Mohon tunggu...
irhamna
irhamna Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswi

bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Warung Pinggir Stasiun

6 Desember 2024   17:57 Diperbarui: 6 Desember 2024   18:05 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: pinterest; coffe sunset

   Aku menatap arloji di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul tujuh malam, lalu mengembalikkan tanganku ke tempat semula di pegangan kereta. Sama seperti hari sebelumnya, lagi-lagi kereta yang kutumpangi di jam malam selalu penuh sesak dengan orang-orang lelah, berpeluh keringat setelah bekerja. Kilatan lampu yang seolah dipercepat oleh laju kereta tampak melewati jendela. Setidaknya, meski harus berlari-lari mengejar jadwal kereta, aku dapat pulang lebih cepat dibanding hari biasanya.

            Sedangkan jadwal kereta jurusan Cibinong-Nambo yang menjadi tujuan akhirku datang tiap 2 jam sekali, sedangkan jadwal kereta Nambo berikutnya masih menunggu 30 menit. Kuputuskan lebih baik mencari makan malam lebih dulu lalu kembali ke stasiun. Biasanya di setiap pinggir jalan banyak bertebaran restoran atau kedai yang menyediakan nasi lauk, namun kelihatannya malam ini banyak sekali warung yang tutup. Di tengah perempatan setelah menuruni tangga dari stasiun, masih ada warung kecil yang buka, cahaya lampu jalan di dekat pohon menerangi sekeliling warung yang nampaknya tidak terlalu terlihat itu.

"Permisi, apa ada jual nasi?" Aku membuka tirai yang tergantung, seorang ibu paruh baya sedang menyeduh kopi, pada meja di depannya ada dua orang laki-laki, yang seorang sudah minum bergelas-gelas kopi sambil sibuk menghitung uang, dan  lelaki satunya lagi hanya duduk tenang dengan asbak dan rokok yang sudah mati. Aku duduk di kursi yang kosong. Berseberangan meja dengan mereka.

Melihat kemeja rapi yang kugunakan, salah seorang laki-laki yang sudah selesai menghitung uang itu menyapa dengan suara serak, tersenyum meski aura sangarnya tidak berkurang.

"Kerja di mana mas?" Tanyanya sekilas menatapku.

"Saya masih kuliah Bang" Jawabku dengan spontan, mungkin karena melihat mukaku seolah sudah melakukan pekerjaan dari pagi sampai malam. Abang itu lalu menurunkan pandangannya dari atas sampai bawah melihat penampilanku.

            Sepiring nasi dan telur dadar sambal merah di sodorkan padaku, aku mulai lahap memakannya sesudah merasa kelaparan sejak siang. Nasib seorang mahasiswa semester akhir yang hobi organisasi, suka bolak-balik revisi, ditambah menjadi guru privat ternyata merepotkan.

"Saya dulu pernah kuliah" Abang yang satu lagi, yang sejak tadi hanya duduk menyeletuk tiba-tiba, sambil merogoh dompet di saku belakang celananya, lalu ia memperlihatkan foto bewarna hitam putih padaku dengan raut bangga. Foto lama yang ujungnya sudah kekuningan itu jelas di ambil saat kamera belum secanggih sekarang. Karena tidak tahu harus mengatakan apa, aku kembali tersenyum simpul.

"Dulu kuliah itu disebut pendidikan yang cuma dapat dicapai orang berada, keluarga saya bukan kalangan itu, tapi ayah saya mokso saya buat kuliah, padahal tau anaknya pas sekolah kerjaanya gimana" Abang itu bercerita sambil terkekeh-kekeh. Mungkin saja kuliahnya belum selesai dan dia berhasil mendapat pengalaman dari masa hidupnya saat itu. Abang itu meminum kopi yang baru disajikan ibu warung dan memasukkan dompetnya ke saku celana.

"Meski gitu, saya awalnya cuma main-main kuliah, tapi untung temen-temen saya orangnya rajin, jadi saya ikut belajar" Ujarnya beberapa saat. Aku mendengarkan dengan baik meski menanggapi dengan kalimat pendek seperti "Oh begitu Bang". Sebenarnya, jauh sekali membayangkan penampilan abang ini saat masih muda mungkin saja berbalikan dari sekarang. Kini tubuh kurusnya memakai kaus hitam besar dan celana pendek selutut, ditambah ada kalung yang melingkar di lehernya.

"Abis itu saya ditelpon orang kampung, disuruh cepat balik karena bapak jatuh di kamar mandi" Kali ini aku tidak bisa menangkap raut wajahnya yang sedang menunduk. Setelah bercerita itu, dia kembali menyeruput pelan segelas kopi di depannya.

            Begitu makanku sudah selesai, Abang tadi sudah pergi lebih dulu. Tersisa hanya pria yang sedang merokok di ujung meja. Aku membayar kepada ibu warung, dan keluar dari sana tepat tiga menit sebelum kereta datang.

            Aku duduk di peron tujuan keretaku, dan sekilas aku melihat Abang tadi, tapi kemudian aku melihatnya masuk ke kamar mandi dan setelahnya menuju musala kecil. Aku melihat arlojiku, dan berbalik melihat ke depan, kereta tujuanku sudah datang, tapi badanku tidak tergerak meski melihat bangku penumpang berderet kosong. Aku berdiri ketika kereta melaju meninggalkanku yang masih menunduk. Perasaan untuk mengejar tidur lebih awal pun sudah menghilang.

            Malam itu aku merasa kagum dengan seorang pria yang bilang ia belum bisa mencapai gelar sarjana. Sekilas aku sempat melihat tulisan kecil di bawah fotonya -bertuliskan jurusan yang sama denganku. Teringat kejadian tadi, rencana yang telah kususun jatuh berantakan begitu saja, ketika aku ingin meminta tanda tangan dosen untuk mendaftar ujian proposal. Memang perencanaan ini sudah kuulur-ulur dengan alasan kesibukanku bekerja menjadi guru private di salah satu bimbel. Satu-satu temanku sudah mengerjakan skripsi dan aku masih mencoba menulis proposal.

          Siang tadi, kurasa darahku naik sampai ubun-ubun. Sial! Dosen yang menjadi syaratku untuk mendapatkan tanda tangan persetujuan malah tidak datang. Padahal, jauh dari hari belakang, aku sudah mengabari dan menanyakan ketersediannya untuk bertemu. Kutunggu sampai sore di kantor jurusan namun sia-sia. Seolah-olah usahaku dalam empat tahun belakang ini menguap hanya karena ketidak ikutsertaanku untuk mendaftar ujian proposal hari ini.

       Tiga jam yang lalu- aku masih merasa menjadi orang paling menyedihkan dalam hidup, lalu entah setengah jam yang lalu- aku baru merasakan pilu, bukan karena apa yang terjadi padaku, tapi apa yang kurasa terjadi pada abang itu. Aku tidak tahu bagaimana menanggapi ceritanya dengan keterbatasan kata-kata yang kupakai dalam pikiran. Pun, aku tidak bisa menemukan kata yang tepat untuk memosisikan diri menjadi dia.

        Tapi sepertinya aku keliru, dia tidak sama sekali memerlukan belas kasihan atau kata-kata klise dariku. Tidak, karena saat melihat wajahnya selesai bercerita, aku tidak menangkap guratan sedih atau kecewa. Hanya yang kulihat saat itu, wajah seorang yang sedang menjalani hidup sebagaimana dirinya kini. Wajah itu juga adalah wajah orang yang tahu apa yang langsung ia kerjakan ketika adzan berkumandang.

            Langkahku terasa ragu-ragu awalnya, kemudian begitu melepas sepatu dan menyentuh karpet hijau, aku mantap menggulung lengan kemejaku sampai siku dan mengambil air wudhu. Aku mengusap wajahku yang terasa dingin, air ini seolah memiliki kekuatan untuk meluruhkan seluruh lelah yang kurasa. Aku jelas tahu bagaimana caranya sholat, tapi entah kenapa aku merasa sholatku di malam-malam sebelumnya hanya semata-mata sebuah kewajiban, seperti ini pertama kali aku baru merasakan kehebatannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun