Aku menatap arloji di pergelangan tanganku yang menunjukkan pukul tujuh malam, lalu mengembalikkan tanganku ke tempat semula di pegangan kereta. Sama seperti hari sebelumnya, lagi-lagi kereta yang kutumpangi di jam malam selalu penuh sesak dengan orang-orang lelah, berpeluh keringat setelah bekerja. Kilatan lampu yang seolah dipercepat oleh laju kereta tampak melewati jendela. Setidaknya, meski harus berlari-lari mengejar jadwal kereta, aku dapat pulang lebih cepat dibanding hari biasanya.
      Sedangkan jadwal kereta jurusan Cibinong-Nambo yang menjadi tujuan akhirku datang tiap 2 jam sekali, sedangkan jadwal kereta Nambo berikutnya masih menunggu 30 menit. Kuputuskan lebih baik mencari makan malam lebih dulu lalu kembali ke stasiun. Biasanya di setiap pinggir jalan banyak bertebaran restoran atau kedai yang menyediakan nasi lauk, namun kelihatannya malam ini banyak sekali warung yang tutup. Di tengah perempatan setelah menuruni tangga dari stasiun, masih ada warung kecil yang buka, cahaya lampu jalan di dekat pohon menerangi sekeliling warung yang nampaknya tidak terlalu terlihat itu.
"Permisi, apa ada jual nasi?" Aku membuka tirai yang tergantung, seorang ibu paruh baya sedang menyeduh kopi, pada meja di depannya ada dua orang laki-laki, yang seorang sudah minum bergelas-gelas kopi sambil sibuk menghitung uang, dan  lelaki satunya lagi hanya duduk tenang dengan asbak dan rokok yang sudah mati. Aku duduk di kursi yang kosong. Berseberangan meja dengan mereka.
Melihat kemeja rapi yang kugunakan, salah seorang laki-laki yang sudah selesai menghitung uang itu menyapa dengan suara serak, tersenyum meski aura sangarnya tidak berkurang.
"Kerja di mana mas?" Tanyanya sekilas menatapku.
"Saya masih kuliah Bang" Jawabku dengan spontan, mungkin karena melihat mukaku seolah sudah melakukan pekerjaan dari pagi sampai malam. Abang itu lalu menurunkan pandangannya dari atas sampai bawah melihat penampilanku.
      Sepiring nasi dan telur dadar sambal merah di sodorkan padaku, aku mulai lahap memakannya sesudah merasa kelaparan sejak siang. Nasib seorang mahasiswa semester akhir yang hobi organisasi, suka bolak-balik revisi, ditambah menjadi guru privat ternyata merepotkan.
"Saya dulu pernah kuliah" Abang yang satu lagi, yang sejak tadi hanya duduk menyeletuk tiba-tiba, sambil merogoh dompet di saku belakang celananya, lalu ia memperlihatkan foto bewarna hitam putih padaku dengan raut bangga. Foto lama yang ujungnya sudah kekuningan itu jelas di ambil saat kamera belum secanggih sekarang. Karena tidak tahu harus mengatakan apa, aku kembali tersenyum simpul.
"Dulu kuliah itu disebut pendidikan yang cuma dapat dicapai orang berada, keluarga saya bukan kalangan itu, tapi ayah saya mokso saya buat kuliah, padahal tau anaknya pas sekolah kerjaanya gimana" Abang itu bercerita sambil terkekeh-kekeh. Mungkin saja kuliahnya belum selesai dan dia berhasil mendapat pengalaman dari masa hidupnya saat itu. Abang itu meminum kopi yang baru disajikan ibu warung dan memasukkan dompetnya ke saku celana.
"Meski gitu, saya awalnya cuma main-main kuliah, tapi untung temen-temen saya orangnya rajin, jadi saya ikut belajar" Ujarnya beberapa saat. Aku mendengarkan dengan baik meski menanggapi dengan kalimat pendek seperti "Oh begitu Bang". Sebenarnya, jauh sekali membayangkan penampilan abang ini saat masih muda mungkin saja berbalikan dari sekarang. Kini tubuh kurusnya memakai kaus hitam besar dan celana pendek selutut, ditambah ada kalung yang melingkar di lehernya.
"Abis itu saya ditelpon orang kampung, disuruh cepat balik karena bapak jatuh di kamar mandi" Kali ini aku tidak bisa menangkap raut wajahnya yang sedang menunduk. Setelah bercerita itu, dia kembali menyeruput pelan segelas kopi di depannya.