Hari Masyarakat Adat Internasional atau International Day of the World's Indigenous Peoples yang diperingati pada 9 Agustus setiap tahunnya menjadi momentum bagi negara dan warga dunia untuk turut serta memperhatikan hak-hak masyarakat adat, yang kian menjadi penting di masa pandemi ini.
PBB mencatat, lebih dari 70% populasi dunia tinggal di negara-negara dengan ketimpangan pendapatan dan kekayaan yang meningkat, tak terkecuali masyarakat adat. Padahal, mereka juga sedang menghadapi tingkat kemiskinan yang tinggi dan kerugian sosial-ekonomi yang akut.Â
Tingkat ketimpangan yang tinggi tersebut umumnya berhubungan dengan ketidakstabilan kelembagaan, korupsi, krisis keuangan, meningkatnya kejahatan serta kurangnya akses terhadap keadilan, pendidikan, serta layanan kesehatan.
Khusus untuk layanan kesehatan, Indonesia agaknya perlu menggaris bawahinya sebagai pokok pekerjaan rumah yang wajib segera diselesaikan di masa pandemi Covid-19. Akses terbatas terhadap fasilitas kesehatan membuat kelompok masyarakat adat rentan terhadap potensi penularan Covid-19.
Ketahanan masyarakat adat hadapi Covid-19
Meskipun jauh dari akses kesehatan. Masyarakat adat memiliki ketahanan yang patut diacungi jempol. Mereka memiliki kearifan lokal yang dijaga turun temurun terkait respon terhadap pandemi.
Komunitas adat memiliki memori kolektif untuk menghadapi pagebluk yang pernah menyebar di masa leluhurnya. Pengetahuan ini pun diturunkan kepada para tokoh adat sehingga mereka bisa merespon pandemi Covid-19 dengan lebih baik.
Misalnya pada pandemi influenza di Hindia Belanda pada 1918. Kala itu suku adat di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, kehilangan sekitar 10% dari populasinya akibat penyakit menular ini.
Hingga kini, pengetahuan tersebut terus dirawat oleh pemuka adat Tana Toraja yang menamainya dengan raa'ba biang yang berarti pohon atau ilalang yang berjatuhan. Pengalaman ini pun menjadi bekal bagi masyarakat adat untuk menghadapi berbagai penyakit menular setelahnya.
Nyatanya, pengetahuan tersebut mampu menyelamatkan para penduduk di komunitas adat dari keganasan pandemi. Kegesitan masyarakat adat dalam merespon pandemi Covid-19 ini pun sepatutnya menjadi bahan renungan bersama.
Lihat saja masyarakat Baduy yang tak memiliki kasus positif Covid-19 sejak awal pandemi. Kondisi ini pun bukan disebabkan karena wilayah mereka yang berada di pedalaman, melainkan karena kesigapan para tokoh adat setempat.
Pada awal pandemi tahun 2020, Baduy segera menutup wilayahnya untuk orang luar dan meminta para warganya yang berada di luar untuk kembali ke desa. Masyarakat Baduy pun sempat dilarang untuk bepergian.Â
Para tokoh adat mempraktikkan karantina wilayah dengan sukses, terlebih masyarakatnya pun memiliki tingkat kepatuhan yang hampir absolut. Kebijakan ini pun menjadi kunci yang menangkal penularan Covid-19 masuk ke wilayah Baduy.
Tak hanya suku Baduy, menurut laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sejak awal komunitas adat di Indonesia memang telah mengantisipasi pandemi, seperti pembatasan keluar dan masuk wilayah serta ketahanan pangan.
Maka tak berlebihan jika menyebut bahwa ragam kearifan lokal bangsa Indonesia seyogyanya menjadi salah satu modal penting dalam mengatasi pandemi, yakni dari akar rumput. Apalagi di Tanah Air terdapat banyak komunitas adat.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mencatat, hingga tahun 2020 ada 2.061 komunitas adat yang sejumlah 531 komunitasnya ada di Pulau Jawa. Data ini juga menunjukkan bahwa terdapat 488 desa adat di Indonesia.
Kurangnya jangkauan vaksinasi Covid-19
Menurut AMAN, sebagian masyarakat adat tinggal di wilayah yang jauh dari jangkauan fasilitas kesehatan sehingga riwayat kesehatan mereka tidak sepenuhnya terpantau.
Hal tersebut bisa berujung pada masalah baru karena mereka juga memiliki hak untuk vaksinasi Covid-19. Vaksinasi menjadi penting sebab sebagian masyarakat adat juga hidup di kawasan wisata sehingga berpotensi bertemu banyak orang dari berbagai wilayah lain.
Akan tetapi, per 21 Juli 2021, catatan AMAN melaporkan dari total 20 juta anggotanya, baru sekitar 20.000 orang yang menerima vaksin tahap pertama. Angka ini baru mencapai sekitar 4,3% dari total 468.963 masyarakat adat anggota AMAN yang telah mendaftar program vaksinasi.
Oleh karena itu, program vaksinasi yang mampu menjangkau masyarakat adat perlu terus digenjot. Berbagai kendala harus segera diatasi, terutama persoalan KTP yang belum dimiliki oleh mayoritas masyarakat adat.
Selain masalah NIK KTP, Deputi I Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Eustobio Rero Renggi mengungkapkan bahwa vaksin untuk masyarakat adat tidak semudah masyarakat umum perkotaan, sebab kebanyakan dari mereka tidak pernah menyentuh akses kesehatan.
"Mereka belum bisa mengetahui kondisi tubuh mereka, screening ini harus diperketat oleh petugas vaksin kepada masyarakat adat," kata Eustobio.
Tak hanya itu, akses menuju tempat vaksinasi pun cukup jauh sehingga sulit bagi masyarakat adat untuk mendapatkan vaksin. Oleh sebab itu, Eustobio berharap pemerintah mau menjemput bola dengan mendatangi wilayah adat dan menggelar vaksinasi Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H