Mohon tunggu...
M. Irham Jauhari
M. Irham Jauhari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pendiri Terapifobia.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tumpukan Buku yang Tidak Terbaca

20 Juni 2024   11:38 Diperbarui: 20 Juni 2024   11:42 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membeli buku adalah kesenangan. Membaca buku lain cerita. Orang bisa suka sekali memborong buku. Kemudian menumpuk rapi di rak kesayangan. Tentu saja hanya sebagai pajangan belaka. Orang-orang model begini disebut Bibliosmia, orang yang suka aroma khas buku disebut dengan "bibliosmia" yang diambil dari kata Yunani untuk 'buku' dan 'bau'. Bibliosmia merupakan hubungan antara penciuman dan ingatan.

Sebagai bibliosmia, membeli buku baru adalah kesenangan yang tiada tara. Harumnya bisa menjadi pereda stress. Sekaligus menghilangkan esensi dari buku itu sendiri. Terjebak pada nostalgia harumnya buku baru. Padahal, sejatinya membeli buku adalah untuk mempermudah kita belajar. Tanpa perlu meminjam kepada siapapun.

Masalah selanjutnya kemudian datang: waktu untuk membaca. Di usia awal 30-an ini, saya merasakan betul. Kesibukan pekerjaan hampir tidak ada hubungannya dengan buku. Satu-satunya buku yang wajib dibaca adalah buku harga pekerjaan. Karena disanalah pendapatan mulai diperhitungkan. 

Saya sering mengamati orang-orang yang dalam seumur hidupnya tidak pernah membaca buku populer sama sekali. Tetapi hidupnya mapan. Mentalnya tangguh, sehat dan bermental baja. Mindsetnya jauh di atas rata-rata orang. Orang model begini ketika sekolah tidak pernah rangking satu. Bolos menjadi kebiasaan yang sudah biasa. Tetapi nyatanya, di kehidupan nyata mereka tetap bisa sukses.

Kutukan Buku

Berdasarkan riset pribadi yang tanpa metodologi penelitian. Saya saat ini sampai pada sebuah kesimpulan bahwa orang yang tidak pernah membaca buku populer sama sekalipun hidupnya tetap bisa sukses. Karena orang-orang yang tidak suka membaca buku, tidak pernah membaca buku, mereka punya kelebihan dalam kecerdasan sosial dan emosional.

Kebiasaan suka membaca buku tidak jarang berakhir mengutuk penganutnya. Menjadi anti sosial. Atau paling minimal "mengaku" sebagai introvert. Sebuah keadaan yang tidak merasa nyaman di tengah-tengah keramaian manusia. Para introvert mengaku hanya nyaman dalam kesunyian, kesendirian dan terutama membaca buku, sendiri.

Di dunia kerja, orang-orang introvert yang suka membaca buku memang kuat secara nalar kritis. Tapi lemah secara social sense, kepekaan sosial. Juga lemah secara manajemen emosional. Cenderung emosional ketika berhadapan dengan masalah yang tidak ada bukunya.

Sebagian besar buku membahas masa lalu atau apa yang "bekerja" untuk masa lalu. Sedangkan masalah terkini, "disini" dan "sekarang" hampir tidak ada bukunya. Kalaupun ada yang bisa dipakai adalah cara berpikirnya, metodologinya. Tidak ada langkah demi langkah yang spesifik. Karena sebuah ilmu adalah rumus yang berlaku secara umum. Sedangkan masalah kita, secara personal, adalah masalah spesifik yang butuh penalaran spesifik dan mendetail.

Ketika tidak sedang membaca buku, saya suka sekali mengamati, ngobrol dan menyelami orang-orang yang tidak membaca buku. Bagaimana mereka semua merangkai pengetahuan dari pengalaman. Mengasah ketrampilan negosiasi dengan terjun langsung di lapangan. Tidak butuh banyak baca. Mereka mengasah kepekaan terhadap siatuasi dan kondisi lapangan. Hasilnya, mereka lebih peka terhadap peluang yang ada.

Orang-orang yang membaca buku. Cenderung apa-apa serba buku. Mencari solusi, membeli buku. Sedang stress, membaca buku. Padahal diam dan mengamati keadaan adalah juga sebuah proses membaca.

Berhenti Membeli Buku

Pada kondisi ini, saya memutuskan untuk membeli buku dalam jumlah yang paling minimal. Sebelum membeli buku, saya akan tunda sampai saya benar-benar membutuhkan untuk membeli buku.

Sebelum akhirnya saya membeli buku, pertama saya akan membaca cuplikannya di Google Books. Kemudian membaca resensi-resensinya terlebih dahulu. Bahkan sering kali, kita akan menemukan ringkasan-ringkasan buku yang sudah memuaskan hasrat kita untuk membaca buku tersebut. Atau, paling tidak memahami garis besar buku itu menjelaskan tentang apa.

Pada akhirnya saya menyadari bahwa membaca buku memanglah sebuah kebutuhan personal. Hal ini terjadi karena kebiasaan yang telah dilakukan bertahun-tahun. Membeli buku tidak sepenting membaca buku, memahami isi kemudian mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Percuma membaca, memahami isi buku Seni Hidup Minimalis, kalau ternyata setiap hari semakin banyak barang yang dibeli. Sedangkan barang-barang tersebut justru semakin membuat hidupnya tidak minimalis.

Ketika menjalani tirakat "tidak membeli buku", saya terpaksa harus berfokus pada buku-buku apa saja yang telah saya koleksi. Baru tersadar bahwa beberapa buku yang dipinjam orang ternyata tidak kembali. Beberapa buku favorit saya ternyata tidak ada.

Kembali menyentuh koleksi buku-buku lama ternyata mendatangkan kesenangan tersendiri. Membuka catatan-catatan yang ada di buku lama tersebut. Mengingat kembali isi apa yang menarik untuk dipraktekkan hari ini.

Tidak membeli buku berarti punya lebih banyak waktu untuk merampungkan buku-buku lama. Membaca kembali buku-buku koleksi. Ternyata hal demikian juga merupakan bagian dari seni hidup minimalis. Sedikit barang, lebih bahagia.

Rak yang dimakan rayap karena tidak pernah diperhatikan. Ternyata mengancam keamanan buku-buku lama. Kemudian saya pindahkan ke tempat yang lebih aman, lebih terlihat. Menata rapi buku-buku favorit. Pemandangan rak buku yang tertata rapi mendatangkan mood kerja yang lebih baik.

Tidak Wajib Menulis

Kutukan lain seorang kutu buku adalah ingin menjadi penulis. Kalau bisa, bestseller. Sebuah imajinasi yang tentu saja berhasil bagi banyak orang. Tidak berhasil untuk lebih banyak orang lainnya.

Karena menjadi kutu buku tidak serta merta menjadikan seseorang penulis handal. Memang kosakatanya melimpah. Tetapi proses menulis tidak cuma soal kosa kata. Menulis itu sendiri adalah sebuah kegiatan yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan membaca.

Keinginan seperti itu pun hinggap kepada saya. Hingga saya punya kesempatan menulis beberapa buku yang saya pernah publikasikan secara mandiri. Hasilnya nihil.

Keberhasilan untuk membaca ratusan buku memang manis. Sayangnya di ujung manis itu ada sebuah lubang bernama mimpi untuk menjadi penulis terkenal, kaliber dan bestseller. Dengan tidak mewajibkan diri saya untuk menulis, saya bisa lebih menikmati proses membaca itu sendiri. Membaca harusnya menjadi kegiatan yang menyenangkan. Bukan menjadi beban pikiran.

Sah-sah saja bermimpi menjadi penulis. Sebagaimana sebuah pepatah Jawa, jer basuki mowo beo - setiap cita-cita dan keinginan pasti membutuhkan biaya. "Biaya Mimpi" itu mahal, penuh peluh keringat, perjuangan dan tidak dipungkiri butuh keberuntungan. Jika kita ingin mempertahankan mimpi untuk menjadi penulis, maka kita harus siap sedia membayar biayanya. Semurah semahal apapunharus kita bayar. Karena mimpi yang tidak diperjuangkan hanya akan berujung penyesalan di hari tua. Sebelum penyesalan itu benar-benar terjadi. Kita harus mencicil biayanya setiap hari. Sampai mimpi itu terwujud menjadi kenyataan. Tidak ada makan siang gratis. Segala hal yang terlihat mustahil menjadi mungkin ketika terwujud.

Mari kita akhiri tulisan seribu kata ini dengan petuah dari Stephen King, "Kalau engkau ingin menjadi penulis, ada dua hal yang harus kau lakukan, banyak membaca dan menulis. Setahuku, tidak ada jalan lain selain dua hal ini. Dan tidak ada jalan pintas." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun