Tentu mayoritas dari kita pernah mengonsumsi obat-obatan entah itu yang memiliki manfaat untuk menyembuhkan atau sekadar suplemen untuk menjaga kesehatan. Pernahkah  berpikir bagaimana obat-obatan ini terbentuk? Dan uji apa yang dilakukan untuk membuktikan bahwa obat yang kita minum aman ?Â
Thalidomide, Bencana Medis sekaligus Kelalaian Perusahaan Farmasi.
Pada tahun 1950-an, Jerman dan Inggris mengalami peristiwa dimana banyak sekali kasus ibu hamil yang melahirkan bayi dengan kondisi yang langka, yaitu kaki dan lengan memendek. Bayi-bayi yang dilahirkan tersebut bisa dikatakan tidak memiliki lengan dan kaki.Â
Tentu jika ini peristiwa langka maka jumlah ibu hamil yang melahirkan bayi-bayi tersebut seharusnya dalam jumlah yang sangat sedikit. Sayangnya, yang terjadi kebalikan.Â
Usut punya usut ternyata ibu hamil tersebut mengonsumsi obat yang bernama 'thalidomide'. Obat yang sukses mencuri perhatian karena dapat mengatasi rasa mual dan muntah pada ibu hamil. Thalidomide memiliki efek sedasi yang membuat penggunanya dapat tertidur dengan nyenyak.Â
Kala itu, obat penenang sangat dicari oleh mayoritas masyarakat. Selain itu, pengetahuan terkait obat juga masih minim. Thalidomide berhasil mencuri perhatian masyarakat serta branding-nya yang bagus membuat banyak dokter percaya akan khasiat dari obat ini.Â
Munculnya kasus bayi tanpa lengan dan kaki ini membuat banyak tenaga kesehatan curiga. Walaupun begitu, perusahaan farmasi tetap menolak jika kejadian ini merupakan efek samping dari thalidomide.Â
Dikarenakan banyak kasus ini pada akhirnya membuat banyak pihak menuntut pemerintah untuk melakukan investigasi pada perusahaan farmasi kala itu.Â
Hasil dari investigasi ini ternyata mengejutkan banyak pihak dimana ternyata obat thalidomide belum pernah dilakukan pengujian pada manusia. Ketika obat dibuat dan seharusnya diuji pada manusia, perusahaan melewati tahap ini dan memberikan obat gratis pada karyawan, termasuk karyawan yang hamil. Tak heran jika ada beberapa karyawan yang juga melahirkan bayi tanpa lengan dan kaki.Â
Thalidomide, dan awal mula pertanggungjawaban perusahaan farmasi.Â
WHO sendiri mencatat jika ada 10 ribu bayi yang lahir cacat dari 46 negara yang mengonsumsi thalidomide. Bahkan CEO dari perusahaan farmasi Jerman meminta maaf atas kejadian ini saat peresmian patung perunggu peringatan tragedi tersebut di tahun 2012.Â
Perusahaan farmasi Jerman ini telah mengembangkan beberapa proyek untuk membantu korban thalidomide. Sayangnya, banyak yang menolak karena dianggap sudah terlambat.Â
Bayi-bayi yang lahir cacat ini tak hanya memiliki masalah dari segi kaki dan lengan namun, ada banyak yang mengalami kasus dimana ada organ yang tidak terbentuk sempurna seperti ginjal dan jantung. Tak heran jika ada yang harus menjalani Hemodialisa seumur hidup.Â
Seorang survivors dari kejadian ini bahkan menulis buku dengan judul "No Hands to Dance On and No Lega to Dance On". Buku yang bercerita bagaimana perjalanan hidupnya sebagai korban dan menuntut perusahaan farmasi untuk bertanggung jawab.
Awal mula adanya ilmu "Farmakovigilanz".Â
Akibat dari tragedi ini muncullah ilmu baru dari pengembangan obat yaitu farmakovigilanz. Farmakovigilanz adalah tahap akhir dari pengembangan suatu obat, dimana obat yang baru dirilis tetap ditrack efek samping yang dialami oleh pengguna.Â
Di Indonesia sendiri aktivitas ini tetap dilakukan oleh Apoteker terutama yang bekerja di bidang klinis. Apoteker yang menemukan adanya efek samping yang tidak lazim dari obat yang digunakan pasien harus melaporkan pada aplikasi khusus e-meso.Â
Meskipun bencana ini pernah terjadi namun, perkembangan ilmu pengetahuan membuat proses penemuan obat-obatan telah teruji dengan aman. Selain itu, registrasi obat-obatan telah diatur sedemikian rupa agar obat terjamin khasiat dan keamanan obat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H