Belum banyak orang tahu peristiwa bersejarah yang terjadi di Pangkalan Brandan yang kemudian dikenal dengan istilah "Lautan Api". Peristiwa yang terjadi pada 13 Agustus 1947 ini hampir mirip dengan kejadian "Bandung Lautan Api" yang mungkin lebih dikenal masyarakat.
Pada bulan Kemerdekaan Indonesia ini, ada baiknya kita memutar kembali waktu, mengenang masa lalu ketika seluruh rakyat berjuang mempertaruhkan nyawa untuk melawan penjajahan. Jasa-jasa mereka akan selalu terkenang dan terpatri dalam hati kita, para penerus bangsa.
Ketika itu, dalam rangka mempertahankan kemerdekaan, pasukan laskar membumihanguskan Kota Kembang agar tak bisa dikuasai oleh musuh. Begitupun yang terjadi di Pangkalan Brandan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Wilayah itu merupakan salah satu sumber kekayaan alam yang penting sejak abad ke-19, yakni sebagai sumber ladang minyak tertua di Nusantara. Agresi militer Belanda memang ditargetkan untuk menyerang objek-objek vital untuk dikuasai kembali.
Namun semangat juang rakyat Langkat tak surut untuk mempertahankan Langkat dari perebutan kekuasaan oleh Belanda. Pertempuran berlangsung sengit antara pasukan penjajah melawan militer dan laskar rakyat.
Agresi militer Belanda
Peristiwa bermula pada 22 Juli 1947, ketika Belanda mendarat di daerah Stabat dengan persenjataan lengkap dan pasukan pansernya. Salah satu tujuan Belanda mendarat di Langkat ialah menguasai kembali daerah Pangkalan Brandan, yang merupakan sumber minyak bumi.
Hanya dalam waktu singkat, Belanda berhasil menguasai Stabat dan kemudian membangun benteng pertahanan serta terus merangsek hingga ke daerah Hinai dan Secanggang. Tidak berhenti di situ, Belanda juga terus melancarkan aksinya ke daerah Langkat Hulu dan Langkat Hilir.
Untuk menghadapi ancaman tersebut, Komando Langkat Area pun dibentuk yang merupakan penyatuan militer dan laskar rakyat guna menghimpun kekuatan yang lebih besar dan kuat dalam menghadapi pasukan Belanda.
Hal tersebut dicatat oleh Oka Abdul Hamid dalam tulisan "Sejarah Langkat Mendai Tuah Berseri" yang terbit tahun 2011. Dia menulis bahwa demi membatasi gerakan Belanda, pada 24 Juli 1947 para pemuda, laskar, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) membentuk komando Langkat Area di Tanjung Pura di bawah Komando Mayor Wiji Alfisah.
Perlawan pun segera dilancarkan hingga Komando Langkat Area berhasil menguasai kembali kota Stabat, meskipun hanya bertahan selama 6 jam. Pada hari yang sama di wilayah lain, tepatnya di Binjai terjadi pertempuran yang tak seimbang karena laskar rakyat kalah jumlah.
Akibatnya, para tentara terpaksa mundur dan meninggalkan kota Binjai menuju ke arah Bekiung. Belanda yang mengetahui tempat pelarian tentara pun tak berdiam diri. Satu hari kemudian, pada 25 Juli 1947, mereka bergerak ke arah Bekiung, menyerang tentara dengan persenjataan lengkap.
Tentara yang tak memiliki persiapan apa-apa untuk menghadapi serangan penjajah pun terkepung. Mereka ditembaki tanpa ampun hingga jiwa-jiwa berguguran. Belanda terus bergerak berusaha merebut seluruh wilayah.
Aksi membumi-hanguskan kota
Menurut sejarawan Irini Dewi Wanti dalam "Peristiwa Bumi Hangus Pangkalan Brandan", wilayah-wilayah dari Kuala dan Tanjung Pura melakukan aksi bumi-hanguskan kota karena khawatir kota akan jatuh ke tangan Belanda dan menjadi kantong-kantong musuh.
Kabar pun mulai tersiar bahwa Belanda bergerak ke arah Pangkalan Brandan. Oleh karena itu, pada 6 Agustus 1947 diadakan pertemuan darurat untuk menyatukan seluruh kekuatan di bawah satu komando, yakni Komando Langkat Area sebagai benteng terakhir yang menghalau Belanda memasuki Pangkalan Brandan dan Pangkalan Susu, dua tambang minyak yang jadi incaran mereka.
Namun demikian, komando tersebut kalah persenjataan. Mengingat Belanda akan datang dengan pasukan yang banyak dan melakukan serangan besar-besaran ke Pangkalan Brandan, akhirnya komando menitahkan sebuah perintah untuk membumi-hanguskan Pangkalan Brandan.Â
Gagasan tersebut mendapat dukungan dari organisasi politik, badan perjuangan, dan rakyat Teluk Haru, mengingat sumber minyak Pangkalan Brandan merupakan incaran utama Belanda.Â
Lalu pada 12 Agustus 1947 dikeluarkan lah seruan kepada rakyat untuk mengosongkan daerah Pangkalan Brandan sejauh radius tiga kilometer dengan menggunakan kereta api dan truk angkutan yang disediakan oleh pasukan tentara.Â
Akhirnya, tepat pada 13 Agustus 1947 pukul 03.00 pagi, saat orang-orang sedang tidur nyenyak, tambang minyak pun dibakar, yang dimulai dengan tangki-tangki raksasa, fondasi penyulingan minyak, bangunan kilang, dan gedung perusahaan tambang minyak.
Aksi pembakaran tersebut menghasilkan kepulan asap hitam yang membumbung tinggi hingga 5.000 kaki ke udara. Api mulai menjalar ke pelabuhan dan barak tentara hingga pagi hari.Â
Rentetan peluru Belanda masih terdengar dengan maksud untuk menghabisi para tentara. Namun demikian, usaha mereka untuk menguasai Pangkalan Brandan gagal total, karena tambang minyak ini sudah hancur dilalap si jago merah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI