Buku tulisan Dr. H. Desmadi Saharuddin, LC., M.A. yang berjudul "Pembayaran Ganti Rugi pada Asuransi Syariah" mendeskripsikan secara lengkap dan rinci tentang tinjauan umum tentang pertanggungan jaminan ganti rugi (Indemnity); prinsip ganti rugi (Al-daman) dalam fiqih muamalah; jaminan ganti rugi (kafalah) dalam aplikasi bisnis asuransi syariah; ta'awun, takafu dan risk sharing; dan tantangan dan prospek industri asuransi syariah.Â
Pada dasarnya siapa pun yang memiliki harta benda dalam bentuk apa saja tidak terlindungi dari berbagai musibah atau kerugian yang mungkin terjadi disebabkan oleh risiko yang tidak pasti. Bermacam-macam usaha dilakukan demi mengatasi berbagai risiko yang tidak diharapkan mungkin terjadi, baik dalam lingkungan bisnis, pekerjaan maupun terhadap harta kekayaan, salah satu upaya tersebut adalah melalui pertanggungan. Pertanggungan atau jaminan ganti rugi merupakan suatu bentuk proteksi risiko dari kerugian ekonomis yang diemban oleh perusahaan pertanggungan/asuransi. Dalam pengertian hukum, perjanjian pertanggungan mempunyai tujuan yang pasti dan spesifik tertuju pada manfaat ekonomi bagi kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian.
Jaminan pertanggungan yang diadakan oleh perusahaan asuransi dalam menjalankan misinya sebagai penjamin, mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Pertanggungan itu pada dasarnnya suatu perjanjian penggantian kerugian. dalam hal ini jelas penanggung telah mengikatkan diri untuk memberikan ganti rugi kepada pihak tertanggung yang menderita kerugian sebatas pada jumlah kerugian yang timbul.
2. Pertanggunggan merupakan suatu perjanjian bersyarat, di mana kewajiban memberikan ganti rugi oleh penanggung hanya dilaksa- nakan kalau peristiwa yang tidak tertentu itu terjadi. Dalam hal ini kewajiban pelaksanaan pemberian ganti rugi digantungkan pada satu syarat, yaitu peristiwa yang tidak pasti.Â
3. Pertanggungan merupakan perjanjian timbal balik, di mana kewajiban penanggung memberikan ganti rugi dihadapkan pada kewajiban tertanggung membayar premi.
4. Pertanggungan akan memberikan ganti kerugian atas objek ke- pentingan yang dipertanggungkan yang mempunyai hubungan se- bab akibat antara peristiwa dan kerugian.
Oleh karena itu, apabila perusahaan pertanggungan benar-benar menjalankan fungsinya sebagai penjamin atas risiko yang datang se cara tidak terduga, maka akan mendatangkan banyak manfaat kepada tertanggung, karena ia telah memberikan perlindungan, rasa terjamin atau ketenteraman dalam menjalankan usaha. Hal ini akan dirasakan oleh tertanggung pada saat mereka menerima penggantian kerugian, terlebih lagi jika dalam jumlah yang besar. Penggantian kerugian da lam jumlah yang besar berdasarkan peraturan seharusnya dibayar sekaligus pada saat kerugian itu timbul, sedangkan preminya dapat dibayar secara bertahap dalam jumlah yang tidak terlalu memberatkan Tertanggung.
Perusahaan pertanggungan dalam melaksanakan proteksi atau ja minan ganti rugi berlandaskan kepada beberapa asas yang dijadikan sebagai patokan dalam memenuhi janji-janjinya. Asas-asas itu antara Jain adalah Indemnitas (Indemnity), kepentingan yang dapat diasuran sikan Unsurable Interest). Kejujuran yang Sempurna (Umat Good faith), dan Penyebab Terjadi Risiko (Proximate Case), asas-asas ini sangat dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakan klaim yang diajakan oleh para tertanggung, seperti penentuan jumlah ganti rugi, bentuk-bentuk pemberian ganti rugi dan kelayakan pemberian ganti rugi terhadap tertanggung yang menderita kerugian.
Dalam asuransi syariah aturan-aturan yang memberatkan tertanggung dalam penerimaan ganti rugi seperti yang terdapat dalam asuransi konvensional seharusnya dapat dihilangkan, mengingat tujuan dari ganti rugi itu adalah menutup maslahat yang hilang tanpa membebani pihak yang tertimpa musibah, khususnya terhadap kerugian atau musibah yang di luar wewenang peserta/ter- tanggung. Dengan ditopang oleh peningkatan jumlah premi yang ter- kumpul dari tahun ketahun, kenaikan laba yang diperoleh perusahaan. dan penurunan rasio pembayaran claim, perusahaan/operator asuransi syariah dapat memberikan banyak pertolongan kepada peserta/tertanggung yang mendapat risiko sebagai wujud dari prinsip sa dwun. Kalau kita perhatikan dengan saksama, pola-pola yang diterapkan dalam operasional asuransi syariah dalam memberikan jaminan (kafalah) dan pembayaran ganti rugi masih mengikuti aturan-aturan yang diterapkan oleh konvensional seperti polis dan wording polis, kecuali dalam hal akad, produk, investasi dan keberadaan Dewan Pengawas Syariah, Pola-pola tersebut antara lain: jenis-jenis polis yang digu nakan dalam memberikan jaminan pertanggungan (kafalah), metode perhitungan dan sistem pembayaran ganti rugi, kewajiban yang harus ditanggung oleh peserta/tertanggung pada saat terjadi klaim, lembaga penyelesaian sengketa apabila terjadi dispute, dan lain-lain.
Adapun bentuk kerugian yang terjadi pada kepen- tingan yang diasuransikan, harus mendapatkan penggantian yang sem purna, jika tidak maka tujuan utama yang ingin dicapai dalam pertang- gungan hanya sia-sia belaka. Dalam hal menafsirkan suatu perjanjian yang akan dijadikan sebagai pedoman utama adalah jika kata-kata yang terdapat dalam perjanjian tersebut sudah jelas, maka tidak diperkenan- kan lagi untuk menyimpang dari kata yang di maksud dengan cara apa pun. Kalau nasabah mengasuransikan sebuah mobil dengan pertang- gungan all risks, perusahaan asuransi tidak mempunyai alasan apa pun untuk menolak klaim yang berhubungan dengan mobil tersebut.
Sebagai kesimpulan proses ganti rugi dalam sistem asuransi sya. riah; di mana pihak tertanggung/peserta menuntut penanggung/operator untuk membayar ganti rugi (kafalah) pada saat harta bendanya terkena risiko. Kemudian penanggung juga menuntut pelaku risiko untuk bertanggung jawab dengan menggunakan hak subrogasi. Ganti rugi yang diberikan oleh perusahaan sesuai dengan yang terdapat dalam klausul kontrak pada saat melakukan closing asuransi, sedangkan perusahaan menuntut pelaku untuk bertanggung jawab atas tindakannya melawan hukum secara sempurna. Jika pada saat closing contract dengan menggunakan klausul under insured, sementara sisa pembayaran kepada tertanggung diambil oleh perusahaan asuransi dan tidak diberikan kepada tertanggung, dengan demikian perusahaan telah melakukan perbuatan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil dan itu adalah riba.
Pada hakikatnya yang harus dilakukan oleh setiap individu dalam bermuamalah menurut prinsip dasar hukum Islam adalah la darur wa la dhirar. Oleh karena itu, setiap tindakan yang merugikan orang lain baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak, pelakunya harus bertanggung jawab terhadap semua kerusakan dan kerugian yang timbul. Apabila si pelaku tidak mampu memberikan ganti rugi atas kerusakan yang diakibatkan oleh perbuatannya, seperti orang gila dan anak-anak yang masih belum balig maka tanggung jawab harus dipikul walinya. Kewajiban memberikan ganti rugi dalam syariat Islam bertujuan untuk menjaga dan memelihara harta benda dari segala kehancuran dan kebinasaan serta memberikan rasa aman kepada pemiliknya dari hal-hal yang membahayakan. Bahkan dalam al-Qur'an terdapat lebih dari satu ayat yang memerintahkan agar setiap tindakan yang merugikan orang lain supaya diberikan ganti rugi yang setimpal.
Secara umum konsep daman dalam fikih mu'amalah yang bertu- juan untuk memberikan ganti kerugian dan menutup maslahat yang hilang belum bisa dipenuhi oleh teori-teori yang dipakai dalam asuransi syariah, walaupun pada hakikatnya tujuan utama dari asuransi syariah adalah untuk melindungi masyarakat atau nasabahnya dari ketidakten. traman ekonomi dan bahaya bahaya yang mengancam secara tiba-tiba terhadap harta benda mereka. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari suatu alternatif lain agar asuransi syariah benar-benar sebagai pelindung dan penjamin dari kerugian yang tidak diharapkan.
Implementasi bisnis perusahaan asuransi syariah harus dapat menjadikan para tertanggung/peserta merasa aman dan tentram terhadap kehidupan yang mereka jalani serta harta benda yang mereka miliki. Pengertian asuransi sebagai satu sistem untuk menempatkan seseorang dalam keadaan aman dan tentram berbeda dengan pengertian asuransi sebagai transaksi bisnis. Asuransi sebagai satu sistem yang membuat orang merasa aman merupakan bentuk tolong-menolong antarsesama yang dilakukan oleh sekelompok manusia dalam hal mengatasi bahaya, musibah dan risiko yang mengancam seseorang. Apabila musibah, bahaya atau risiko itu terjadi, dengan hanya mengorbankan sedikit kepentingan saja dari kelompok tersebut, maka akan cukup untuk mengatasi atau menutupi kemaslahatan yang hilang akibat musibah yang terjadi pada seseorang. Sesungguhnya syariah Islam dalam seluruh sisi-sisi syariatnya sangat memperhatikan aturan- aturan kehidupan, baik yang berkaitan dengan kebersamaan maupun kesejahteraan dengan menitik beratkan aspek tolong menolong apa- kah itu berhubungan dengan hak atau kewajiban.
Berdasarkan fakta yang terjadi kita harus mengakui, bahwa ma- yoritas perusahaan asuransi syariah yang ada di Indonesia diisi oleh orang-orang yang pada awalnya mereka berkecimpung dalam bisnis asuransi konvensional. Peluang dan keuntungan yang menjanjikanmembuat mereka hijrah dan mendirikan divisi syariah, kecuali hanya sebagian kecil saja yang memang telah benar-benar memahaminy dengan baik. Jika aktivitas bisnis yang mereka jalankan setelah hijre dari perusahaan konvensional tidak dibarengi dengan ilmu penge tahuan, baik tentang etika bisnis islami maupun pengetahuan aka tujuan mulia yang harus dicapai, maka tidak mustahil kasus sepert tersebut akan menimpa banyak nasabah/peserta asuransi syariah.
Konsep dasar asuransi syariah sangat menekankan pada unsur ta'dwun, maka segala bentuk transaksi yang mengarah kepada dua perbuatan yang terlarang itu benar-benar harus diwaspadai dan dihindari. Kalau scandainya kedua unsur tersebut masih terindikasi dalam operasional perusahaan asuransi syariah, maka ta'awun yang diperintahkan oleh Allah belum sepenuhnya dapat diaplikasikan. Dalam melaksanakan ta'awun, Allah tidak mengarahkan manusia kepada suatu bentuk tertentu saja, akan tetapi semua aktivitas yang dapat membebaskan dan meringankan orang-orang yang memerlukan pertolongan masuk ke dalam kategori yang diperintahkan. Oleh karena itu, jika kita ingin menerapkan konsep ta'awun yang sesungguhnya dalam operasional perusahaan asuransi syariah, maka alangkah baiknya jika konsep risk sharing dan takaful yang ada dalam perusahaan asuransi syariah tidak terkelompok dalam batas-batas tertentu saja. atau kalaupun dikelompokkan maka ia harus dalam pengertian yang ne jelas dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat agar tidak akmenimbulkan kesalahpengertian dan kesalahpahaman yang ujungnya pen menimbulkan permusuhan.
intensitas persaingan yang ketat tidak hanya terjadi sesama industri asuransi syariah akan tetapi juga terjadi antara perusahaan asuransi syariah dengan konvensioanal, merupa kan suatu tantangan yang tidak mudah bagi perusahaan asuransi syariah untuk dapat tetap konsisten (istiqamah) dalam mengimplemen- tasikan konsep operasionalnya, sebagaimana yang dirumuskan dalam prinsip-prinsip kontrak berlandaskan mu'amalah syariah. Jika pada awalnya bisnis ini berlandaskan pada konsep bisnis sosial (mu'amalah ta'dwuniyah), sekarang telah bergeser menjadi bisnis murni (mu'am alah mahdah) yang hanya bertujuan untuk menghasilkan profit dengan dukungan pasar yang sedang menjadi tren. Hal ini sebenarnya sudah sejak lama diwanti-wanti oleh ulama agar konsep dasar operasional asuransi syariah yang syarat dengan prinsip akad tabarru dan ta'awun itu tidak berubah menjadi ladang bisnis yang hanya semata- mata mencari profit.
asuransi syariah khususnya di Indonesia tidak kalah de- ngan asuransi konvensional, namun yang harus disadari adalah bahwa profit bukanlah tujuan utama yang harus diprioritaskan berdasarkan prinsip dasar. Jika profit telah menjadi tujuan utama, maka jaminan perlindungan yang ada dalam konsep dasar akan menjadi senjata bagi perusahaan untuk memanfaatkan nasabah pada posisi yang lemah. Dalam asuransi syariah perusahaan hanyalah agen yang harus bekerja untuk mendapatkan fee dari pemilik modal atau peserta asuransi. Ole karena itu, perusahaan harus menempatkan nasabah sejajar denga perusahaan, agar janji perlindungan yang dijanjikan benar-benar da pat dibuktikan. Dimedia-media kita ketahui bahwa perusahaan berhasil membukukan laba bersih atau keuntungan sesuai dengan target bahkan lebih, akan tetapi sudahkah peserta atau nasabah mendapat kan perlindungan sesuai dengan yang dijanjikan. Dalam banyak ka sus nasabah harus berusaha dengan ekstra keras untuk menagih janj perusahaan agar mereka memberikan ganti rugi yang dijanjikan pada saat closing contract.
Terkesan dalam pemaparan wacana tentang Pembayaran Ganti Rugi pada Asuransi Syariah , penulis berkeinginan menyampaikan secara jelas, tuntas, lengkap dan rinci. Hal ini dapat dilihat dari daftar isinya yang sangat padat. Di satu sisi para pembaca akan mendapatkan informasi yang sangat komprehensif tetapi di sisi lain, para pembaca dipaksa untuk mengkerutkan dahi agar lebih cepat paham terhadap isinya yang sarat dengan istilah-istilah islam. Hal ini penting mengingat permasalahan pembayaran ganti rugi pada asuransi menyangkut kepentingan masyarakat luas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H