Apa yang terlintas pertama kali bagi saya ketika mendengar kata Candi Borobudur? Saya akan langsung menjawab tempat ibadah bagi umat Buddha sekaligus destinasi wisata yang menarik. Borobudur juga salah satu bukti sejarah di masa lampau.Â
Sound of Borobudur Berhasil Mengubah Paradigma Mengenai Borobudur.
Sound of Borobudur mengubah paradigma tentang candi Borobudur yang hanya dianggap sebagai tumpukan batu peninggalan masa lalu. Dilansir dari soundofborobudur.org, Sound of Borobudur adalah upaya anak bangsa untuk mengenali lebih dalam kebesaran peradaban di masa lampau melalui budaya dan ilmu pengetahuan. Upaya ini mengacu pada relief yang ada di Borobudur.
Hadirnya sound of Borobudur ada berkat KRMT Indro Kimpling Suseno, Trie Utami, Rully Febrian, Redy Eko Prastyo, dan Bachtiar Djanan M yang saat itu sedang berdiskusi dan membuka literatur buku foto-foto karya Kassian Cephas tentang relief Karmawibhangga.
Di tahun 1890-1891, relief Karmawibhangga dipotret oleh Kassian Cephas. Ia adalah fotografer Jawa yang berasal dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sayangnya karena subsidi pemerintah hanya sepertiganya, Kassian yang awalnya menargetkan 300 foto hanya bisa menyelesaikan 160 foto relief dan 4 foto tambahan tentang gambaran umum situs. Foto-foto tersebut dipublikasikan 30 tahun kemudian.
Di foto tersebut KRMT Indro Kimpling Suseno, Trie Utami, Rully Febrian, Redy Eko Prastyo, dan Bachtiar Djanan M melihat dengan jelas alat-alat musik yang terpampang di relief Karmawibhangga. Mereka pun takjub dengan kemampuan nenek moyang di 13 abad yang lalu yang telah mampu menciptakan alat musik yang beragam.
Dari pertemuan tersebut lahirlah dorongan untuk menghadirkan kembali alat-alat musik di Relief Karmawibhangga dan membunyikannya. Alat musik dawai yang ada di relief Karmawibhangga nomor 102, 125, dan 151 berhasil diciptakan oleh Ali Gardy Rukmana. Seniman muda yang berasal dari Jawa Timur. Tentunya dengan riset dan ilmu pengetahuan yang ada.Â
Dawai tersebut diperkenalkan pada acara pembukaan Borobudur Cultural Feast di bulan Desember 2016. 3 dawai tersebut diberi nama Gasona, Gasola, dan Solawa.Â
Sound of Borobudur mengubah paradigma saya terhadap Candi ini. Mengingatkan akan Mesjid Raya Baiturrahman yang ada di Aceh. Lah apa hubungannya?Â
Di masa lalu Mesjid Raya Baiturrahman tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah namun, juga sebagai pusat pembelajaran ilmu agama Islam. Tak hanya orang-orang yang berasal dari nusantara saja yang belajar di sini. Ada juga dari Melayu, Arab, dan Turki.Â
Di masa lampau banyak data yang mendukung Borobudur pusat musik dunia. Riset yang dilakukan oleh penggagas Sound of Borobudur yang dikemukakan oleh Dewa Budjana mengatakan bahwa ada ratusan alat musik yang tergambar di relief Candi Borobudur. Alat musik tersebut tak hanya berasal dari Jawa Tengah namun, beberapa ada yang dari Kalimantan, Thailand, bahkan India.Â
Ada lebih 10 panik relief Karmawibhangga yang menggambarkan 4 jenis alat musik. 4 jenis alat musik tersebut yaitu jenis idiophone (kentongan dan kerincingan), membraphone (gendang, kentingan), chardophone (alat musik dawai/senar petik dan gesek), dan jenis alat musik aerophone (alat musik tiup). Mendengar hal ini tentu saja saya takjub dengan kemampuan nenek moyang di masa lalu.Â
Sebagai orang awam tentu saja saya berpikir di masa lampau bisa saja ada satu konser besar yang diadakan di Borobudur. Pengunjung konser tersebut pun tak hanya berasal dari nusantara namun, ada juga yang berasal dari luar negeri.Â
Bagi saya Sound of Borobudur adalah cara untuk menjadikan paradigma baru tentang Borobudur dapat berubah. Jika sebelumnya wisata di Candi Borobudur hanya wisata untuk berfoto dengan bangunan Candi Borobudur. Kini masyarakat dapat berwisata dengan nilai-nilai sejarah yang ada di reliefnya.Â
Tentu saja sebagai orang awam, saya punya harapan-harapan terkait Sound of Borobudur.Â
1. Sound of Borobudur dan Semangat untuk Menggali lagi Nilai-Nilai Sejarah yang ada.Â
Penemuan alat musik yang beraneka ragam di Relief Karmawibhangga seharusnya mampu membuat semua pihak untuk menggali lagi nilai-nilai sejarah yang ada. Singkatnya seperti kembali belajar mengenai Relief musik yang ada di Borobudur. Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah?Â
2. Nilai Sejarah Bisa Jadi Daya Tarik Wisata.Â
Sebagai seseorang yang lahir di daerah yang berkonsep halal turis. Tentu saja nilai halal di wilayah saya dapat menjadi daya tarik wisatawan. Hal yang sama juga dapat dilakukan pada Sound of Borobudur. Sound of Borobudur dapat menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Borobudur. Setidaknya wisatawan harus tahu jika di masa lampau, Borobudur pusat musik dunia. Dunia harus tahu bahwa Wonderful Indonesia tak hanya punya keindahan alam saja namun, nilai sejarah yang tak ternilai.Â
3. Sound of Borobudur Mengingatkan bagi Banyak Pihak untuk Menjaga Borobudur.Â
Tentu kita masih ingat dengan beberapa kasus yang tidak menyenangkan yang dilakukan turis di Candi Borobudur. Sound of Borobudur dapat menjadi pengingat bagi kita dan banyak orang bahwa Borobudur adalah perpustakaan dan dokumentasi dari peradaban masa lalu. Ada 1.460 panik relief cerita yang harus dijaga hingga nanti anak cucu kita tahu bahwa Borobudur adalah pusat musik dunia di masa lampau.Â
4. Harapan agar Borobudur Dapat Kembali Menjadi Pusat Musik Dunia.Â
Harapan ini saya ungkapkan agar memotivasi para musisi untuk bersemangat menjadikan kembali Borobudur sebagai pusat musik dunia. Tentu saja dengan berprestasi dan tetap mengangkat musik khas Indonesia, salah satunya pergelaran Sound of Borobudur ini. Momentum Sound of Borobudur juga bisa jadi momen yang tepat bagi para musisi untuk segera bangkit dari pandemi.Â
Referensi :Â
https://japungnusantara.org/sound-of-borobudur/
https://humas.jatengprov.go.id/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI