Kompleks Candi Prambanan tidak bisa terlepas dari legenda tentang Loro Jonggrang dan Bandung Bondowoso. Menurut Raffles, sosok yang disebut oleh masyarakat Jawa modern sebagai Loro Jonggrang, sebenarnya adalah sosok Durga, yang merupakan tokoh suci yang dihormati dan disakralkan oleh orang-orang dari aliran Tantrayana.
Sosok Durga atau Loro Jonggrang oleh dinasti Sanjaya, diabadikan kedalam sebuah arca (Terdapat di relung utara, Candi Siwa) yang memiliki 8 tangan yang mewakiliki dewi-dewi lainnya, seperti; Bhawani, Devi, Soca, Juggudumba, Mahamya, Lutaka, Phulmuttis, dan Mata.
Sosok Durga yang ada di Kompleks Prambanan digambarkan menaiki seekor kerbau, bernama Kerbau Mahesasura yang mewakili sifat Asura (Raffles, 2019).
Durga dalam tradisi Jawa, dipercaya sebagai penyeimbang kosmos. Hal ini terbukti dalam beberapa tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Jawa terkait dengan mitologi keberadaan Durga yang diantaranya adalah tradisi Ruwatan. Kaitannya ruwatan dengan Durga, adalah bahwa Durga menjadi sarana untuk ritual ruwatan sukerta. Ritual ini merupakan sebuah sarana untuk memperingati masa krisis dalam daur hidup manusia secara pribadi maupun kelompok yang terwadahi dalam satu lembaga tertentu. Kata Ruwat dalam bahasa Jawa sama dengan kata Luwar yang berarti lepas atau terlepas. Diruwat artinya dilepaskan atau dibebaskan. Pelaksanaan upacara itu disebut dengan ngaruwat atau ruwatan, yang berarti melepaskan atau membebaskan. Makna lain dari kata ngaruwat, berarti dibebaskan atau dilepaskan dari hukuman atau kutukan Dewa yang menimbulkan bala, malapetaka, atau keadaan yang menyedihkan. Ruwat dalam arti ini terdapat dalam cerita kakawih Sudamala. Dalam cerita ini Semar meruwat Bhapari Durga yang berwujud raksasa dan berparas menyeramkan, kembali kepada Dewi Uma yang berwajah cantik (Relin D.E, 2015).
Masih di candi yang sama, yaitu Candi Siwa. Pada relung timur dan selatan, terdapat dua arca dewa, yang dalam ajaran tantra merupakan dewa yang sama pentingnya dengan Durga. Kedua arca tersebut adalah arca Siwa dan arca Agastya, yang keduanya merepresentasikan sosok Siwa. Dalam ajaran Hindu, Siwa digambarkan sebagai dewa tertinggi atau Mahadewa. Sebagai Mahadewa, Dewa Siwa digambarkan bertangan empat, delapan, sepuluh, dan bahkan enam belas (Maulana, 2002). Arca Siwa yang ada di Candi Siwa, memiliki empat tangan, dengan salah satunya memegang trisula, namun trisulanya hilang ketika kompleks Candi Prambanan harus dilanda gempa, tahun 2006.
Dalam ajaran Hindu, Siwa digambarkan sebagai dewa penghancur, dimana kemarahannya dapat menghancurkan seluruh alam semesta. Dalam Bhagavatam (4.6.42-53), diceritakan bahwa Sati atau Durga adalah putri dari Daksha. Durga tidak terima jika Daksha melakukan penghinaan terhadap suaminya, Siwa. Karena tidak terima, selama ritual malapetaka Dakhsa, Durga membakar dirinya dalam api. Melihat Durga yang membakar dirinya sendiri, Brahma dan para dewa pergi untuk menenangkan Dewa Siwa. Brahma mencoba untuk menghibur Siwa dan memanggilnya sebagai “My Dear Lord”, dan memanggilnya sebagai pengontrol seluruh alam semesta, kombinasi ibu dan ayah alam semesta (Dalam ajaran Tantrayana sosok ibu dan ayah alam semesta adalah Durga dan Siwa). Hal ini dilakukan Brahma untuk mencegah Dewa Siwa meluapkan amarahnya, karena diketahui bahwa kemarahan Siwa dapat memusnahkan alam semesta (Knapp, 2014).
Sebelum Dewa Siwa dinobatkan sebagai dewa penghancur. Dewa Siwa dikenal sebagai Agastya. Dalam Srimad-Bhagavatam (4.2.2), mengatakan bahwa Dewa Siwa adalah guru spiritual seluruh dunia. Dalam wujud Agasty, Siwa memiliki kepribadian yang damai, bebas dari permusuhan, selalu puas dengan dirinya sendiri. Dia adalah dewa yang paling bijaksana dan paling dihormati diantara semua dewa. Siwa adalah guru spiritual dengan menunjukan cara memuja Yang Maha Kuasa. Dia dianggap yang terbaik dari semua penyembah, oleh karena itu, ia memiliki jalur spiritual yang disebut Rudra-Sampradaya (Knapp, 2014).
Dalam ajaran Tantrayana, Siwa dan Durga disimbolkan sebagai kesuburuan. Hadirnya Siwa dan Durga di Candi Siwa yang merupakan salah satu candi utama yang ada di Prambanan, para penguasa Sanjaya seolah ingin memberikan isyarat bahwa di daerah Prambanan merupakan daerah yang subur. Keadaan tanah di wilayah sekitar Prambanan (Kabupaten Sleman), sangat dipengaruhi oleh Gunung Merapi, dimana terdapat endapan vulkanik yang mewakili 90% dari seluruh wilayah. Selain itu jenis tanahnya kebanyakan adalah regosol. Tak heran, jika luas keseluruhan wilayah Kabupaten Sleman sebagian digunakan untuk lahan persawahan. Kesuburan tanah di daerah Sleman selain dipengaruhi oleh Gunung Merapi, tetapi juga dipengaruhi oleh selokan Mataram, yang membuat Kabupaten Sleman tidak pernah kekurangan air (Habibatussolikhah et al., 2016).
Sumber:
Habibatussolikhah, A. T., Darsono, & Ani, S. W. (2016). ANALISIS FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH KE NON SAWAH DI KABUPATEN SLEMAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Sepa, 13(1), 22–27.
Knapp, S. (2014). HINDU GODS & GODDESSES (II). Jaico Publishing House.
Maulana, R. (2002). SIVA MAHADEVA: SUATU ANALISIS IKONOGRAFI DI JAWA MASA HINDU-BUDDHA. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, 6(1), 18–22.
Raffles, T. S. (2019). The History of Java. Penerbit Narasi.
Relin D.E. (2015). AKTUALISASI RUWATAN PADA MASYARAKAT JAWA (Kajian Filosofis) (I). Ashram Gandhi Puri, Indra Udayana Institute of Vedanta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H