Ia sangat menjaga harta dengan baik. Setiap hari ia selalu mengecek jumlah kambing yang dijual. Tak lupa menghitung penjualan yang tak boleh kurang seribu rupiah pun.Â
Di samping rumah pak Karim, ada rumah pak Rahmat yang kondisinya bak langit dan bumi. Rumah pak Rahmat berdinding kayu. Lantai rumahnya terbuat dari semen yang jika diinjak sangat kasar dan menyiksa kulit kaki.Â
Di dalam rumah juga tak terdapat peralatan apa pun. Hanya kasur kayu tempat ia dan istrinya tidur serta kasur yang sudah usang di kamar anak-anaknya tidur.Â
Ada dua kursi kayu di ruang depan sebagai pelengkap jika ada tamu datang. Satu-satunya harta berharga yang ia miliki adalah seekor kambing yang dirawat dengan sepenuh hati.Â
Sehari-hari ia bekerja sebagai petani dan menggarap kebun orang. Upahnya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Pak Rahmat tidaklah pelit. Justru ia sangat rajin bersedekah.Â
"Kau bersedekah itu tak mampu membuat hartamu banyak berkali-kali lipat Rahmat. Kau hanya menghabiskan hartamu saja" sindir pak Karim suatu hari.
" Aku bersedekah sebagai ucapan rasa syukur, bukan ingin kaya"Â
Bulan berganti bulan. Tersiarlah kabar kepala negeri ini sedang mencari seekor kambing yang sangat lezat. Kambing tersebut akan dibayar dengan harga yang sangat mahal.Â
Tentu saja pak Karim sangat girang mendengar kabar tersebut. Ia yakin sekali kambingnya yang akan dibeli oleh kepala negeri ini. Harganya cukup mahal dan bisa membeli 100 kambing lainnya.Â
Ketika utusan kepala negeri datang ke desa mereka. Ia langsung memperlihatkan semua kambingnya. Kambing yang ia anggap berkualitas tinggi.Â
Sangking serakahnya pak Karim ia tak memperbolehkan warga desa lain untuk menunjukkan kambing mereka. Jika ada ia tak segan-segan untuk memarahi dan tidak akan memberi pinjaman bagi warga tersebut.Â