Mohon tunggu...
Irman Syah
Irman Syah Mohon Tunggu... -

Penyair Minangkabau, Esais, Aktor, Blogger dan Performer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilarang Melarang

5 September 2014   23:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:30 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Irman Syah


Gebalau komunikasi dan berita yang memunculkan beragam bunyi ini semakin membuat mata dan telinga masyarakat negeri kian mendelik dan mendenging. Apa sesungguhnya yang terjadi? Adakah rahasia yang mereka tutupi dalam usaha memunculkan sesuatu yang tak dimengerti. Wah, semakin banyak saja pertanyaan yang muncul dalam hati. Ada apa dengan negeri ini?

Kadang untuk mewujudkan keinginan saja begitu sulitnya karena benturan yang terjadi dalam suasana yang bermunculun seakan membatasi gerak dan ungkapan pada kenyataannya. Begitu banyak yang tak terduga. Berapa pejabat dipampangkan pula dengan tulisan, “Telah terbukti bersalah dan kemudian dijadikan tersangka.” Artinya, telah begitu banyak ketimpangan yang terjadi sebelumnya. Apa yang hendak dikata kalau kata itu telah berberita.

Semua terbuka bagi siapa saja. Semua bermunculan dalam bahasa keseharian kita. Semua terlihat dalam perih dan jenaka bagaikan tontonan sandiwara. Semua seakan-akan muncul dalam bentuk dan rupa rekayasa. Semua menjadikan kita terperangah di depan cermin dengan kenyataan bahwa negeri kian remuk bagai kerupuk. Siapa saja bisa mengecam siapa saja. siapa saja bisa menyebutkan ini dan itu seenaknya. Dan kita, menonton dan melihatnya dalam berita.

Wah, inilah negeri kita: Indonesia! Kiblat dunia yang sepertinya telah porak-poranda. Pertikaian telah menjadikan masyarakatnya tak begitu tau lagi jalan pulang karena persoalan telah menggejala. Berita dan pendapat pun berkejaran dalam bahasa media. Semua ini tercipta tanpa menoleh kepada apa yang sesungguhnya tepat dan sesungguhnya menjadi kebutuhan masyarakatnya. Begitu jauh jarak kebenaran yang satu dengan kebenaran lainnya.

Kalau sudah begini apa yang mesti disiasati? Bukankah kecintaan kita pada negeri ini amatlah berarti. Telah terpatri sekian lama. Setidaknya kenyamanan bagi diri adalah prioritas yang mesti, apalagi masa depan hidup manusia serta membayangkan nasib generasi nanti. Jangan risau, begitulah sesuara muncul dalam dada: bagaikan angin lalu yang menyegarkan diri sesaat, tapi secepat kilat pula berganti dengan keresahan yang sulit untuk diartikan. Terasa ada yang menggores dindng-dinding hati.

Ibarat cinta yang tak berlabuh, kegalauan menderu dalam dada. Keinginan untuk mencapainya jadi kian mengharu-biru dan memburu. Banyak yang tak tertafsirkan dalam sisi dan sudut tertentu. Kadang muncul sifat kekanak-kanakan, kadang emosi kian tak terbendung, kadang bisa saja menganiaya diri sendiri tanpa tau bahwa kita sendiri telah teraniaya. Begitulah kecintaan yang tak berhasil dimiliki bagi diri. Begitulah rasa yang kecamuk dalam hati, mimbias dalam hidup sehari-hari.

Di sini, di sawung kecil ini telah kita layarkan beragam keinginan. Telah kita patrikan cita-cita atas nama cinta. Membayangkan jalanan dengan lampu merahnya. Melihat anak-anak berlarian menangkap uang logam, mengisi perutnya dengan bakwan dan jajanan lain sekedar pengisi perut berminggu-mingu. Masih juga ada yang mengisap lem dan kadang berantam dengan sesama. Dan kita begitu setia membimbing dan mengajarnya di sekolah yang sederhana.

Ya, di Pinggir Kalimalang ini: kita layarkan terus bahasa budaya, kita ungkapkan rasa dan pikiran dengan cara yang sederhana. Kegiatan kesenian bermunculan dengan aktivitas yang berguna. Tak ada yang lain diinginkan selain membina dan berharap agar negeri ini tetap utuh menjadi Indonesia yang benar-benar bermakna. Melanjutkan cita-cita founding father, pemikir dan pendiri republic ini. Kebhinnekaan yang diidamkan tetap menjadi harapan sepanjang zaman.

Di sini, di Kalimalang ini, telah tegak berdiri negeri ‘Tatitayang’ dengan Sekolah Pinggir Kali. Menyemarakkan negeri kecil ini dengan penuh kasih-sayang melalui silaturrahmi batin semua lapisan masyarakat. Berbahasa pada dunia tentang kesenian, tentang satu-satunya bahasa kebudayaan. Menumbuhkan candu kebersamaan, membesarkan pohon kecintaan dan memupuknya dalam hidup keseharian. Semoga tumbuh dan bermekaranlah rasa cinta dan kemanusiaan dengan nilai kebangsaan yang diidamkan.

Dilarang melarang! Ya, inilah kekuatan. Sebuah sikap kreatif yang mengutuhkan kedewasaan. Karena padanya telah tersimpan makna yang tak terduga. Ditilik sebelah mata tentu sajakebebasan tak berbatas, seakan-akan kebablasan yang disenangaja. Tapi tidak, tujuan ungkapannya tak lain hanyalah: kalau semua sudah sama-sama mengerti, sama-sama paham, sama-sama senasib-sepenanggungan dalam cita-cita dan kecintaan maka larangan takkan lagi bermakna.

Di sinilah negeri ‘Tatitayang’, negeri kasih sayang yang dirindukan siapa saja. Mari kita sama menjaganya, merawat dan menumbuhkan Indonesia yang sesungguhnya dalam karya, dalam tingkah-laku, dalam cita-cita bersama berdasarkan impian pendiri bangsa dan nilai keagungan yang diwahyukan oleh Yang Mahakuasa. Salam Budaya: Mari berkarya!**

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun