Hingga di siang itu tubuh mungilnya tiba-tiba muncul di depan kantor. Dari balik kaca kulihat dia celingukan,  mungkin bingung mau ucapkan  salam tapi ragu-ragu.
Kuseret kaki menuju pintu, membukanya dan menyapa Lina yang berdiri sambil melongo. Dia tampaknya kaget dengan pintu yang tiba-tiba terbuka. Namun seketika dia kembali  menyunggingkan senyum manisnya. Disodorkannya sebuah keresek berisi makanan.
"Ini dari ummi buat ustadzah."
"Oh ya, Â terima kasih Lina. Salam ya ke umminya!"
"In syaa Allah ustadzah. Dimakan ya kiriman ummi ustadzah," pintanya seolah gak yakin jika makanan pemberiannya itu akan dimakan olehku.
"Dari siapa ini ustadzah?" tanya rekan kerjaku ketika aku tawari oleh-oleh dari Lima. Dia sedikit heran karena tiba-tiba ada makanan sementara dia keluar kantor hanya sebentar.
"Dari santri SMH, namanya Lina," jawabku singkat.,
Waktu berlalu dan dalam kurun waktu itu senyum Lina pun tetap sama ketika bertemu denganku. Senyum tulus dari seorang santri mungil, tetap tersungging setiap kali bertemu denganku .
Kutahu hari-hari yang dilaluinya di pondok tidak selamanya indah. Ada banyak masalah yang bisa saja membuatnya sedih, galau atau bahkan marah. Â Tetapi senyum tulusnya setiap kali bertemu menjadi bukti jika Lina, gadis mungil itu tetap bahagia. Bahwa dia mampu menyelesaikan masalah-masalahnya.
Bahagia rasanya melihat seorang anak senang. Sungguh bahagia itu sederhana. Anak pada dasarnya tidak menuntut banyak. Sebuah perhatian kecil yang tulus dari orang dewasa sudah cukup untuk membuatnya bersemangat menapaki setiap ruang waktu, mengisi hari-harinya. Tetaplah tersenyum Lina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H