Mohon tunggu...
Irhamna  Mjamil
Irhamna Mjamil Mohon Tunggu... Apoteker - A learner

Pharmacist | Skincare Enthusiast | Writer Saya bisa dihubungi melalui email : irhamnamjamil@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

4 Cara Menanggapi Glass Ceiling di Dunia Kerja

17 Maret 2021   16:44 Diperbarui: 17 Maret 2021   16:48 907
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh fauxels dari Pexels.com

Masalah kesetaraan gender di lingkungan kerja masih menjadi permasalahan sampai sekarang. Seharusnya perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam meniti karir. Sayangnya kenyataan di lapangan tak demikian.

Adanya stereotip terhadap laki-laki yang dinilai lebih kuat, tegas, dan mengutamakan logika menguntungkan dalam dunia kerja. Tak heran ketika perempuan memasuki dunia kerja milik "laki-laki" banyak yang mempertanyakan keinginannya. Contohnya, perempuan yang ingin berkarier di bidang teknik elektro akan mendapat lebih banyak cercaan. 

Stereotip yang melekat pada perempuan adalah lemah lembut. Sehingga banyak pekerjaan perempuan berhubungan dengan stereotip tersebut seperti perawat, pramugari, dll. Jumlah perempuan yang bekerja memang meningkat. Akan tetapi jumlah perempuan yang menduduki jabatan tinggi sangat sedikit. 

Glass ceiling pertama kali diperkenalkan oleh Wall Street Journal pada tahun 1986. Menurut Jackson(2001), glass ceiling adalah sebuah fenomena dimana adanya hambatan bagi perempuan untuk menduduki posisi senior level di satu perusahaan. Hambatan ini bisa terjadi karena adanya stereotip gender dan juga tradisi perusahaan.

Glass ceiling adalah sesuatu yang sering kali tak terlihat tapi nyata keberadaannya. Glass ceiling terjadi juga dikarenakan anggapan bahwa wanita akan menikah kemudian cuti hamil. Sehingga hal tersebut akan mengurangi kualitas pekerjaan. Lantas apa yang harus dilakukan perempuan jika mengalami fenomena ini di lingkungan kerja?. Simak 4 cara menanggapi glass ceiling di lingkungan kerja. 

Gambar diolah melalui Canva
Gambar diolah melalui Canva

1. Percaya Diri 

Penelitian yang dilakukan oleh Laksanti et al., (2017) dalam artikel "Menginvestigasi Fenomena Glass Ceiling : Mitos atau Fakta?" mengemukakan bahwa menurut para narasumber adanya ketidaksetaraan gender dikarenakan sikap perempuan sendiri yang kurang percaya diri. 

Percaya diri adalah kunci agar orang lain bisa percaya juga. Dalam lingkungan kerja perempuan harus percaya diri dengan kemampuan yang ia miliki. 

2. Buktikan dengan Prestasi 

Masih ingat dengan kasus Susi Pudjiastuti yang sering dihina terkait gender dan pendidikannya yang tidak sarjana? Hinaan boleh saja dilontarkan akan tetapi Susi tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang menteri. Seiring dengan berjalannya waktu dan prestasinya, publik mulai mengakui kemampuannya dalam mengelola ikan dan laut di Indonesia. 

Kasus serupa dengan Susi pasti sering terjadi hanya saja perempuan lebih banyak yang let it go aja. Padahal menurut Cornelius (2005), glass ceiling dapat diminimalkan dengan capabilities theory. Salah satu hal utama dalam teori ini adalah kesiapan perempuan bertindak dan kemampuan yang dimilikinya. 

Perempuan dapat membuktikan kemampuan dengan prestasi yang diperoleh. Contohnya, seorang content writer dapat membuktikannya dengan portofolio yang ia punya sehingga, ia akan lebih dilirik tanpa memperhatikan gender. 

3. Bangun Networking 

Ada satu meme di media sosial yaitu cara mudah mendapatkan kerja adalah dengan orang dalam. Kalimat ini bisa jadi benar bisa jadi juga salah. Di dalam dunia kerja tak ada istilah bekerja sendiri hingga sukses. 

Membangun networking sangat penting dalam perkembangan karir ke depan. Bisa jadi informasi yang kita butuhkan berasal dari salah satu relasi. Semakin banyak relasi maka akan semakin besar peluang perempuan untuk memperjuangkan karir. 

Selain itu, peluang untuk membangun bisnis atau karir baru juga terbuka lebar. Adanya media sosial juga dapat mempermudah perempuan membangun networking. 

4. Terus Belajar 

Penelitian yang dilakukan oleh Laksanti et al., (2017) juga mengemukakan bahwa karena kesibukannya banyak perempuan yang tak sempat untuk belajar hal baru. Dalam hal ini terutama mempelajari communication skill yang sangat berguna bagi perkembangan karir. 

Perempuan yang terus belajar hal baru dapat memberikan dampak yang positif bagi perusahaan. Selain itu perempuan juga dapat lebih kreatif dan memberikan ide inovatif terhadap perusahaan. Hal ini tentu saja menaikkan nilai value di mata perusahaan.

Referensi: 

Cornelius, Nelarine et al . (2005). An Alternative view through the glass ceiling: using capabilities theory to reflect on the career journey of the senior women. Women on Management Review. 

Jackson, Cooper Janet. (2001). Women Middle Manager's Perception of the glass ceiling. Women on Management Review. 

Laksanti et al., (2017). Menginvestigasi Fenomena Glass Ceiling : Mitos atau Fakta?. Forum Manajemen Indonesia. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun