Mohon tunggu...
Irma Amalia Rizqy
Irma Amalia Rizqy Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

saya suka memasak dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Konflik Masyarakat dengan Pemerintah Mengenai Kasus Sengketa Tanah Adat dan Konflik Agraria di Indonesia

8 Juli 2024   13:54 Diperbarui: 8 Juli 2024   13:58 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tanah adalah anugerah dari Tuhan yang di berikan untuk manusia agar manusia bisa mengambil manfaatnya, tanah juga merupakan kebutuhan dasar bagi manusia yang  memiliki makna multidimensional dari sisi ekonomi, politis, budaya dan simbol sakral, hal inilah yang membuat orang akan berusaha memilikinya. Indonesia sendiri merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil pertanian dengan luas wilayah pertanian mencapai 13,17 juta hektare, namun struktur kepemilikan atas tanahnya masih timpang, sehingga menjadi penyebab terjadinya konflik agraria.

Ketimpangan atas kepemilikan tanah sangat terlihat jelas, dimana perkembangan masyarakat yang pesat dan kebutuhan yang meningkat tidak sebanding dengan luas tanah yang tidak bertambah. Maka tidak heran jika tanah menjadi pemicu masalah sosial di wiliyah Indonesia. 

Sengketa merupakan perbedaan yang menyebabkan pertikaian di daerah yang terjadi konflik. Selain itu konflik agraria masih kerap terjadi karena perebutan tanah adat hingga saat ini. Konflik sengketa agraria yang melibatkan kelompok masyarakat adat di seluruh Indonesia adalah persengketaan mengenai penguasaan sumber ekonomi dan budaya yang diyakini sebagai hak adat mereka. Tanah-tanah tersebut adalah tempat pemukiman leluhur masyarakat adat yang sudah dianggap keramat dan telah diakui sebagai tanah adat untuk dimiliki bersama.

Undang-undang Pasal 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria, menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa merupakan hukum adat. Dalam pasal 17 adanyan pengakuan sistem kepemilikan tanah secara komunal, namun pemberlakuan hukum adat tersebut dipengaruhi oleh politik hukum pemerintah. Menurut data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dibandingkan dengan tahun 2022 yang berjumlah 212 konflik, ditahun 2023 kasusnya mengalami kenaikan 12 %. 

Setidaknya ada 241 kasus di Indonesia, konflik tersebut melibatkan area seluas 638,2 ribu hektare, tersebar di 346 desa dan korban terdampak sebanyak 135,6 ribu kepala keluarga di seluruh wilayah Indonesia. Sebanyak 44 % dari total letusan konflik yang terjadi, kebanyakan berkaitan dengan bisnis properti (44 kasus), tambang (32 kasus), perkebunan agribinis (108 kasus) dan proyek infrastruktur (30 kasus). 

Dari data tersebut, KPA hanya mencatat kasus konflik agraria yang disebabkan kebijakan pejabat publik serta mengakibatkan terancamnya hak-hak konstitusional masyarakat atas sumber agraria. Konsep penguasaan tanah dalam sistem hak ulayat yakni suatu hak masyarakat hukum sebagai suatu kesatuan yang mempunyai wewenang ke luar maupun ke dalam.

Masalah sosial seperti sengketa tanah terjadi dalam tiga golongan yakni antara masyarakat, pemerintah, dan pengusaha, mereka memperebutkan sumber-sumber agraria dan mengklaim bahwa sumber-sumber tersebut milik mereka. Hal itulah yang mengakibatkan terjadinya perlawanan antara masyarakat dengan pemerintah. Menurut menteri ATR (Agraria dan Tata Ruang) atau Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional),  kasus sengketa tanah terjadi sebanyak 8.959 kasus, diantaranya kasus sudah selesai dan baru terjadi, dari 8.959 kasus 56 % sengketa terjadi antara masyarakat dan tentangga.

Dalam penyelesaian sengketa tanah perkebunan, penyelesaian yang harus dilakukan dengan cara seadil-adilnya baik dari pihak pemerintah, masyarakat dan perkebunan agar dapat menemukan solusi terbaik dari masing-masing pihak. Namun fakta di lapangan menyatakan bahwa perebutan tanah akan dimenangkan oleh pihak yang memiliki kuasa dan uang. Permasalahan sengketa tanah tidak terselesaikan diakibatkan karena penanganan persoalan yang kurang tepat. Kenaikan harga jual tanah menimbulkan banyak pihak mengklaim sebagai pemilik tanah walaupun tidak memiliki bukti kepemilikan yang kuat dan jelas.

Persoalan lain disebabkan adanya kesenjangan sosial ekonomi yang tajam antara penguasa perkebunan dengan masyarakat yang bermukim disekitarnya. Hal tersebut juga didukung oleh perlakuan yang represif militer dengan dalih atas nama stabilitas nasional. Sejak diberlakukannya UUPA tahun 1960 (LN 104 tahun 1960) seharusnya konflik agraria bisa diselesaikan, akan tetapi dalam kenyataannya masih menyisakan problem yang tidak terselesaikan. 

Selanjutnya UUPA tetap dipertahankan meskipun tidak lagi menjadi induk seluruh peraturan di bidang agraria, hal ini disebabkan adanya undang-undang yang mengakibatkan hak-hak masyarakat adat atas tanah leluhur atau hak ulayat menjadi tergeser oleh kepentingan para pemilik modal. Akibatnya rakyat kecil kehilangan tanah oleh mereka yang memiliki modal yang sekarang menjadi oligarki politik.

Konflik tanah adat berawal dari beberapa penyebab, yakni proses pencarian keadilan melalui lembaga peradilan Negara selalu berakhir dengan kekecewaan karena biaya yang mahal, hingga prosesnya yang panjang. Berdasarkan pasal 18B Ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 Perlindungan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, yang mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Pada tahun 1950, pola penyelesaian adat dilakukan melalui peradilan adat oleh Kepala Adat, jika pada tingkat ini tidak terselesaikan maka sengketa dibawa ke desa dan diselesaikan oleh Kepala Desa beserta para lembaga adat, jika pada tahap ini belum juga terselesaikan maka perkara dibawa ke Peradilan Swapraja, namun pada tahun 1951 peradilan ini di hapuskan dan dialihkan ke Pengadilan Negeri.

Hal inilah yang dapat memicu perlawanan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat atau individu yang merasa tertindas dan frustasi atas adanya situasi ketidakadilan di tengah-tengah mereka. Keadaan ini yang akan menimbulkan kondisi yang berujung pada tindakan kekerasan, bagi masyarakat dan penduduk setempat. 

Masyarakat yang tertindas akan melakukan aksi-aksi kolektif untuk mempertahankan tanah adat yang dimiliki. Mereka juga menuntut ganti rugi yang layak atas tanah adat yang mereka pakai untuk bisnis dan untuk menagih janji perusahaan atau pemerintah. Namun mereka menggunakan cara mudah dan cepat untuk memecahkan masalah dengan cara melakukan aksi-aksi kekerasan dengan melibatkan pihak keamanan Negara yakni polisi dan tentara.

 Ada beberapa upaya damai yang dilakukan oleh masyarakat setempat dalam menuntut haknya diantaranya seperti mengirimkan surat pada aparat pihak terkait, melobi pihak perusahaan, hingga menemui langsung pejabat yang bersangkutan, namun usaha damai yang dilakukan tidak ditanggapi dengan baik oleh pihak pemerintah atau perusahaan. 

Namun pemerintah juga telah berupaya untuk mengatasi konflik agraria dengan mengkoordinasi antara lembaga kementrian, dilakukannya harmonisasi peraturan untuk menghindari terjadinya disharmonisasi antar regulasi yang ada. Pemerintah juga mempercepat penyelesaian konflik agraria dengan cara mempermudah perizinan dan investasi, serta mengukuhkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menjelaskan mengenai pengukuhan kawasan hutan secara legal yang memiliki kepastian meliputi luas, letak, dan batas tanah.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun