Regenerasi petani yang menjadi sebuah tantangan laten bagi sektor pertanian kita, seolah terdengar bisa diatasi. Secercah harapan itu muncul dari pernyataan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman beberapa waktu lalu yang menyatakan bahwa sudah ada sekitar 5000 orang milenial yang jadi petani.
Menurut keterangan Mentan Amran Sulaiman, anak-anak muda itu bergabung dalam gerakan petani milenial yang bertujuan memajukan sektor pertanian Indonesia. Dengan angka sebesar itu, Mentan mengklaim target satu juta petani milenial akan bisa tercapai pada akhir tahun ini.Â
Membuat anak muda tertarik pada ranah pertanian memang bukan perkara mudah. Apalagi selama ini dunia pertanian terkesan kotor, tidak bergengsi, dan harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan uang tidak seberapa dibandingkan dengan beberapa profesi atau bisnis yang lain. Anggapan-anggapan itu tadi menjadi penyebab banyak yang menganggap profesi tani sebelah mata.
Untuk menarik minat kaum muda, Kementan mengandalkan penetrasi sentuhan teknologi di pertanian. Mulai dari mesin traktor, penggilingan padi, alat pemanen hingga persoalan bibit juga tidak luput dari sentuhan teknologi.
Tapi yang harus diingat adalah, sentuhan teknologi saja tidak akan cukup untuk menjamin keterlibatan anak muda di pertanian. Teknologi bisa dianggap sebagai gimmick saja, karena sifatnya yang pelengkap.Â
Fundamental yang seharusnya dibenahi untuk menarik minat orang bertani adalah jaminan kesejahteraan. Melenyapkan anggapan pertanian yang lekat dengan kemiskinan adalah pekerjaan rumah utama yang harus diselesaikan.
Apalagi beberapa indikator makro ekonomi menunjukkan bahwa kemiskinan di kalangan pelaku tani dan pedesaan, masih terus terjadi.Â
Sebagai contoh, awal Maret 2019 kemarin BPS merilis data Nilai Tukar Petani (NTP) periode Februari 2019. Sebagai informasi, NTP adalah angka perbandingan antar Indeks Harga yang Diterima Petani (IT), dengan Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB) dan dinyatakan dalam persentase. Bila angka NTP lebih besar dari 100, maka kondisi petani sedang mengalami surplus. Sedangkan bila kurang dari 100 artinya petani mengalami defisit.
Salah satu kegunaan NTP adalah untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Semakin besar surplusnya, maka kesejahteraan petani juga meningkat. Sayangnya, gabungan secara keseluruhan NTP periode Februari yang telah dibacakan oleh BPS turun sebesar 0,37% dibanding bulan sebelumnya. Ini mengindikasikan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan pada petani.
Pada bulan berikutnya, yakni Maret 2019, NTP kembali turun. Data yang dilansir BPS awal April kemarin menyatakan bahwa NTP turun sebesar 0,21 persen menjadi 102,73 pada Maret 2019 jika dibandingkan dengan Februari.