Dalam buku "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodoh Amat" karangan Mark Manson, ia pernah berkata kalau bahagia itu adalah masalah. Contohnya saat kita bahagia dengan mendapatkan pekerjaan yang jumlah gajinya Rp. 3.000.0000, di hari esok kita pasti ingin mendapatkan gaji yang lebih tinggi lagi. Tanpa disadari berapa pun gaji yang kita peroleh akan terasa kurang dan terus terobsesi mendapatkan gaji lebih. Bahagia bisa datang dari hal-hal yang sederhana.Â
Beberapa hari ini saya tidak sempat menulis karena kondisi kesehatan yang mengharuskan untuk beristirahat. Saya adalah tipe orang yang ketika menulis ingin tulisan bagus dan tidak asal terbit. Kalau bahasa anak gen z menulis dengan hati sama seperti slogan sebuah bank, melayani dengan setulus hati.Â
Terbaring dalam kamar membuat saya merenungi banyak hal, salah satunya tentang kebahagiaan. Kebetulan tetangga saya mayoritas masih memiliki anak kecil. Sehingga, setiap sore saya dapat melihat mereka bermain di perkarangan rumah. Saat sakit, saya melihatnya lewat jendela kamar.Â
Anak-anak tersebut sangat bahagia meskipun permainan mereka hanya lompat tali bukan video games yang mahal. Melihat mereka bermain mengajarkan banyak rasa syukur di dalam hati.Â
Di saat ribuan anak lainnya harus lockdown total dan tidak bisa keluar rumah, mereka justru asik bercengkrama satu sama lainnya. Bahagia hanya soal hati yang sering bersyukur.Â
Bahagia itu Sederhana.Â
Dulu saya termasuk seseorang yang ambisius dan sangat perfeksionis. Sekarang kadar ambisius dan perfeksionis sudah berkurang. Dulu bagi saya bahagia itu saat memiliki banyak uang dan teman dekat. Sehingga, saya mengejar kedua hal tersebut agar saya bisa bahagia.Â
Kenyataannya saya salah besar. Saat memiliki banyak uang dan pekerjaan tetap, saya tidak bahagia karena merasa hidup terlalu hampa. Saya seperti orang yang hanya menunggu dari pagi ke esok pagi lagi.Â
Memiliki banyak teman dekat ternyata juga tak menyenangkan. Saya menyadari bahwa semakin bertambahnya usia, circle pertemanan jadi semakin sedikit. Sedikit namun, berkualitas itulah yang saya rasakan.Â
Bahagia itu tak usah dicari cukup dengan hal-hal sederhana. Saya bahagia jika masih bisa menikmati Indomie kuah di tengah hujan yang turun. Terkesan sederhana sekali akan tetapi saat saya sakit hal tersebut tidak bisa dilakukan.Â
Tak usah berharap bahagia jika kita memiliki banyak harta, atau memiliki koleksi barang berharga layaknya artis. Jangan terlampau sibuk membuat target untuk sukses di usia muda lalu bekerja keras tak kenal waktu. Bukankah kita tak tahu kapan ajal menjemput? Atau jangan sampai uang hasil kerja keras malah dihabiskan untuk membiayai pengobatan di masa tua. Jika bukan sekarang bahagia kapan lagi?Â
Menulis juga bisa membuat bahagia.Â
Awalnya saya menulis sebagai pelarian diri dari quarter life crisis dan juga untuk memperoleh cuan. Saya memang beberapa kali memperoleh k reward dari kompasiana namun, ternyata menulis membuat saya ketagihan karena lebih bahagia.Â
Saya yang dulu sering sekali membuka media sosial pelan-pelan mulai malas membuka media sosial. Media sosial disadari atau tidak sering membuat kita sibuk membandingkan hidup dengan orang lain. Padahal bunga dalam satu pohon saja tak mekar bersamaan.Â
Menulis juga menumbuhkan kembali minat saya dalam literasi. Dulu jika sedang ada rezeki berlebih saya akan memilih untuk membeli baju namun, sekarang uang tersebut akan saya alokasikan untuk membeli buku.Â
Tentunya membuat hidup lebih minimalis dan mengurangi sampah. Selain itu, menulis adalah pencapaian karena tidak semua orang pintar bisa menulis. Selamat menulis bagi kompasianer semua, mohon maaf jika ada kesalahan dalam tulisan singkat ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H