WHO sendiri mencatat jika ada 10 ribu bayi yang lahir cacat dari 46 negara yang mengonsumsi thalidomide. Bahkan CEO dari perusahaan farmasi Jerman meminta maaf atas kejadian ini saat peresmian patung perunggu peringatan tragedi tersebut di tahun 2012.Â
Perusahaan farmasi Jerman ini telah mengembangkan beberapa proyek untuk membantu korban thalidomide. Sayangnya, banyak yang menolak karena dianggap sudah terlambat.Â
Bayi-bayi yang lahir cacat ini tak hanya memiliki masalah dari segi kaki dan lengan namun, ada banyak yang mengalami kasus dimana ada organ yang tidak terbentuk sempurna seperti ginjal dan jantung. Tak heran jika ada yang harus menjalani Hemodialisa seumur hidup.Â
Seorang survivors dari kejadian ini bahkan menulis buku dengan judul "No Hands to Dance On and No Lega to Dance On". Buku yang bercerita bagaimana perjalanan hidupnya sebagai korban dan menuntut perusahaan farmasi untuk bertanggung jawab.
Awal mula adanya ilmu "Farmakovigilanz".Â
Akibat dari tragedi ini muncullah ilmu baru dari pengembangan obat yaitu farmakovigilanz. Farmakovigilanz adalah tahap akhir dari pengembangan suatu obat, dimana obat yang baru dirilis tetap ditrack efek samping yang dialami oleh pengguna.Â
Di Indonesia sendiri aktivitas ini tetap dilakukan oleh Apoteker terutama yang bekerja di bidang klinis. Apoteker yang menemukan adanya efek samping yang tidak lazim dari obat yang digunakan pasien harus melaporkan pada aplikasi khusus e-meso.Â
Meskipun bencana ini pernah terjadi namun, perkembangan ilmu pengetahuan membuat proses penemuan obat-obatan telah teruji dengan aman. Selain itu, registrasi obat-obatan telah diatur sedemikian rupa agar obat terjamin khasiat dan keamanan obat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H