Mohon tunggu...
Irhamna  Mjamil
Irhamna Mjamil Mohon Tunggu... Apoteker - A learner

Pharmacist | Skincare Enthusiast | Writer Saya bisa dihubungi melalui email : irhamnamjamil@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melihat Sisi Lain Kasus Aisha Wedding

13 Februari 2021   14:47 Diperbarui: 13 Februari 2021   15:49 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

10 Februari 2021, jagat maya dihebohkan dengan adanya situs website Wedding Organizer (WO) Aisha Weddings. Wo ini mempromosikan pernikahan dini dan siap untuk memfasilitasi pernikahan tersebut. 

Dikutip dari berbagai sumber, Aisha Weddings mempromosikan nikah muda dengan dalih agama. Mereka juga mengatakan perempuan harus menikah dari umur 12 -21 tahun. 

"Semua wanita Muslim ingin bertaqwa dan taat kepada Allah SWT dan suaminya. Untuk berkenan di mata Allah dan suami, Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak lebih," demikian yang tertulis di website Aisha weddings. 

Tak hanya itu, publik juga dibuat geram dengan isi website yang mengatakan bahwa seorang gadis tugasnya melayani kebutuhan suami. Secara tidak langsung, pihak Aisha weddings mendoktrin setiap anak perempuan untuk tidak sekolah dan mengenyam pendidikan setinggi mungkin. 

"Jangan tunda pernikahan karena keinginan egoismu, tugasmu sebagai gadis adalah melayani kebutuhan suamimu. Anda harus bergantung pada seorang pria sedini mungkin untuk keluarga stabil dan bahagia," tulis Aisha dalam situs tersebut. 

 Situs website tersebut kini telah diblokir oleh kementerian komunikasi dan informasi (Kominfo). Situs tersebut kini telah dilaporkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ke kepolisian. Saat ini sedang dalam proses penyelidikan. 

Kasus Pernikahan Anak Di Bawah Umur masih Tinggi 


Kontroversi website Aisha weddings mengingatkan banyak pihak bahwa kasus pernikahan anak di bawah umur masih tinggi di Indonesia. Website tersebut jeli melihat peluang bisnis didasarkan atas kasus pernikahan anak di bawah umur tersebut. Undang-Undang (UU) nomor 16 tahun 2019, pasal 7 menyatakan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun,". 

Sayangnya data terbaru menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-10 perkawinan anak tertinggi di dunia. Data tersebut diperoleh dari laporan penelitian mengenai perkawinan anak yang dilakukan oleh Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak (Puskapa) bersama UNICEF, Badan Pusat Statistik (BPS), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2020. 

Sejatinya setiap anak berhak memperoleh pendidikan seluas-luasnya. Sayangnya faktor kemiskinan, perilaku seks menyimpang, permasalahan keluarga mendorong anak untuk menikah. Beberapa orangtua juga memasak anaknya untuk menikah karena faktor kemiskinan. 

Pandemi covid-19 yang melanda dunia mengakibatkan banyak orang kehilangan pekerjaan dan angka kemiskinan naik. Anak-anak pun tak dapat melaksanakan proses pembelajaran secara tatap muka. Imbasnya banyak dari mereka yang sering berjumpa dengan pacarnya dan memutuskan untuk menikah. 

Dikutip dari laman bbc.com, ratusan pernikahan dini terjadi selama pandemi. Selain sering berjumpa pacar, banyak juga yang menikah karena faktor ekonomi. Banyak orangtua yang kehilangan pekerjaan akhirnya memaksa anaknya untuk menikah. Selain itu, ada yang tidak bisa bersekolah dan tidak memiliki dana untuk membeli gadget sehingga, ketika ada yang meminta untuk nikah anak tersebut langsung dinikahkan. 

Lantas apa pernikahan dini menjadi solusi dari masalah yang dihadapi ? 

Faktanya menikah di bawah umur 19 tahun rentan mengalami banyak masalah termasuk penceraian. Dari sisi psikologis, banyak anak yang belum siap menikah sehingga emosinya belum stabil. Selain itu, angka kekerasan dalam rumah tangga juga lebih sering terjadi. Data di lapangan menyebutkan bahwa banyak anak perempuan yang menyesal memutuskan untuk menikah dini. Organ reproduksi juga belum berkembang sempurna sehingga besar kemungkinan anak yang dilahirkan mengalami masalah akan rendahnya kualitas gizi, cacat bawaan, dan sebagainya.

Embel-Embel Menghindari Zina 

Di Indonesia isu agama sangat mudah digiring dengan keperluan tertentu. Contohnya, kasus poligami. Banyak dari lelaki yang memutuskan untuk berpoligami karena disunahkan oleh agama Islam. Sayangnya tak banyak yang memahami sunah tersebut dengan benar-benar. Poligami dapat dilaksanakan dengan syarat harus dapat berlaku adil, dan hanya orang dengan ilmu agama yang luas yang mampu menjalaninya. 

Pernikahan dini juga sering dikaitkan untuk menghindari zina. Padahal banyak cara yang dapat dilakukan untuk menghindari zina, salah satunya adalah menanamkan nilai-nilai agama kepada anak sejak dini. 

Anak-anak yang ditanamkan agama sejak dini memiliki benteng dalam berbuat hal-hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai norma. Pendekatan keluarga juga dianggap mampu membentengi anak-anak untuk membuat hal yang tidak diinginkan. Justru sebaliknya, anak-anak yang tidak dekat dengan keluarga cenderung lebih gampang stress. 

Imbasnya akan berdampak pada sikap sang anak yang agresif dan kasar. Banyak juga yang melarikan diri ke hal-hal yang tidak diinginkan seperti sex bebas, minuman beralkohol, judi, danlainsebagainya.

Pola Pikir yang Konservatif 

Pasti banyak yang tidak asing dengan kalimat "perempuan itu tugasnya hanya dapur, kamar, dan sumur". Kalimat yang menggambarkan masih banyak orang tua yang memiliki pola pikir konservatif tentang tugas seorang perempuan. 

Kondisi tersebut membuat Aisha weddings mengambil peluang sehingga muncullah tulisan di website "seorang gadis tugasnya melayani suami". Padahal mendidik anak bukanlah hal yang mudah. Terlebih hidup di zaman informasi bisa diakses melalui genggaman jari. 

Perempuan yang cerdas mampu mendidik anak dengan baik serta dapat menciptakan generasi muda yang hebat. Di era revolusi industri 4.0, perempuan tidak seperti dulu yang hanya memiliki tugas di dapur, kamar, dan sumur. Mendidik anak di zaman sekarang banyak sekali tantangan. Terlepas dari akan bekerja atau menjadi ibu rumah tangga, perempuan harus sekolah tinggi agar menghasilkan anak-anak yang cerdas. 

Pola pikir dan streotip tersebut membuat banyak wanita yang akhirnya memilih untuk tidak melanjutkan sekolah mereka. Stereotip lainnya adalah perempuan tidak baik jika harus melanjutkan sekolah sarjana hingga Pascasarjana ke luar negeri atau kota tanpa ditemani oleh orang tua atau suami. 

Hal tersebut terjadi karena dikhawatirkan perempuan akan mengalami pelecehan seksual, tidak bisa mandiri, dan sebagainya. Sedangkan lelaki tidak apa-apa jika harus belajar ke luar negeri atau kota. Hal-hal inilah yang menghambat perempuan untuk sekolah setinggi mungkin. 

Jadi bagaimana apa pernikahan dini dan kesetaraan gender dalam pendidikan sudah menjadi alarm darurat bagi pemerintah ? Semoga ke depannya semakin banyak regulasi yang dikeluarkan pemerintah untuk mendukung hak-hak perempuan. Salah satunya adalah Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun