Beberapa waktu lalu saat scrolling di media sosial, saya tergelitik oleh postingan salah satu teman yang mengeluhkan kepadatan dan antrian panjang di salah satu mall besar di kota Yogyakarta. Dengan gaya sarkas dia menuturkan: "Perekonomian rakyat Indonesia nyatanya sedang baik-baik saja kok, terbukti parkiran mall penuh, antrian makan di resto mengular, keluarga dan muda-mudi tampak hyped membanjiri mall untuk "healing".
Pernyataan teman saya itu mungkin ada benarnya atau ia sebenarnya juga tidak terlalu yakin dan sedang bertanya-tanya, apakah ramainya mall dan pusat-pusat perbelanjaan merupakan salah satu indikasi akurat untuk mengukur kondisi ekonomi masyarakat di sekitarnya.
Tentu kita tidak bisa memungkiri, ada beragam alasan mengapa orang menggeruduk mall / pusat perbelanjaan di waktu-waktu tertentu. Di akhir pekan, para pekerja dan mahasiswa ingin melepas penat bersama keluarga & teman-temannya, dan mall adalah tempat yang cozy untuk itu. Namun memang tak jarang pusat perbelanjaan, kafe-kafe, tempat wisata atau bahkan airport sekalipun menjadi lebih dari sekedar tempat untuk melepas penat. Alih-alih, banyak juga yang memanfaatkan keberadaan mereka disana untuk pencitraan atau flexing.
Hiruk pikuk etalase media sosial sebagai kanal pelampiasan bagi sebagian besar orang yang ingin membagikan momen seru keseharian mereka telah menjadi one of the real influencing factors dalam perubahan gaya hidup masyarakat kita saat ini. Keinginan tampil beda dan tampak lebih untuk mendapatkan validasi (likes, comments & subscribes) dari orang lain telah menjadi sebuah hal dan perilaku yang biasa.
Terlepas dari fitrah manusia sebagai makhluk sosial yang hadir di muka bumi ini satu paket dengan keinginannya untuk diakui dan dicintai, kita tak bisa pungkiri bahwa tidak setiap orang memiliki kesadaran akan batas kewajaran terkait keinginannya mendapatkan pengakuan dan rekognisi diri, yang tak jarang hal tsb justru berujung pada hadirnya ekspektasi yang kurang sehat dalam dirinya.
Sebagai muslim, kita meyakini bahwa ajaran Islam memberi kita panduan lengkap yang syarat dengan tuntunan sehat dalam berkehidupan. Salah satunya, Islam mengajarkan umatnya untuk tidak berlebih-lebihan atau melebih-lebihkan diri dalam suatu urusan. Tentu batas "lebih" ini sangatlah relatif bagi individu dan kelompok yang berbeda. Namun jika kita mau jujur, manusia sejatinya memiliki conscience / sense or right and wrong atau hati nurani yang Allah SWT berikan. Kejujuran kita untuk mau mendengarkan bisik hati nurani tersebut sesungguhnya cukup sebagai pengingat diri (self-reminder) manakala kita telah merasa melewati sebuah batas kewajaran atau norma kepatutan.
Untuk menjaga ketajaman hati nurani kita dari narsisme dan pengaruh gaya hidup modern yang cenderung hedonis dan over-consumptive, Islam juga mengisyaratkan pentingnya memiliki lingkar pertemanan dan komunitas yang baik. Lingkar dan relasi pertemanan yang baik adalah yang saling menasihati dan mengedukasi dalam kebaikan. Hal ini mengingatkan saya pada salah satu hadist yang berbunyi: "Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap."Â (HR Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Hidup dalam moderasi atau kewajaran juga bisa kita latih dengan cara bersyukur. Dalam salah satu Shahih Muslim, Nabi SAW menyeru umatnya: "Perhatikanlah orang-orang yang berada dibawah kalian, jangan memperhatikan orang-orang yang ada di atas kalian, karena hal itu akan lebih mampu membuat kalian tidak mengkufuri nikmat Allah." Islam mengajarkan pada kita untuk bersikap fair dalam melihat kehidupan. Kedekatan sosial yang kita bangun dengan kelompok masyarakat yang underprivileged (kurang beruntung) melalui beragam bentuk perhatian & bantuan riil yang kita bisa berikan, niscaya akan menjadikan kita individu yang lebih bijak dalam mengelola sumber daya keuangan dan sumber daya waktu, terhindar dari sifat extravagant / overspending dan lebih berorientasi pada kebutuhan, bukan diperbudak oleh keinginan semu yang tiada habisnya.
Tidak sedikit sebenarnya ajaran Islam lainnya yang sudah kita yakini kebenaran dan ketahui manfaatnya dalam memoderasi kecamuk liar gaya hidup serba instan dan superfisial di jaman modern ini. Kita hanya perlu berhenti sejenak, merenung dan melihat kedalam diri kita, sudahkah kita menghayati dan melakukan tuntunan luhur dari agama kita tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H