Solusi Mandiri Hadapi Marak Klitih dan Begal
Sebelum saya menulis artikel ini, saya memeriksa dahulu lonceng pemberitahuan pada kompasiana. Saya terkejut ketika membaca pewartaan dengan tajuk "Marah Klitih di Kota Pelajar". Berita pembunuhan seorang remaja di kota Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota yang identik dengan semangat pelajar berpengetahuan dan kental dengan khalayak kampus itu harus dilukai dengan tragedi pembunuhan, yakni klitih. Kata klitih mungkin jarang didengar dalam ilmu pengetahuan. Namun, kata itu menjadi suara paling menakutkan bila dikaitkan dengan konteks kesosialan.
Secara Etimologi, klitih berasal dari bahasa Jawa, yakni aktivitas keluar rumah yang dilakukan seseorang untuk sekedar mencari udara segar, melegakan kepenatan selepas bekerja, dan atau setelah berada seharian dalam rumah. Sedangkan sumber lain menyebut, klitih dimaknai sebagai kegiatan yang dilakukan seseorang untuk tujuan tertentu, seperti nongkrong, atau keluyuran pada malam hari. Dalam perkembanganya, kata klitih kemudian beralih fungsi sebagai praktek kriminalitas, sebuah tindak-tanduk kekerasan dan kejahatan jalanan dibarengi senjata tajam sebagai ancaman terhadap korban.
Sementara, epistemologi makna klitih itu sendiri tidak jauh beda dari kata begal. Aksi kriminalitas kelas kakap, seperti perampokan dan perampasan menggunakan kendaraan bermotor dan senjata tajam dengan cara paksa. Pelaku begal biasanya mengintai mangsa di sepanjang jalan sepi dan melancarkan aksinya pada petang hari. Namun, tidak sedikit juga aksi begal marak di terang hari. Dilihat dari segi praktek, kata klitih dan begal memiliki konotasi dan tujuan yang sama, yakni mengambil alih hak orang lain dengan cara paksa dan ancaman. Pelaku begal dan klitih dalam merealisasi tujuannya bisa dengan melukai, mencelakai, bahkan tega membunuh korban demi mengeruk lebih banyak keuntungan. Â
Praktek klitih dan begal ini harus ditanggapi secara serius oleh pemerintah, masyarakat, dan ormas-ormas setempat. Pasalnya, praktek begal ini tidak hanya terjadi pada momen-momen tertentu, melainkan kapan saja dan di mana saja. Kalau diibaratkan, pelaku klitih dan begal berbanding lurus dengan praktek maling, di mana sama-sama memanfaatkan kesempatan untuk melucuti mangsanya di semua waktu dan tempat. Tentu bentuk kriminal semacam ini membahayakan dan mengganggu keberlangsungan hidup yang harus disikapi dengan tegas dan dihukum seberat-beratnya. Mau berapa korban yang dilukai? Mau berapa korban yang dirugikan? Dan mau berapa korban yang terbunuh?
Jika pemerintah masih belum gerak dan terjun ke lapangan, masyarakat sibuk dengan urusan finansial, serta ormas berkutat dengan visi dan misi pencapaian, maka disitulah  individu sendiri yang harus menyikapi dengan bahana tindakan kriminalitas yang meresahkan dan merugikan itu. Individu tidak harus memerangi secara mandiri karena fenomena kriminalitas sudah menjadi tugas pengamanan negara. Setidaknya, individu dapat menghindari model kriminalitas begal dan klitih ini dengan beberapa hal.
      Pertama, memperhatikan waktu
Selain mengatur waktu bernilai dalam menjamin karir, untuk tercegah dari perilaku kejahatan  juga tak kalah penting dengan mengatur waktu. Mengingat marak praktek kejahatan, seperti diskriminasi dan kriminalitas dapat terjadi di manapun dan kapanpun sehingga butuh bekal keselamatan penangkal yang kokoh ( mengamati waktu). Pasalnya, pelaku klitih atau begal itu sendiri tidak kenal waktu dalam menjalankan aksinya. Jika ada kesempatan, pasti ditunaikan entah siang, sore atau malam hari. Bahkan, dalam suasana ramai, mereka dapat melumpuhkan korban dengan motif-motif kejahatan yang variatif. Dengan pengaturan waktu yang sesuai, seseorang dapat mengamati kapan dan pukul berapa biasanya klitih dan begal beraksi. Hal tersebut dapat diperoleh dari berita dan korban-korban begal.
      Kedua, jangan keluar malam sendiri
Keluar malam untuk sekedar mencari udara segar atau menikmati hiruk pikuk suasana mungkin perlu setelah seharian bekerja dan bersekolah bagi pelajar atau mahasiswa. Namun, yang terpenting adalah tidak keluar malam secara mandiri. Potensi kejahatan lebih sering menimpa mereka yang kerap keluar malam sendiri, baik di jalan, di lorong, atau tempat-tempat yang menguntungkan bagi aksi kejahatan. Para pelaku klitih atau begal kerapkali melancarkan aksinya pada jam-jam petang hari. Jam malam adalah waktu yang pas karena beberapa aktivitas mulai tidak aktif. Mereka mengintai para mangsanya yang menunggangi motor, mobil, dan lain sebagainya secara sendiri. Para begal dan klitih sangat diuntungkan dengan pengguna tunggal motor atau mobil karena mereka dapat melunakkan korban tanpa ada perlawanan. Â
      Ketiga, Hindari lokasi-lokasi sepi
Lokasi-lokasi sepi merupakan tempat utama pelaku klitih dan begal dalam menjinakkan targetnya. Di lokasi sepi, kode pemberitahuan korban, semisal berteriak atau upaya-upaya permintaan tolong, tidak akan berfungsi sebagaimana terdengar jelas pada tempat yang ramai. Disinilah, pelaku dapat memeras benda-benda berharga milik korban secara leluasa. Pelaku mengancam dengan cara melukai bahkan tak segan membunuh jika korban menolak dan melawan untuk melancarkan aksinya. Ini menjadi sesuatu mawas diri bagi siapapun, terutama para pekerja pada malam hari. Mengutamakan keselamatan diri dengan menghindari jalanan sepi jauh lebih penting dibanding harus rugi bahan bakar dan tenaga akibat putar balik melewati jalan panjang dan ruas jalan yang dipadati orang.
      Keempat, kenali motif kejahatan
Semakin ketat tingkat keamanan semakin variatif pula tipe kejahatan. Premis ini tidak dapat dipisahkan, seperti firasat seorang ibu terhadap anaknya. Mereka secara seksama berupaya unjuk penanganan. Keamanan berusaha melerai kejahatan lewat cara regulasi. Kejahatan berusaha mengendalikan keamanan dengan cara bersembunyi. Motif kejahatan pelaku klitih dan begal dapat diidentifikasi pada dua hal. pertama, motif kebutuhan ekonomi. Kebutuhan ekonomi yang menyeruak menjadi alasan bagi para pengangguran untuk mendapatkan barang berharga dengan cara cepat dan instan (tidak bekerja keras). Kedua, hedonisme. Mengikuti trend dan termakan gaya hidup glamor memicu seseorang yang tidak memiliki uang banyak untuk melakukan perbuatan haram. Tidak menutup kemungkinan, ketika finansial menciut, aksi-aksi pindah tangan menjadi solusi alternatif.
Pada praktiknya, pelaku klitih dan begal dalam menjalankan motif pertama biasanya menerapkan mimik wajah perlu dikasihani. Pelaku mengelabui korban dengan perilaku-perilaku seolah butuh pertolongan. Korban yang merasa iba tentu menolong pelaku tanpa curiga. Pelaku kemudian meminta kepada korban untuk mengantar ke suatu lokasi sepi yang sudah direncanakan. Di situ, babak penyisihan dimulai. Dalam motif kedua, pelaku klitih dan begal biasanya menerapkan metode "iming-iming". Metode ini berupa bujukan atau rayuan berkedok penipuan, seperti memberi pekerjaan dengan gaji menjanjikan. Ketika korban diminta oleh pelaku untuk menuju lokasi yang disepakati, disitulah pelaku dan rekan-rekanya melucuti barang-barang berharga dan mengeksekusi korban.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI