Pamer Bukan Masalah Melainkan Anggapan
"Begitu hari raya tiba, para kalangan usia mulai menapaki jalan dan rumah-rumah dengan baju baru, penampilan baru, bahkan yang sebelumnya berpenampilan pas-pasan mendadak merias diri seperti pemain film layar lebar. Iya itulah momen lebaran. Tidak ada aturan, hak, dan kewajiban yang membatasi siapapun untuk ber molek-molek dan ber cuci-cuci pandang".
Bukan menjadi masalah yang serius ketika membahas fenomena kultur sosial yang disebut, pamer. Kata itu merupakan akulturasi dari sifat ke etika yang menempati bagian dari kehidupan sosial. Hanya saja, praktek pamer menjadi perilaku kurang normatif dalam topografi masyarakat desa.Â
Kalau di daerah perkotaan, Tebar pesona atau pamer adalah hal yang lumrah, di mana kemajuan budaya dan cara pandang antara penduduk kota dan desa berbeda. Karakter orang-orang kota cenderung individual dan apatis. Artinya, tidak terlalu memperhatikan gaya hidup (pamer) dan atau rutinitas satu sama lain. Beda lagi, kalau pamer diterapkan pada lingkungan berkarakter sosial tinggi (masyarakat desa), hal itu bisa dinilai tabu dan kurang bermoral.
Dalam kamus bahasa Inggris, Oxford Dictionaries, istilah "pamer" atau "tebar pesona" dapat dikenal dengan kata show-off yang berarti tindakan secara sengaja untuk memamerkan diri, kepemilikan, atau prestasi.Â
Sedangkan dalam kamus KBBI, kata pamer didefinisikan sebagai upaya menyombongkan diri dengan tujuan memperlihatkan kelebihan kepada orang lain. Sekalipun pengertianya bermuara pada perilaku yang kurang baik (sombong), tetapi ada sesuatu positif pula yang dapat diperoleh dari praktek pamer. Tentu harus dibarengi dengan motif baik.
Sebagaimana diungkapkan oleh Hotman Paris, Pengacara kondang konglomerat, yang pernah mendapat kecaman dari perilaku yang suka memamerkan harta. Tidak marah, Hotman kemudian menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dianugerahkan oleh tuhan harus difungsikan sebagaimana mestinya.Â
Bila sesuatu dibiarkan itu berarti sama sekali tidak mensyukuri pemberian. Hal ini senada dengan Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Bumi Manusia, "Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri".
      Bukan masalah
Kalau mengamati definisi dari Hotman Paris dan Pramoedya Ananta Toer. Saya menyimpulkan bahwa pamer atau tebar persona bukan sebuah masalah karena berkenaan dengan hak. Tidak ada regulasi yang melarang seseorang untuk berekspresi, baik kualitas diri, barang berharga, dan prestasi.Â
Berekspresi merupakan kebebasan bagi siapa saja dan tidak ada batasan tertentu untuk meninjau perilaku tersebut. Dari kacamata hukum, praktek pamer tidak sampai menyentuh diskriminasi atau kriminalitas. Mungkin saja, Potensi pamer dapat mengurangi nilai moral dan etika sosial.
Tidak salah pulalah orang mempamerkan kualitas diri. Kalau saya melihat dari jendela lain, manifestasi pamer kualitas diri justru berpotensi memotivasi dan merangsang untuk meniru dan menerapkan.Â
Seperti, Bapak Rocky Gerung, King of Calling Dungu, yang menganggap dirinya paling cerdas. Fakta memang melihat dan mengatakan seperti itu. Beliau adalah mantan dosen di UI (Universitas Indonesia). Beliau juga menyumbang pikiran di beberapa lembaga yang mempengaruhi kemajuan intelektual negara. Meski seolah-olah beliau merendahkan orang lain, tetapi slogan beliau berbicara tidak. Beliau ingin mengajak kita untuk berfikir jernih dan kritis.
Seseorang berhak mengenakan barang berharga dari kerja keras dan usaha tiada henti. Buah hasil dari jerih payah harus diapresiasi untuk membuktikan bahwa setiap proses tidak pernah menghianati hasil. Sangat wajar dan tidak masalah apabila seseorang bermegah-megahan ketika pulang kampung. Mereka ingin menunjukkan apa yang digeluti dan apa yang diperjuangkan.Â
Mereka ingin menunjukkan kesuksesan karir, bisnis, dan lain sebagainya. Kalau masyarakat mengira penampilan baru sebagai pencitraan, semisal. Hal tersebut tidak perlu ditanggapi. Hanya mereka yang lemah, iri, dan drengki yang berpikir penampilan baru sebagai praktek pamer.
Selain itu, berbicara mengenai prestasi mungkin identik dengan bawaan pengalaman berharga dan bernilai. Pengalaman berharga selama menjalani proses hingga membuahkan prestasi yang menjulang.Â
Sekali lagi, bukan menjadi masalah apabila orang menceritakan pengalaman bermutu dan memperoleh penghargaan, seperti hadiah, door-prize, dan lain sebagainya yang kemudian dibawa pulang kampung. Ketika masyarakat setempat menganggap hal itu tidak perlu atau tabu. Biarkan saja! setiap orang berhak untuk menghias diri dan menikmati segala bentuk hasil yang diperoleh dari ketekunan dan keuletan selama hidupnya.
Pamer atau tebar pesona bukan masalah yang berhubungan dengan diskriminasi atau kriminalitas, melainkan nilai status sosial. praktek semacam ini bila ditinjau lebih terbuka, ada potensi yang secara tidak sengaja dapat dimanfaatkan dan diterapkan.Â
Kalau seseorang dibekali pikiran ciut, mungkin pamer atau tebar pesona membawa kesan buruk, pencitraan, bahkan tidak bermoral sama sekali. Tetapi, kalau seseorang dibekali pikiran luas, ia akan mencoba untuk membedah: mengapa dia bisa seperti itu? apa yang dia lakukan? Dan apa yang dia perjuangkan? Bagaimanapun, pamer dan tebar pesona merupakan hak dan kebebasan ekspresi yang siapa saja boleh melakukanya asal dibarengi bukti nyata, bukan flexing, bukan sewa barang, dan bukan dari penipuan.
     Â
     Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H