Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Belajar dari Tukang Sate dan Trio Macan

30 Oktober 2014   07:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:12 2083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MA (24 tahun) seorang tukang sate (atau tukang tusuk sate, sebagian berita menyebut) menjadi trending topic di twitter hari ini karena keisengan yang pernah  dilakukannya, yang menyebabkan ia ditangkap polisi pada 23 Oktober 2014 lalu. Dengan menggunakan tagar #SaveTukangSate, para tweeps (sebutan bagi pengguna twitter) menyatakan dukungannya agar MA segera dibebaskan.

MA dilaporkan oleh kuasa hukum PDIP karena dianggap telah melakukan penghinaan bagi Jokowi pada saat pilpres kemarin. MA mengunggah gambar dua insan yang sedang berhubungan badan dan mengganti wajah keduanya dengan wajah Jokowi dan Megawati Soekarnoputri. Berbagai reaksi kemudian bermunculan, dari yang menganggap MA memang patut ditahan atas kelakuan minusnya sampai yang menganggap tindakan penahanan ini sebagai sesuatu yang lebay.

Belum pernah negeri ini sedemikian heboh dan gonjang-ganjing sejak pemilihan presiden kemarin. Tentu Anda semua masih ingat betapa hiruk pikuknya hampir semua orang ikut mengompori, mengomentari, mendukung, tidak mendukung sampai beradu argumen demi membela pilihannya masing-masing. Media sosial yang memang sudah menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki andil yang besar terhadap fenomena ini. Saya sendiri sudah lelah menghitung berapa banyak status, komentar maupun gambar dan foto yang semuanya berkaitan dengan pilpres. Anehnya, pilpres sudah selesai, wara wiri status dan komentar masih berlangsung, meski dengan topik yang berbeda namun "rasa yang sama"; mengkritisi (katanya) pemerintahan baru. Pihak yang mendukung pemerintahan yang baru juga sama-sama belum bisa move on dari luka lama, begitu terus setiap hari. Sungguh kumpulan orang-orang pemarah yang saya curiga sebenarnya sedang berkeluh kesah tentang diri mereka sendiri, dalam bingkai demokrasi.

Banyak rekan mengaku terpaksa harus memutuskan pertemanan dengan banyak orang saat kisruh pilpres di sosial media. Saya juga mengalaminya. Malas rasanya setiap online mendapati kalimat-kalimat kemarahan, cacian, makian yang membuat hati jadi tak nyaman. Berbagai tautan berita dan foto menghiasi beranda akun kita setiap hari, dari yang bernada lucu sampai yang membuat mual. Tak terbayang ada begitu banyak manusia yang dengan entengnya berbuat begitu, dengan alasan apapun.

MA sepertinya salah satu dari mereka. Menurut pengakuannya pada polisi, ia hanya meng-copy gambar tersebut dari internet dan mengunggahnya di akunnya sendiri. Saya yakin, meski belum bertemu langsung, MA bukan jenis pemuda nyinyir yang menghabiskan 24 jam harinya untuk mem-bully orang lain di sosial media. Dia hanyalah korban. Korban kegagapan penduduk negeri ini atas teknologi. Harus diakui, masih banyak diantara kita yang merasa keren ketika berani memuat atau memposting sesuatu yang kontroversi. Ada rasa kebanggaan ketika postingan kita dikomen sekian ratus orang, diacungi jempol pula. Tanpa kita peduli dengan apa yang kita posting, urusan baik atau buruk, itu belakangan. Kita masih gagap dengan kecanggihan teknologi yang melenakan. Lupa kita bahwa awalnya Mark Zuckerberg menciptakan Facebook karena ingin membuat semacam buku tahunan yang memungkinkan para lulusan Harvard (tempat ia berkuliah) untuk tetap saling berkomunikasi. Itulah gunanya sosial media, untuk mendekatkan, untuk silaturahim, saling bertukar informasi dan ilmu.

MA hanyalah satu dari sekian orang di negeri ini yang mungkin merasa enteng ketika memposting sesuatu di akun mereka tanpa sadar akan bahayanya. Mereka mungkin merasa invisible di dunia maya, tidak akan tertangkap karena dunia maya mampu menyamarkan apapun yang ingin kita samarkan. Sayangnya, mereka tidak bisa lagi berpikir seperti itu, karena memang ada pihak yang dirugikan, Bagaimana kalau misalnya foto yang diunggah itu adalah ayah mereka? ibu mereka? saudara atau anak mereka? Maka wajar saja menurut saya jika kemudian MA dilaporkan dan ditahan. Ini penting, supaya jadi pembelajaran bagi semua orang agar lebih berhati-hati dan bijak.

Meski begitu, saya termasuk orang yang mendukung agar MA dibebaskan. Cara satu-satunya adalah bila kuasa hukum PDIP mencabut laporannya. Mengapa MA lebih baik dibebaskan? Anggaplah bahwa MA adalah contoh hukuman bagi semua orang yang selama ini meremehkan penghinaan dan celaan yang mereka lakukan, tapi cukup sampai situ saja. MA hanyalah seorang tukang sate (tanpa bermaksud merendahkan), saya tidak yakin ia sebenarnya memahami apa yang sudah ia lakukan. MA bukan seorang Jonru yang dengan lihainya bermain kata sehingga celaannya bisa "terbungkus rapi". MA juga bukan Trio Macan, admin akun twitter yang followernya sudah seperti Syahrini saking banyaknya. MA saya duga hanyalah pemuda biasa yang ikut-ikutan di saat yang tidak tepat, melakukan hal yang juga tidak tepat.Jika semua orang yang mencela kandidat presiden atau presiden harus ditangkap,  saya khawatir saya akan kehilangan sebagian teman-teman saya yang memilih masih setia untuk tidak (baca = belum) move on.

Pun begitu, ini sebaiknya jadi pelajaran penting bagi kita semua. Mulutmu harimaumu. Kau adalah yang kau ucapkan. Janganlah sekali-sekali gampang terseret arus untuk ikut-ikutan mendukung ini itu, termasuk kemudian mencela ini dan itu. Macam sudah benar saja hidup kita ini. Segala sesuatu mesti dikomentari. Semua seolah-olah menjadi ahli politik dadakan yang rela ngomong sampai berbusa-busa padahal tidak dibayar dan takkan pernah diundang ke acara Mata Najwa. Diundang jadi sekedar penggembira Dahsyat saja engga :p (Ini bercanda loooh)

Lihatlah sepak terjang si trio macan (akun twitter maksud saya) yang juga akhirnya mesti masuk bui. Saya masih ingat begitu banyaknya orang yang menjadi follower trio macan di twitter hanya karena ia rajin berkicau mencela dan memaki. Ternyata admin trio macan (kabarnya ada tiga atau empat orang) tidak lebih dari sekedar penipu yang mencoba memeras salah satu BUMN. What a shame. Tidak terbayang saya jika pernah menjadi salah satu pendukungnya. Malu pasti.

Sudah terlalu lama kita semua pandai menjelekkan orang lain. Tak hanya seorang menteri perempuan bertato dan hanya lulusan SMP yang sempat kita cela, seorang ustadz santun pun habis kita bully hanya karena ia mengutarakan pendapatnya yang menurut kita tidak oke. Sungguh bangsa ini sudah terlalu terbuai dengan tayangan sinetron yang merusak otak setiap hari. Membuat orang gampang berprasangka, gampang mengecilkan orang lain, gampang menilai, gampang ngomong, gampangan.

Kasihanilah teman-teman kita yang sebenarnya sudah muak namun tak juga mampu menghapus kita dari pertemanan karena ada rasa segan. Kembalilah ke masa ketika sosial media dijadikan tempat curhat masal, sharing ilmu atau sesuatu yang menarik serta foto selfie :D

Bagaimanapun, mengatakan sesuatu yang positif lebih enak dan nyaman. Jangan bangga karena kita berhasil memengaruhi semua orang untuk ikut membenci pihak yang kita benci. Bangga lah karena kita setiap harinya belajar untuk menjadi tambah dewasa sejalan dengan pertambahan umur kita yang makin tua.

Salam.

#StopMenghinaOrangDiSosialMedia

#SaveTukangSate

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun