Kalau ban mobil kita kempes sehingga jalannya tidak laju, maka yang harus diganti adalah bannya. Bukan sopirnya.
Ini adalah analogi sederhana bagi kondisi pertanian di Indonesia.
3 tahun lalu, Presiden Joko Widodo pernah mencita-citakan swasembada pangan. Tapi sampai 4 tahun pemerintahannya, cita-cita itu sepertinya tidak pernah kesampaian.Â
Kalau memang cita-cita swasembada itu tidak tercapai, maka bukan Presiden Joko Widodo yang harus diganti. Karena bukan cita-citanya yang salah, atau si empunya cita-cita yang salah.Â
Menteri Pertanian sebagai pembantu Presiden yang menangani bidang pertanian, adalah orang yang paling bersalah di bidang ini. Ia sudah mendapat mandat untuk mengembangkan pertanian di dalam negeri. Anggaran trilyunan sudah dikucurkan, bahkan di tahun ini Rp 23 trilyun lebih diberikan kepada Kementerian yang dipimpin Amran Sulaiman.Â
Tapi kenyataannya, hasilnya cuma Asal Bapak Senang atau ABS.
Lihat saja, data produksi pertanian yang disajikan Amran, ternyata jauh berbeda dengan yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik. Misalnya pada komoditas gabah kering giling (GKG) tahun 2018, yang versi Kementan mencapai 80 juta ton. Padahal menurut BPS 56,5 juta ton.
Lalu produksi beras, yang diklaim oleh Menteri Pertanian mencapai 46,5 juta ton. Tapi menurut BPS 32,42 juta ton.Â
Versi Mentan Amran Sulaiman, surplus beras kita 13,03 juta ton. Sedangkan menurut BPS hanya 2,85 juta ton. Terlihat bahwa Amran menggelembungkan angka-angka itu dengan tidak keruan.Â
Jangan sampai karena kelakuan Menteri Pertanian menyajikan data-data salah bin bodong tadi, Presiden Joko Widodo yang punya cita-cita mulia jadi kena getahnya.
Swasembada harus terus kita kejar. Tapi sepertinya Amran bukan orang yang cocok untuk mewujudkan cita-cita swasembada pangan tersebut. Sekarang kita tinggal menunggu, kapan Menteri Amran Sulaiman dijadikan Mantan Mentan oleh Presiden. Semoga.