yang baru pertamakali ia lihat di TV, melainkan Anda sebagai orangtuanya. Jika Anda sudah merasa cukup Pede dengan diri Anda sebagai suri tauladan anak, don't worry be happy atuh. Ingat, anak itu refleksi orangtuanya, Anda lah yang bertanggungjawab sebagai orangtuanya. Baru  kemudian gurunya, lingkungannya, teman-temannya dan lain sebagainya.
Well, saya bukan pendukung siapapun. Setidaknya, saya selalu berusaha menjaga kenetralan perasaan pada siapapun. Karena pengalaman membuktikan, pengharapan yang terlalu tinggi pada manusia biasanya hanya akan berujung pada sakit hati (jika tidak terbukti). Saya hanya senang karena komposisi kabinet Jokowi termasuk menjanjikan, setidaknya di mata saya, seorang manusia biasa, yang lebih banyak dosanya dibanding karyanya "da aku mah apa atuh".
Sok lah, doakan saja supaya mereka bisa bekerja dengan hebat dan cerdas. Kan kita mah sudah punya tugas kan dari dulu juga? Tugasnya bagian komentar dan kritik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H