Debat ke-3 (tiga) pada minggu malam 22 Juni 2014 sudah sedikit menunjukkan peningkatan konten dari argumen yang dilontarkan 2 (dua) Capres Prabowo dan Jokowi. Meski demikian Prabowo dan Jokowi masih dirasa kurang memuaskan pemirsa debat, khususnya dari kalangan keluarga kelas menengah dan kaum intelektual yang masih belum bisa menentukan pilihannya (swing voters) apaah akan ke Prabowo atau ke Jokowi di hari-H pemilihan tangal 9 Juli 2014 nanti. Mengapa kurang memuaskan ?
***
Jawaban umumnya adalah keduanya tidak menyatakan hal-hal baru (inovative ideas) yang bagi kelas menengah dan terpelajar merupakan daya tarik utama (main magnitute) dalam menentukan dan memilih Presidennya. Opini yang dikeluarkan dari kedua capres hanya pendapat rata-rata dan sudah menjadi pengetahuan umum (general knowledge) saja.
Prabowo yang sebenaranya mampu mengekplorasi gagasan-gagasannya hanya berputar-putar di domain "kesejahteraa" anthitesa dari "kemiskinan", nasionalisme, kebocoran sumberdaya alam, nilai tambah, dan sejenisnya, yang bisa dikatakan merupakan gagasan retorik yang dibawakan dengan mendayu-dayu yang sangat kurang perlu, redundensi dalam kemasan personifikasi tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Sayangnya tim sukses Prabowo tidak mampu lebih jauh mengarahkan ide-ide Prabowo agar lebih tajam (fokus), dan details, dan inovative. Sisi Positifnya; tampilan Prabowo sangat spontan, alami, dan sedikit menarik serta retorikanya dapat dikatakan "lumayan" sebagai calon negarawan. Pribahasa : "1000 teman terlalu sedikit, dan 1 musuh terlalu banyak ", telah membuat simpatik banyak calon pemilih swing voters. Ada baiknya peribahas ini selalu diulang-ulang guna menarik simpati publik.
Sedangkan Jokowi yang berusaha tampil penuh percaya diri malam tadi dan terkesan dipersiapkan dengan terlalu banyak materi (overloaded information yang telah menjadi asimetris information) oleh timses-nya, dalam penyampaiannya masih saja "terpotong-potong", banyak kalimat-kalimat yang tidak lancar mengalir dari mulutnya. Barangkali di otaknya sudah ingin sekali melontarkan kalimat-kalimat jawaban , namun terhambat di mulutnya yang kurang singkron dengan otaknya.
Penggunaan catatan kecil (notes) juga sangat disayangkan banyak pihak mengingat publik Indonesia sangat ingin penampilan Jokowi yang terkesan spontan. Lihat saja jawaban Jokowi saat menjawab masalah penjualan saham Indosat ke perusahaan Singapore, ia begitu lancar dan jelas menjelaskan hinga sampai ke detil-detilnya hingga klausul "buy-back" yang belum banyak diketahui publik disampaikannya dengan sangat runtut dan ditail. Tentu berbanding terbalik dengan tampilan Jokowi yang disaat awal selalu membaca "small notes" nya.
Kelas menengah dan terpelajar kita sangat menyukai istilah asing, dan tatkala Prabowo melontarkan istilah : "core of national interest" atau "good neighbour policy" telah menjustified bagi kelas menengah dan kaum terpelajar bahwa secara penguasaan materi Prabowo dianggap mampu menerapkan kebijakan luar negeri secara rasional.
***
"Negoisasi" ala Jokowi
Di sisi lain apabila kita perhatikan dari debat I (tema : Hukum dan HAM), debat II (tema : ekonomi), dialog Capres-Cawapres dengan KADIN, serta debat III (tema : politik internasional dan ketahanan nasional), capres Jokowi telah melakukan kesalahan fatal apabila tidak bisa disebut mendasar. Jokowi telah keliru mengucapkan kata negoisasi dari asal kata negotiate, yang seharusnya diucapkan sebagai negosiasi. Setelah kita melakukan pemutaran rekaman debat-debat yang tersebut diatas memang kata "negoisasi" sering diucapkan Jokowi. Mengapa ini bisa terjadi ? karena tidak ada yang telah memberitahunya apabila beliau " tounge slip" sehingga terkesan tidak cerdas dan bisa berpotensi menjadi bahan ketawaan serta olok-olokan masyarakat, karena rakyat ingin memiliki Presiden yang cerdas tidak blo'on.