Pada abad ke-18 Masehi, Kesultanan Utsmaniyyah mengalami penurunan cukup drastis. Banyak sekali gerakan-gerakan revivalis bermunculan di wilayah Kesultanan Utsmaniyah, dengan disertai lepasnya wilayah-wilayah terluar dari Kesultanan, seperti; Yunani, Hungaria, Krimea dan beberapa wilayah di Afrika Utara. Disaat yang sama, dunia Barat mencoba untuk bangkit dari keterpurukan mereka, dengan menerapkan sistem Sekuler di negara mereka. Kehadihan Sekuler, menjadi titik awal kebangkitan Barat (Eropa) dan juga menjadi titik awal melemahnya kekuatan Islam yang dipimpin oleh Sultan Utsmani di Istanbul.
Kondisi umat Islam yang semakin lemah dan menguatkan kekuatan Eropa, menjadi ancaman serius para ulama yang berfikir radikal dan revormis, untuk melakukan hal yang sama, atau lebih sederhananya melakukan gebrakan baru untuk memperbaiki kondisi umat Islam yang semakin hari semakin melemah. Di abad ke-18, muncul para reformis Muslim yang yakin bahwa jika umat Muslim ingin merebut kembali kekuasaan dan mengembalikan kekuatannya, sebagaimana dahulu masa Umayyah, Abbasiyyah, Mamluk, atau masa Sultan Utsmani yang kuat seperti Mehmed II dan Sulaiman Al-Qonuni. Solusi yang ditawarkan oleh para reformis radikal adalah memurnikan ajaran Islam yang dinilai telah melenceng dari yang seharusnya.
Ulama atau tokoh reformis yang radikal yang paling terkenal, adalah Muhammad bin Abdul Wahhab, dengan gerakannya disebut gerakan Wahabi. Wahabi merupakan sebuah gerakan pemurniaan Agama Islam yang ada di wilayah Nejed. Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri, lahir tahun 1703 Masehi, dari keluarga kecil di kota kecil Uyayna di wilayah Arab Tengah atau diera modern disebut dengan wilayah Nejed.
Semasa mudanya, Ibnu Wahab banyak belajar dari Ibnu Taimiyah, seorang syeakh terkenal abad ke-14. Ibnu Taimiyah memiliki pendapat bahwa Agama Islam yang dipraktikan oleh Kesultanan Utsmaniyah telah menyimpang. Dia menyerukan agar umat Islam kembali ke Agama Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad pertama kali. Ibnu Taimiyah mengutuk semua upacara mistis terkait Sufisme yang saat itu memang menjadi identik Kesultanan Utsmaniyyah, sebagai sebuah penyimpangan dan penyesatan. Dari sinilah, Ibnu Wahab mencetuskan konsep Wahabi untuk pertama kalinya.
Ibnu Wahab pertama kali menyebarkan fahamnya di kampung halamannya di Uyayna. Reaksi warga terhadap dakwah Ibnu Wahab negatif, mereka menganggap bahwa Ibnu Wahab orang gila dan telah sesat karena tidak sesuai dengan Islam yang dikenal oleh orang Uyayna. Karena merasa takut, maka Ibnu Wahab diusir dari kampung halamannya. Para ulama dan para penguasa wilayah Uyyana, berpendapat jika Ibnu Wahab tidak diusir, maka dia akan menimbulkan keresahan sosial.
Tidak seperti di kota Uyayna. Ibnu Wahab diterima oleh penguasa Al-Dair'iyya dan kepala suku di Najd, yang saat itu dipimpin oleh Muhammad bin Saud. Penduduk Arab Saudi di zaman modern, menandai penerimaan Wahabi oleh Muhammad bin Saud sebagai peristiwa yang paling penting, karena pada saat inilah Kerajaan Arab Saudi Berdiri. Pada tahun 1744-1745 Masehi, keduanya sepakat bahwa faham yang dibawa oleh Wahab yang nantinya akan menjadi faham Wahabi, akan di prkatikan oleh penguasa Saudi dan rakyatnya. Perjanjian Dir'iyya menetapkan prinsip dasar gerakan yang kemudian hari disebut Wahabisme.
Gerakan Wahabi terus menjalar dan semakin besar. Pada awalnya Kesultanan Utsmaniyyah tidak terlalu menghiraukan gerakan Wahabi ini, karena gerakannya hanya terbatas di Nejed, wilayah Nejed bukan wilayah Kesultanan Utsmaniyyah. Pada tahun 1780 Masehi, Kesultanan Utsmaniyyah memedulikan gerakan ini. Karena pada tahun tersebut, faham Wahabi sudah masuk kewilayah Hijaz dan Irak Selatan yang merupakan wilayah Kesultanan Utsmaniyyah.
Tahun 1790 Masehi, Sultan Selim III memerintahkan gubernur Baghdad untuk menumpas gerakan Wahabi ini. Pada tahun 1798 Masehi, Gubernur Baghdad mengerahkan sekitar 10.000 tentara ke wilayah Nejed, untuk menumpas gerakan Wahabi. Dalam ekspedisi tersebut, gubernur Baghdad gagal untuk menumpas gerakan Wahabi, dan terpaksa harus bernegosiasi dengan pemimpin bani Saud.
Pada tahun 1802 Masehi, pasukan Bani Saud merebut kota Karbala, yang terletak di Irak Selatan. Â Pemerintahan Utsmaniyyah menghandapi kesulitan untuk menghadapi gerakan Wahabi yang berpusat di Najd. Pasukan Utsmaniyyah harus menempuh ribuan kilometer dari Anatolia ke Nejed, yang berujung kegagalan karena terbatas pada amunisi dan makanan pasukan. Pemerintah Utsmaniyyah tidak mampu menghadapi keganasan gerakan Wahabi. Ketidak berdayaan sang Khalifah menghentikan Wahabi dan menjaga kota-kota di Arab, terlihat jelas ketika kota Makkah dan Madinah jatuh dengan mudah ke tangan tentara Saud, pada bulan April 1803 Masehi.