Penyokong utama perekonomian pedesaan adalah pertanian. Profesi penduduk pedesaan didominasi oleh petani, sehingga pertanian dan pertumbuhan perekonomian pedesaan memiliki relevansi satu sama lain. Dari waktu ke waktu pertumbuhan pertanian menghadapi tantangan yang semakin besar; konversi kepemilikan lahan dari petani kepada mereka yang bukan petani serta menurunnya kesejahteraan petani pedesaan yang mengakibatkan pada penurunan jumlah petani diakibatkan banyaknya petani pedesaan yang memilih meninggalkan lahan pertanian mereka dan bermigrasi ke perkotaan. Pada tahun 2015-2016, total 1,8 juta petani yang meninggalkan sector pertanian dan menjadi penyusun masyarakat miskin kota, selain itu pengaruh luas lahan yang dimiliki petani berdampak pada tingkat pendapatan rumah tangga petani yang hanya Rp. 1.030.000, per bulan. Pendapatan ini tentunya lebih rendah dari Upah Minimum Provinsi (UMP) terendah di Indonesia.[1]
Salah satu kunci sukses pencapaian Sustainable Development terletak pada kinerja sektor pertanian. implikasi logis dari kodisi tersebut adalah; Pertama, mayoritas penduduk miskin berada di negara-negara berkembang yang nafkah utamanya bergantung pada sektor pertanian. Kedua, adanya keterkaitan yang sangat erat antara kemiskinan dan kerawanan pangan; sedangkan penghasil pangan adalah sektor pertanian. Ketiga, sektor pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim sehingga masa depan ketahanan pangan sangat ditentukan keberhasilan sektor pertanian dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.[2]
Eradikasi kemiskinan dan kelaparan menjadi inti tujuan pencapaian dan target MDGs. Jika tujuan ini tercapai, maka pencapaian tujuan-tujuan yang lainnya akan mengikuti, mengingat kemiskinan sangat multidimensional dan memiliki afiliasi dengan sector-sektor yang lain. Program MDGs (Millenium Development Goals) dan semua tujuan-tujuan pembangunan yang tertuang didalamnya yang telah berakhir tahun 2015 lalu telah mampu meningkatkan pembangunan nasional Indonesia, bukan berarti dengan pencapaian tersebut kita terlena dan terbuai. kontrol harus tetap dilakukan mengingat  realita empirik jumlah penduduk miskin sangat besar sehingga tidak mungkin dapat ditanggulangi dalam jangka pendek dan menengah.
Implikasi dari anomali iklim terhadap ketahanan pangan sebagai salah satu pengentas kemiskinan juga perlu diwaspadai karena pertumbuhan komoditas pertanian sangat rentan terhadap diversitas iklim yang sangat ekstrim. Anomali iklim menyebabkan fluktuatifnya komoditas pertanian yang dihasilkan, secara tidak langsung ini juga akan menyebabkan harga komoditas pertanian juga semakin melonjak. Pada akhirnya, menyebabkan penurunan angka kemiskinan menjadi lebih lambat karena kelompok miskin yang semulanya terangkat dari garis kemiskinan berpotensi untuk kembali menjadi miskin. Oleh karena itu masalah kemiskinan ini masih tetap perlu diperhatikan secara serius karena tujuan pembangunan Indonesia adalah pembangunan manusia seutuhnya.
Pembangunan perekonomian pedesaan bukan sekedar membangun pertanian, melainkan lebih menitikberatkan pada upaya pembangunan pertanian yang lebih sehat. Pertanian yang sehat menurut Schutjer mampu menumbuhkan output dan pendapatan local masyarakat, mampu menciptakan lapangan pekerjaan, serta mampu meningkatkan distribusi pendapatan, peningkatan kualitas hidup dan pemberdayaan masyarakat[3]. Oleh karena itu pembangunan perekonomian pedesaan diarahkan pada perbaikan tingkat kehidupan pedesaan secara progresif tanpa mengecualikan semua dimensi dan tanpa memprioritaskan pertanian.
Pertanian memiliki peran strategis sepanjang kehidupan manusia. di Negara maju sekalipun, pertanian ditempatkan pada posisi sebagai pembangunan nasional. pakar pembangunan ekonomi meyakini bahwa pertanian tetap menjadi penyedia sumber utama bahan pangan dan bahan baku industry, penyedia lapangan pekerjaan dan kesempatan berusaha, penghasil devisa Negara dan sumber permintan bagi produk-produk industry dan jasa dalam negeri.[4] Pertanian akan berhasil mengurangi setengah jumlah penduduk miskin jika sector pertanian dan pedesaan tidak diabaikan.
Disisi lain turunnya angka kemiskinan tidak searah dengan turunnya ketimpangan pendapatan. Berbagai hasil kajian mengindikasikan bahwa turunnya angka kemiskinan justru diikuti dengan meningkatnya ketimpangan. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan pertumbuhan pendapatan kelompok pendapatan menengah ke atas jauh lebih tinggi daripada naiknya pendapatan kelompok pendapatan menengah ke bawah maupun penduduk miskin.
Bagi Indonesia, fakta menunjukkan bahwa peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional sangat strategis.[5] Setidaknya ada empat agumen mendasar dibalik pernyataan tersebut. Pertama, perannya sebagai sektor penyedia pangan bangsa. Kedua, perannya sebagai penyedia lapangan kerja karena meskipun kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan pendapatan nasional (PDB) terus menurun seiring dengan makin berkembangnya sektor industri, jasa, dan manufaktur; tetapi sektor ini masih tetap merupakan penyerap lapangan kerja terbesarÂ
Ketiga, pada masa krisis ekonomi tahun 1998-2003 menunjukkan bahwa sektor pertanian adalah yang paling mampu bertahan dan bahkan mampu berperan sebagai penyelamat ekonomi nasional dari kontraksi ekonomi yang dahsyat. Keempat, oleh karena proporsi jumlah penduduk miskin di pedesaan lebih banyak dan sebagian besar dari pedesaan tersebut struktur ekonomi dan kesempatan kerjanya didominasi pertanian maka peranan sektor pertanian sebagai gantungan nafkah mayoritas penduduk pedesaan dan dalam pengentasan kemiskinan menjadi sangat penting.
[1] Harian Kompas, 26 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H